Pemilu 1955 Berbeda, karena yang Kalah Mau Terima

josstoday.com

Ilustrasi

JOSSTODAY.COM - Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Fajar Nursahid mengatakan, Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang berhasil menerapkan standar tinggi dalam konteks politik dan demokrasi liberal di Indonesia.

Meski pemilu pertama yang digelar di Indonesia, Fajar menilai, Pemilu 1955 merupakan pemilu paling ideal.

"Tahun 1955, Pemilu pertama dicangkokkan, tapi berhasil membuat benchmark yang cukup tinggi. Saya memandang 1955 ideal dalam konteks pemilu dan demokrasi," kata Fajar dalam diskusi 'Perbandingan dan Praktek Demokrasi Liberal 1955 dan 2019' yang digelar LP3ES di Jakarta, Selasa (28/5/2019).

Menurut Fajar, situasi politik pada Pemilu 1955 tak jauh berbeda dengan yang terjadi pada Pemilu 2019. Peserta pemilu yang multi-partai, serta terjadinya keterbelahan di masyarakat. Namun, terdapat sejumlah perbedaan antara Pemilu 1955 dan Pemilu 2019. Dalam konteks media massa misalnya, meskipun memiliki kecenderungan politik, pada Pemilu 1955 media massa mampu mengelola konflik dengan baik.

"Kompetisinya ketat, tapi bisa nyambung dialog politiknya. Ini yang seharusnya kita belajar dalam konteks sekarang ini," katanya.

Selain itu, kata Fajar, kultur siap menang dan siap kalah dipraktikkan dengan baik oleh elite politik era 1950-an. Saat itu, sirkulasi kepemimpinan politik berjalan dengan sangat cepat. Figur politik silih berganti mengisi Kabinet dan menjadi hal yang biasa.

"Poin saya adalah, ada kultur siap menang dan kalah yang tinggi di sana. Orang berganti itu biasa saja. Sekarang sudah dinyatakan berkali-kali kalah masih ngotot. Itu jadi soal menurut saya dalam konteks sekarang. Dengan demikian spirit ini yang harus diwarisi generasi politik sekarang. Siap menang dan siap kalah merupakan bagian dari kultur politik dan etika politik yang harus dibangun berkaca dari tahun 50-an," katanya.


Lebih jauh, Fajar juga menyoroti tokoh-tokoh yang muncul pada era 1950-an. Menurutnya, tokoh-tokoh politik saat itu berhasil menjadi role model atau panutan yang baik dan dewasa.

Fajar mencontohkan meskipum pendiri Masyumi M. Natsir kerap berdebat keras dengan tokoh PKI DN Aidit atau dengan Soekarno, tetapi mereka masih tetap berkawan di luar politik. Menurutnya, role model semacam itu yang tidak terlihat ditunjukkan oleh tokoh-tokoh politik saat ini.

"Ada role model tokoh-tokoh politik yang sangat baik dan sangat dewasa. Mereka tajam berpolitik. Berbedanya luar biasa tajam, tapi mereka bisa berkawan dengan baik. Cerita Natsir dengan Soekarno, Natsir dengan Aidit itu kan di sidang luar biasa tajam tapi bisa berkawan baik di luar. Ini yang juga kemudian tidak ada dalam konteks politik sekarang. Bagaimana elite bisa kendalikan konflik dan bangun konsensus," katanya.

Untuk itu, Fajar berharap elite politik saat ini meneladani tokoh politik era 1950-an dalam mengendalikan konflik dan membangun konsensus. Tanpa adanya kedewasaan berpolitik ini, Fajar mengaku khawatir situasi politik yang saat ini terjadi tidak menemukan jalan untuk membangun konsensus.

"Ketika Juni nanti MK sudah putuskan, apakah masih ada peluang konsensus yang bisa dibangun? Ini yang kemudian kita harus belajar dari konteks 50an. Bagaimana orang bisa kagum pada berbagai role modelpolitik yang tumbuh dan sangat bisa memberikan teladan politik," katanya.

Lebih jauh, terdapat perbedaan penting antara partai politik saat ini dan era 1950-an. Menurutnya, saat itu, ideologi partai politik dibangun dengan kuat dan matang. Dengan demikian, meski ideologi berbeda dan bahkan saling bertentangan, partai politik tidak khawatir kehilangan konstituen. Kondisi tersebut berbeda dengan partai politik saat ini, di mana setiap partai tidak memiliki ideologi yang jelas dan bahkan seragam.

"Identifikasi sangat gamblang. Bagaimana proses ideologisasi ini tidak jalan. Tidak ada segmentasi khusus. Hanya pragmatis dan berorientasi kekuasaan," tegasnya. (fa/b1)

Pemilu 2019 Pilpres 2019