
BBM Bersubsidi dan Tantangan Pemerintah Baru
Perhatian pemerintah dan sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak terfokus pada hajatan politik, pemilihan presiden dan wakil presiden yang digelar pada 9 Juli.
Bahkan dalam perkembangannya masyarakat seolah telah terbelah menjadi dua kubu antara kami dan kalian sesuai dengan dukungannya masing-masing.
Terlepas dari adanya perbedaan dalam hal dukungan terhadap pasangan capres-cawapres, bangsa ini sesungguhnya memiliki permasalahan yang sama dan harus diselesaikan bersama-sama. Salah satu permasalahan yang tidak mudah bagi siapapun nanti pasangan capres-cawapres terpilih adalah menyelesaikan masalah klasik subsidi BBM yang hampir selalu berulang di setiap tahun anggaran.
Pada tahun anggaran 2014, kebijakan subsidi BBM sesungguhnya menghadapi permasalahan yang tidak kalah rumit dibandingkan tahun anggaran sebelum-sebelumnya.
Beberapa faktor yang menjadi dasar penentuan besaran subsidi BBM bergerak dinamis. Perubahan sejumlah faktor tersebut menyebabkan besaran subsidi BBM yang dibutuhkan jauh lebih tinggi dari alokasi anggaran yang ditetapkan di APBN 2014. Karena kondisi yang ada tersebut pemerintah kemudian mengajukan RAPBN-P 2014 kepada DPR.
Pemerintah mengusulkan besaran subsidi BBM naik dari Rp210,73 triliun pada APBN 2014 menjadi Rp285 triliun pada RAPBN-P 2014 atau diusulkan meningkat sebesar Rp74,27 triliun.
Setelah melalui pembahasan antara pemerintah dan DPR, Sidang Paripurna DPR pada 18 Juni 2014 memutuskan menyetujui APBN-P 2014.
Dalam hal ini besaran subsidi BBM ditetapkan meningkat menjadi sebesar Rp 246,50 triliun. Selain itu asumsi kurs rupiah juga berubah dari Rp10.500 per US$ menjadi Rp 11.600 per US$. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih tetap sebesar US$105 per barel, dan lifting minyak ditetapkan turun dari 870 ribu barel per hari menjadi 818 ribu barel per hari.
Selain memberikan tekanan kepada aspek fiskal (APBN), saat ini subsidi BBM juga memberikan tekanan terhadap aspek moneter. Kebutuhan BBM domestik yang terus meningkat berdampak terhadap kinerja neraca perdagangan nasional- khususnya neraca perdagangan minyak cenderung menurun setiap tahunnya.
Data yang ada menunjukkan sejak tahun 2005 neraca perdagangan minyak nasional telah berada pada kondisi defisit. Defisit neraca perdagangan minyak nasional tercatat mengalami peningkatan dari US$8,06 miliar pada 2005 menjadi sebesar US$22,48 miliar pada 2013. Neraca perdagangan minyak juga diidentifikasi sebagai penyebab utama menurunnya kinerja neraca perdagangan dan neraca pembayaran dalam beberapa tahun terakhir.
Kebutuhan devisa untuk mengimpor minyak mentah dan BBM tercatat terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 kebutuhan devisa untuk mengimpor minyak mentah dan BBM tercatat sebesar US$17,31 miliar. Akan tetapi pada tahun 2013 kebutuhannya telah meningkat menjadi US$40,37 miliar USD. Kebutuhan devisa impor minyak mentah dan BBM pada tahun 2013 tersebut tecatat telah mencapai 40,62 % terhadap total cadangan devisa nasional untuk periode yang sama.
Data yang ada menunjukkan kondisi pada tahun 2014 juga tidak lebih baik. Sampai dengan triwulan pertama 2014 kebutuhan devisa impor minyak dan BBM tercatat telah mencapai US$9,56 milyar. Kondisi tersebut yang disinyalir sebagai salah satu penyebab utama terus menurunnya nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Nilai tukar rupiah yang dalam APBN 2014 ditetapkan sebesar Rp10.500 per US$, saat ini telah melampaui Rp 12.000 per US$.
Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, permasalahan subsidi BBM akan menjadi tantangan utama bagai capres-cawapres terpilih dan pemerintahannya. Bahkan masalah subsidi BBM tidak dapat dihindari dan harus dihadapi oleh Presiden/Wakil Presiden terpilih sejak pertama kali menjalankan pemerintahannya. Pemerintahan yang baru mendatang juga akan dihadapkan pada kenyataan bahwa permasalahan subsidi BBM tidak hanya sekedar masalah anggaran, namun telah menjadi komoditas politik yang “seksi” untuk dipolitisasi.
Apapun kondisinya nanti, pemerintah, DPR, dan masyarakat semestinya harus menyadari bahwa permasalahan subsidi BBM telah memberikan dampak yang serius terhadap aspek fiskal dan moneter nasional. Karena itu kebijakan subsidi BBM yang diambil harus beroreintasi pada kepentingan jangka panjang, bukan kepentingan jangka pendek- apalagi hanya untuk kepentingan memoles citra politik.