Reformasi telah mempengaruhi semua sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari politik, hukum, pendidikan, politik, budaya dan ekonomi. Sayangnya, kondisi Indonesia ternyata tak lebih baik. 

"> Demokrasi pun Butuh Kepemimpinan Tegas - josstoday.com
josstoday.com

Demokrasi pun Butuh Kepemimpinan Tegas

REFORMASI di Indonesia telah berjalan selama 15 tahun sejak 1998. Namun, demokrasi di Indonesia malah diwarnai dengan pragmatisme politik dan demokrasi transaksional. Anggota Parlemen dari hasil rekrutmen partai politik. Partai politik pula yang mengirim orang duduk di kursi kementerian. Jadi, partai politik harus bertanggung jawab atas kondisi Indonesia saat ini. Mereka itulah yang menjadi biang rusaknya kehidupan di negara kita.

Reformasi telah mempengaruhi semua sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari politik, hukum, pendidikan, politik, budaya dan ekonomi. Sayangnya, kondisi Indonesia ternyata tak lebih baik. Dunia politik justru yang terjadi semakin transaksional. Padahal, partai politik sekarang menguasai semua lini kehidupan di negara kita, baik legislatif, eksekutif, maupun judikatif.

Perkembangan demokrasi di Indonesia kini yang memprihatinkan itu, di sisi lain ditambah dengan kondisi dunia pendidikan yang kehilangan karakter. Para kiai sebagai penjaga moral di masyarakat harus turut memperbaiki kondisi Indonesia yang memprihatinkan ini. Partai politik harus segera berbenah agar demokrasi di Indonesia segera berubah dan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia.

Kondisi umum perkembangan yang terjadi di Indonesia demikian itulah cukup memprihatinkan kita semua. Pertanyaan sekarang, di mana peran organisasi keagamaan sebagai penjaga moral dalam mengiringi perjalanan demokrasi?

Organisasi Islam terbesar di Negara Republik Indonesia adalah Nahdlatul Ulama. Kenyataannya, Nahdlatul Ulama hanya mayoritas dalam jumlah. Sementara dalam bidang-bidang yang lain, seperti kekuatan ekonomi, jaringan, dan kekuatan intelektual, warga Nahdliyin masih tertinggal dengan yang lain. Justru bidang-bidang tersebut dikuasai oleh kelompok yang minoritas.

Saya melihat, pada saat ini Nahdlatul Ulama menghadapi dua tantangan. Tantangan yang pertama adalah tantangan berupa mengisi proses demokrasi. Dalam logika demokrasi, yang menang adalah yang memiliki banyak anggota. Dan sesungguhnya yang memiliki banyak anggota adalah organisasi yang berdiri sejak 1926 ini, dan NU yang seharusnya menang dalam posisi menempatkan kader-kadernya di partai politik. Artinya, dalam mengisi proses demokrasi ini, jamiyah Nahdlatul Ulama seharusnya berperan sebagai pengatur. Namun sebaliknya yang terjadi, NU yang dimasuki oleh kelompok-kelompok yang lain dan diseret ke mana-mana -- dalam hal ini NU boleh dibilang sudah kalah.

Tantangan yang kedua adalah perang persepsi (war of perseption). Perang yang dihadapi saat ini bukan perang fisik namun perang pendapat atau tarik menarik pendapat. Dalam masalah ini, kita juga tidak siap. Maka kita tidak heran, warga NU sering mengeluh setiap berkumpul. Maka yang harus dilakukan dalam menghadapi hal ini adalah konsolidasi dan komunikasi. Konsolidasi yang harus dilakukan adalah konsolidasi aqidah, konsolidasi syariat maupun konsolidasi manhaj dan konsolidasi-konsolidasi yang lain.

Hal yang paling penting dilakukan adalah komunikasi, baik komunikasi dalam bentuk silaturrahim atau melalui media modern. Oleh karena itu, warga NU jangan berlebihan percaya diri terhadap label mayoritas ini, karena kita hanya mayoritas dalam kuantitas saja bukan pada kualitas. Jadi, meski mayoritas bukan berarti warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama harus berbangga dan sudah seharusnya menata diri menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.

Seperti disinggung sebelumnya, perkembangan demokrasi di Indonesia kini sangat memprihatinkan. Perayaan demokrasi, pemilihan umum legislatif di semua tingkatan diwarnai dengan politik uang. Akhirnya, demokrasi wani piro (berani berapa?, red),sudah dianggap kelaziman berada di mana-mana. Demokrasi menjadi rasa transaksi, dan hukum kehilangan keadilan.

Di sinilah, menurut saya, presiden mendatang harus menjalankan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014, sejumlah nama calon presiden kini telah muncul, seperti dari PDIP, Joko Widodo. Nah, capres patut menimbang atau memilih calon wakil presiden yang bisa menjalankan tugas terkait dengan persoalan hukum. Kita tahu Indonesia saat ini, butuh pejuang hukum.

Menurut saya, untuk membuat rakyat menuruti aturan harus ada penegakan hukum. Diperlukan sosok pemimpin yang tegas. Bula demikian, aparatur negara dan politisi niscaya tidak akan berani menyalahgunakan wewenang dalam mengelola uang negara. Penegakan hukum yang efektif berdampak perekonomian Indonesia membaik. Dunia internasional mempercayai Indonesia sepenuhnya. Semoga tidak ada lagi kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), juga praktik politik transaksional yang menjadikan kita mengelus dada sekarang ini.

Demikianlah wallahu a’lam!