
Partai Berbasis Islam Harus Sehat
SIAPA pun yang peduli, pasti akan merasa prihatin melihat kemelut yang terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika Wakil Ketua Umum Sugiarso Manuarfa berusaha melakukan pemakzulan terhadap Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, tentu ada perlawanan juga dari pihak yang bersangkutan. Semestinya, masalah internal diselesaikan secara damai.
Sebagai orang yang pernah aktif di PPP tahun 1973-1986, saya sangat prihatin dan menyesalkan kemelut pertikaian di PPP. Jika Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dianggap salah karena hadir pada kampanye Gerinda di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, masalah tersebut sebaiknya diselesaikan setelah pemilu presiden. Jadi hendaknya diselesaikan sehabis pilpres sekalipun dalam muktamar luar biasa.
Saya khawatir jika masalah tersebut diselesaikan sekarang, akan rawan intervensi pihak luar. Akan 'masuk angin' dengan kepentingan makro di luar PPP. Bahkan kelompok ' islamofobia ' juga akan tertawa melihatnya. Setiap kemelut di partai politik atau politik praktis, selalu rawan money politic transaksional. Hal itu bisa menghancurkan PPP sendiri dalam jangka panjang, sekalipun pengurusnya bergantian.
Sebagai orang yang pernah besar di PPP, kita berkepentingan menyelamat PPP dari kehancuran karena perpecahan. Saya tidak semata-mata membela Suryadharma Ali tapi saya bela keselamatan PPP. Di sinilah, sebaiknya kedua pihak menahan diri. Jangan sampai kemelut semakin meluas. Selesaikan semuanya sehabis pilpres secara terhormat dan bermartabat sesuai dengan akhlak Islam.
Terkait Pilpres, saya punya impian partai Islam bersatu. Syaratnya, PPP sebagai salah satu parpol Islam harus bebas masalah. PPP harus sehat. Andai PKB, PPP dan PKS sebenarnya bisa mengusung pasangan capres-cawapres sendiri. Tapi kenyataan masih banyak masalah.
Memang, saat kampanye Pemilu Legislatif kami mengimbau masyarakat memilih partai politik sesuai selera. Masing-masing orang memiliki pilihan sendiri sesuai selera politiknya. Ada dua hal yang harus dilakukan masyarakat. Pertama memilih partai sesuai seleranya. Orang nasionalis memilih partai nasionalis. Orang Islam memilih parpol Islam. Yang non-muslim mengusung wakil rakyat yang non-muslim.
Kedua, rakyat harus mensinergikan nasionalis dan religius. Sikap nasionalis sangat diperlukan untuk membangun bangsa ini. Sikap tersebut sangat penting untuk menjadikan bangsa ini semakin berkembang lebih baik.
Kemudian, keagamaan atau religiusitas harus bersinergi dengan nasionalisme. Ini penting untuk menjaga pendirian, etika, dan moral kebangsaan. Keluhuran agama sangat penting untuk menjadi ruh kebangsaan. Keduanya harus bersinergi untuk mengedepankan kepentingan bersama.
Kedua sikap itu harus bersinergi dalam perilaku. Jangan hanya secara lisan. Jangan hanya mendalil. Buktikan dan laksanakan dalil itu dalam kebijakan. Kalau sudah seperti itu, tidak akan ada produk legislasi yang di-judicial-review di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan alasan pro-asing.
Bayangkan, yang menyusun undang-undang adalah fraksi nasionalis dan fraksi religius. Tidak ada fraksi asing. Tapi, ternyata UU yang di-judicial-review dinilai pro-asing. Bukankah ini suatu masalah?.