Era Society 5.0 dan Bonus Demografi, Siapkah Kita?

JOSSTODAY.COM - Oleh Rizqatus Sholehah

Saat dunia tengah menikmati kemajuan teknologi di era revolusi industri 4.0, Jepang sudah mulai mempersiapkan negaranya menuju Society 5.0. Jepang sudah mengalihkan perhatiannya bagaimana kemajuan teknologi ini tidak mendegradasi umat manusia.

Karena pada dasarnya permasalahan utama dari adanya revolusi industri 4.0 adalah terkait pasar tenaga kerja. Perkembangan yang pesat dari kemajuan teknologi lambat laun akan menggantikan kebutuhan tenaga kerja manusia. Kondisi tersebut memunculkan berbagai pertanyaan tentang bagaimana masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi. 

Konsep Society 5.0 sebenarnya sudah ditawarkan sejak tahun 2016 oleh federasi bisnis paling penting di Jepang, Keidanren dan juga dipromosikan dengan kuat oleh Dewan Sains, Teknologi dan Inovasi (CSTI), Pemerintah Jepang.

Namun, konsep Society 5.0 ini baru diresmikan pada 21 Januari 2019. Pada dasarnya konsep revolusi industri 4.0 dan Society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Konsep Society 5.0 merupakan respon dari adanya revolusi 4.0. Jika Revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) sebagai komponen utama dalam membuat perubahan di masa yang akan datang, Society 5.0 menggunakan teknologi modern dengan mengandalkan manusia sebagai komponen utamanya. 

Jika dilihat dari pembabakan peradaban manusia, Futurolog Amerika Serikat Alfin Toffler membagi sejarah peradaban manusia dalam tiga gelombang. Gelombang pertama (8000 SM-1500) dikatakan sebagai gelombang pembaruan, dimana manusia telah menerapkan teknologi pertanian sederhana. Gelombang kedua (1500-1970), disebut gelombang masyarakat industri.

Masyarakat sudah mulai memisahkan mana produsen dan mana konsumen. Bahkan konsep ekonomi pasar free fight capitalism dan monopoli menjadi budaya masyarakat gelombang kedua.

Gelombang ketiga (1970-2000), disebut sebagai masyarakat informasi. Adanya kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi menjadikan masyarakat lebih mengglobal dan cenderung menjauhi produksi massal yang terkonsentrasi. Mulai tahun 2010, gelombang ketiga ini diwarnai dengan rekayasa intelegensia yang mendorong konektivitas manusia dan mesin. Pada masa itulah revolusi industri 4.0 terjadi.

Berbagai kemudahan ditawarkan oleh teknologi. Namun, dalam kondisi tersebut lahir kesenjangan bahkan kehampaan dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya. Oleh karena itu muncullah istilah Society 5.0 yang menjadi konsep penyelesaian permasalahan tersebut.
Dirilisnya konsep Society 5.0 juga merupakan jawaban dari tantangan yang sedang dihadapi Jepang.

Jepang sendiri saat ini sedang mengalami masalah kekurangan penduduk usia produktif. Berdasarkan laporan statistic populasi internasional (United States Census Bureau, 2015), diperkirakan bahwa pada tahun 2050 penduduk Jepang yang berusia 65 ke atas akan mencapai 40% dari total penduduk. Untuk menangani permasalahan tersebut diterapkannya konsep Society 5.0, dimana teknologi robot ataupun teknologi lainnya dapat digunakan untuk menggantikan peran manusia.

Kesiapan Indonesia Menuju Era Society 5.0 dan Bonus Demografi

Dilihat dari konteks Indonesia, tentu akan sangat bertolak belakang dengan kondisi di Jepang. Pada tahun 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Kesempatan ini seharusnya menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk memajukan bangsa.

Jika dikaitkan dengan profil angkatan kerja berdasar jenjang pendidikan, dapat diketahui bahwa porsi lulusan SD menempati posisi yang paling besar dalam jumlah angkatan kerja yaitu sekitar 25% dan hanya 9% saja yang merupakan lulusan universitas. Hal tersebut menunjukkan tingkat kualitas dari angkatan kerja masih kurang. Data statistik tersebut juga menggambarkan bahwa angkatan kerja Indonesia sebagian besar merupakan tenaga kasar, bukan tenaga ahli. 

