PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) akan menutup 2 pabrik gula (PG) yang ada di Cirebon pada tahun ini, sebagaimana disampaikan Ismed Hasan Putro, Direktur Utama PT RNI kemarin di Jakarta (Tempo 14 Juli 2014)

"> Peningkatan Daya Saing Pabrik Gula - josstoday.com
josstoday.com

Peningkatan Daya Saing Pabrik Gula

PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) akan menutup 2 pabrik gula (PG) yang ada di Cirebon pada tahun ini, sebagaimana disampaikan Ismed Hasan Putro, Direktur Utama PT RNI kemarin di Jakarta (Tempo 14 Juli 2014).

Kebijakan itu terpaksa dilakukan karena kedua PG merugi akibat maraknya gula rafinasi di pasar tradisional.

Rembesan atau kadang banjir gula rafinasi, yang sesuai aturan dikhususkan untuk industri makanan dan minuman, memang bukan kali ini saja terjadi. Beredarnya gula rafinasi yang berharga lebih murah dan dengan kualitas lebih baik dari gula tebu lokal selalu berulang setiap tahun, terutama di wilayah perbatasan dan wilayah yang tidak memiliki PG.

Gula rafinasi dibuat dari gula mentah impor yang relatif murah dari gula lokal. Di sisi lain, produksi gula lokal belum mampu menutupi kebutuhan konsumsi dan harganya acapkali lebih mahal. Gap ini dengan berbagai cara kemudian diisi oleh gula rafinasi sehingga serapan dan harga gula lokal makin tertekan.

Pertanyaannya, kenapa gula impor yang dijadikan bahan baku gula rafinasi jauh lebih murah dibanding gula lokal? Apakah PG-PG kita bisa menghasilkan gula yang kompetitif? 

Di negara produsen gula seperti Brazil, Australia, dan Thailand, biaya pokok produksi (BPP) gula hanya sekitar 50-80% dibanding BPP gula kita. Budidaya tebu dilakukan secara mekanisasi dan memprosesnya semi otomatis di PG. Alokasi biaya tenaga kerja relatif kecil.  Kapasitas giling PG rata-rata 10.000-15.000 ton tebu per hari (TTH), sementara di Indonesia hanya 3.500 TTH.  Pabrik gula-nya juga jauh lebih efisien.

PG gula bukan hanya menghasilkan gula, tetapi produk turunan lain berbasis tebu seperti ethanol, listrik, dan kertas. Di India kontribusi gula terhadap keuntungan perusahaan kurang dari 40%, sisanya disumbangkan dari cogen (listrik) dan ethanol.

Kebijakan gula dan produk turunannya sangat kondusif dalam mendorong pengembangan usaha.  Sebaliknya di Indonesia, kebijakan industri berbasis tebu sering tidak konsisten.

Contohnya, pada akhir 2009 Pemerintah mencanangkan swasembada gula 2014, tetapi pada saat yang sama pemerintah juga membuka izin pembangunan PG rafinasi berbahan baku gula impor.

Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar alternatif seperti bioethanol, tapi bioethanol dari PT Enero (anak perusahaan PTPN X), hanya terserap dalam jumlah kecil saja.

Dengan situasi seperti diatas, tentu saja daya saing PG-PG kita relatif lemah. Namun upaya harus tetap dilakukan agar PG-PG tetap eksis. PG harus memiliki daya saing tinggi.

Pertama, PG-PG kecil bisa diamalgamasi menjadi sebuah PG besar (economic of scale), sehingga biaya produksi gula dan produk hilir lainnya bisa lebih ekonomis.

Kedua, produktivitas gula ditingkatkan dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis.

Ketiga, kehilangan gula selama perjalanan dari kebun ke PG seminimal mungkin.

Keempat, kalau memungkinkan lakukan konsolidasi lahan supaya mekanisasi bisa berjalan.

Kelima, tumpuan produksi bukan hanya gula tapi diperluas ke produk lainnya. Last but not least, pemerintah perlu melakukan harmonisasi kebijakan gula agar lebih terintegrasi dan memberikan iklim usaha yang lebih kondusif begi pengembangan industri berbasis tebu.