josstoday.com

Setelah Genderang Reformasi

DALAM menjalankan aktivitas sosial dan keberagamaan, terdapat kemunduran di antara kita sekarang. Kemunduran itu tak lain adalah keikhlasan. Karena keikhlasan itulah ruh kita bersambung. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw. : “al-arwah junudun mujannadah, faman ta’arafa minha I’talafa, wama tanakara minha ikhtalafa” (HR. Sayyidah ‘Aisyah). Artinya, ruh kita satu sama lain itu berdekatan menjadi satu mata rantai. Jika kita berkumpul dengan orang yang ikhlas, atau seorang yang shaleh dan ikhlas, maka kita akan mendapat keberkahan. Keikhlasan tidak perlu ditampakkan, karena semakin ditampakkan semakin berkurang kualitasnya. Yang nampak kemudian adalah hasilnya. Allah SWT memberi ma’unah yang berlipat kepada seorang yang ikhlas, sehingga bila ada pekerjaan yang ditekuninya bisa selesai dan berkah. Di sinilah, perlu kita murnikan kembali keikhlasan kita.

Setelah itu kita dituntut kembali membangun kembali jati diri kita, mungkin kita terlahir sebagai orang Islam, karena orang tua kita Islam. Kita harus sadar betul, serangan barat kepada Islam sangat luar biasa. Jika tidak kita bangun kembali faham Ahlussunnah waljamaah, dari akidah, kemudian syariah, akhlak, manhaj dan jihad kita, maka kita berada pada posisi rawan.

Dalam Ahlussunah waljama’ah sudah jelas, ketika kita menata keyakian kita kepada Allah SWT menganut siapa? Kita mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Yang selanjutnya syariah kita ikut siapa ? Mulai dari shalat, puasa, zakat , haji itu mengikuti salah satu dari Imam Madzhab Empat (Imam Hanafi,Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hambal).

Lalu ketika kita memasuki dunia tarekat dan tasawuf kita mengikuti Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali. Kenapa hal ini harus dipertegas lagi, karena sekarang pengaruh kanan-kiri tersebut luar biasa. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mengatakan : “didalam kamu beragama Islam hendaknya harus jelas dari siapa kamu mendapatkan agamamu”. Apakah dari ustadz, apakah dari pesantren. Begitu pula jika kita belajar dari Imam Syafi’i akan mendapatkan hasil yang beda dengan belajar dari Imam Samudra (tokoh teroris yang dihukum mati, red). Padahal ayat dan haditsnya sama, akan tetapi natijah (hasilnya) sangat bertolak belakang pada konsep jihadnya.

Untuk memahami Al-Quran dan hadits itu memerlukan sebuah manhaj yang tersendiri, ada patokan tersendiri, standar tersendiri dalam memahami hal itu. Pemahaman ulama terhadap Al-Quran dan hadits itu berbeda-beda, Ulama Ahlussunnah Waljamaah punya kriteria tersendiri, tidak sembarang ulama yang kita pakai sebagai hujjah kita. Selain dari criteria tersebut maka dianggap sesat.

Contoh di Indonesia kedatangan Syiah yang menonjolkan Imam Ali Karramah-wajhah akan tetapi mencela dan meninggalkan sahabat selain beliau. Shalatnya beda, adzanya beda, padahal Al-Quran dan Haditsnya sama, bahkan mereka punya ayat-ayat tersendiri tentang konsep Imam mereka. Selain itu muncul Wahabiyah, Ahmadiyah yang memang sesat ajarannya dan lain-lain. Ini yang harus dicermati dengan sikap arif.

Selain itu, ada gerakan politik dalam sebuah aliran. Karena cara pandang mereka berbeda maka akan menghasilkan pemahaman ayat dan hadits yang tidak sama pula. Akan tetapi jika gerakan itu gerakan politik Islam, maka ujung-ujungnya adalah kekuasaan dalam sebuah Negara. Walaupun kita sama-sama mengaji Kitab Tafsir Jalalain, karena kecampuran politik maka akan timbul tafsir “jalan lain” yang menyesatkan.

Setelah genderang reformasi terbuka, semua gerakan masuk ke Indonesia, termasuk di dalamnya gerakan politik nasional. Salah satunya Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, ada Ikhwanul Muslimin, ada Jaulah. Ini datangnya dari Timur Tengah, sedangkan ada aliran dari Barat yang disebut dengan gerakan liberal (yuhakkmuna bi uqulihim- mengartikan dengan otak mereka). Dengan manhaj liberal, mereka mulai mengkritik Nabi Besar Muhammad Saw, ada yang mengkritik hadits sekaligus Al-Quran dengan beberapa ayat-ayat yang kata mereka kadaluwarsa.

Imam shalat perempuan, yang boleh menurut mereka dengan alasan jender, telah menggeser ajaran Islam dengan manhaj berfikir mereka. Di sisi lain mengubah ajaran dengan isu-isu hak asasi manusia (HAM), sehingga oleh orang Indonesia, HAM dianggap sebagai kitab suci, padahal di Amerika HAM hanyalah platform untuk menghancurkan negara dunia ke tiga, seperti Irak, Palestina, Afghanistan, dan Indonesia dengan memasukan manhaj liberal mereka.

Akhirnya bila kita petakan, dari sisi kanan ada gerakan liberal, dari sisi kiri ada gerakan radikal yang ekstrem. Dari sisi tengah ada musyrik, zindiq, khurafat, dan bid’ah dhalalah. Ada Nabi palsu di Bogor, ada orang mengaku malaikat di Probolinggo, dan lain-lain. Semakin hari semakin banyak aliran sesat, maka kita harus menjaga ajaran Ahlussunnah waljama’ah ‘ala shafaih (dengan kemurniannya).

Lebih parah lagi adalah ancaman regenerasi umat. Ulama-ulama kita sudah pada sepuh (lanjut usia), yang menjadi ancaman adalah anak cucu kita. Ketika generasi kita mengalami kekosongan akidah, maka akan sangat mudah dimasuki oleh tiga arus aliran sesat. Siapa diantara mereka yang lebih dahulu memasuki generasi muda, merekalah yang mengarahkan ke arah mana aqidah, syariah, manhaj , akhlak dan jihad mereka.

Di tengah serangan yang dahsyat ini, umat muslim harus menjaga ukhuwah akan tetapi jangan melunturkan akidah Ahlussunnah waljama’ah. Ukhuwah (persaudaraan) itu bukan wihdah (kesatuan). Masing-masing punya eksistensi sendiri tapi punya toleransi tertentu. Eksistensi yang dimaksud keajekan kita pada aqidah Ahlussunah waljama’ah.

Ancaman dari luar negeri, masing-masing negara Arab dipersenjatai untuk membunuh umat Islam sendiri. Jika saja kita menilai dengan seksama perjuangan Walisongo dalam nasyrul Islam bukan dengan jalan kekerasan. Akhirnya warga Hindu berbondong-bondong masuk Islam, karena akidah mereka sudah selamat, maka tidak perlu merusak tatanan candi-candi yang ada. Akidah selamat itu yang utama dan menjaga perasaan umat Hindu lebih utama. Hikmah lebih yang dapat kita peroleh, umat Hindu masuk Islam tanpa perang. Dan kita lihat berapa banyak bom meledak di sana sini, namun tidak satupun orang masuk Islam karena simpatik dengan bom.

Maka paradigma tawasuth (garis tengah antara liberal dan radikal) wal I’tidal (lurus dengan manhaj Rasulillah dan golongan yang diridhai yaitu Ahlussunnah waljama’ah) benar-benar harus di pegang, untuk memperjuangkan akidah kita.