Untuk menciptakan kondisi yang diharapkan konsep Society 5.0, maka penggunaan TIK juga menjadi ukuran. Hingga Januari 2018, data pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta atau sebesar 50 persen dari penduduk Indonesia. Meski berposisi sebagai pasar media sosial terbesar di Asia Tenggara dengan 120 juta orang menggunakan ponsel pintar, tetapi industri di bidang teknologi komunikasi ini masih belum maju.

Perkembangan indikator TIK yang paling pesat terlihat pada penggunaan internet dalam rumah tangga yang mampu mencapai angka 66,22 persen. Pertumbuhan penggunaan internet dalam rumah tangga ini diikuti pula oleh pertumbuhan penduduk yang menggunakan telepon seluler yang mencapai 62,41 persen pada tahun 2018. Kepemilikan komputer dalam rumah tangga tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 20,05 persen.

Sebaliknya kepemilikan telepon tetap kabel dalam rumah tangga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 persentase rumah tangga yang memiliki telepon kabel sekitar 5,54 persen, turun menjadi 2,61 persen pada tahun 2018. Penurunan kepemilikan telepon tetap kabel ini menunjukkan adanya transisi penggunaan telepon kabel ke penggunaan telepon selular.

Era Society 5.0 tidak terlepas dari adanya teknologi Artificial Intelligence (AI). AI menjadi indikator kemajuan teknologi dalam layanan publik oleh pemerintahan di suatu negara. Untuk mengetahui kesiapan AI di suatu negara, lembaga penelitian Oxford Insights bekerja sama dengan IDRC menciptakan publikasi statistic indeks kesiapan AI semua negara di seluruh negara.

Perhitungan indeks AI tersebut didapatkan dari skor perhitungan 11 metrik input yang dikelompokkan menjadi empat klaster, yaitu tata kelola; infrastruktur dan data; keterampilan dan pendidikan; dan layanan pemerintah dan publik. Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia menempati peringkat kelima di ASEAN.

Sementara di dunia, Indonesia menempati peringkat 57 dari 194 negara dengan skor 5,420. Hal itu mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan bahwa Indonesia cukup siap memasuki era Society 5.0. Namun, masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana men-swadayakan potensi bonus demografi tersebut ke arah sumber daya manusia yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pasar global di era Society 5.0.

Sebuah Contoh dari China dan Jepang

Jika merujuk pada kondisi di China yang menempati peringkat ke-20 di dunia berdasarkan indeks kesiapan AI, dapat diketahui bahwa perkembangan AI akan memberikan dampak positif dan juga negatif. Dilihat dari sisi ekonomi, adanya perkembangan AI akan menjadikan kegiatan produksi maupun inovasi lebih efektif dan efisien. Namun, di China manfaat tersebut juga dibarengi dengan kondisi meningkatnya pengangguran pada tenaga kerja tidak terampil.

Hal itu terjadi karena peningkatan permintaan tenaga kerja terampil dalam teknologi digital lebih tinggi daripada permintaan tenaga kerja yang tidak terampil. Dampak dari perkembangan AI tersebut juga akan dialami oleh Indonesia.

Sebagai negara pioneer konsep Society 5.0, Jepang menjawab permasalahan tersebut dengan perbaikan kurikulum pendidikan sejak dini. Untuk mencapai Society 5.0, Jepang menjadikan ilmu matematika, ilmu data, dan juga ilmu pemrograman sebagai ilmu dasar yang harus dimilki oleh semua siswa. Hal tersebut diarahkan untuk menghindari kesenjangan teknologi pada tenaga kerjanya di masa yang akandatang.

Indonesia yang mulai tahun 2030 akan menghadapi puncak bonus demografi harus menyiapkan generasi mudanya dengan perbekalan teknologi seperti yang dilakukan di Jepang. Adanya bonus demografi bisa juga menjadi bencana bagi Indonesia jika sumber daya manusia yang produktif tersebut tidak dikelola dengan baik. Dan dengan kondisi saat ini, siapkah Indonesia menyongsong era Society 5.0 ?

Rizqatus Sholehah adalah Mahasiswa S1 Ekonomi Pembangunan FEB Unair dan Peneliti Intern di RISED (Research Institute of Socio-Economic Development)