josstoday.com

Isis

SUNGGUH pintar kita menemukan kosakata baru yang konotatif dan secara tiba-tiba kemudian menjadi buah bibir di mana-mana. Beberapa hari yang lalu kalau kita menyebut kata "isis" orang (Jawa) akan mengasosiasikannya dengan cuaca ekstra-panas yang belakangan ini menyengat Surabaya. Ketika udara begitu panas menyengat semua orang butuh keadaan "isis" alias sejuk nan semriwing.

Tapi sekarang, begitu kata itu disebut orang akan mengernyitkan dahinya, dan bahkan tidak mustahil orang akan menguping dengan penuh curiga dan waspada. Tiba-tiba saja dalam hitungan hari "isis" menjadi kosakata yang menggentarkan. Ia menggentarkan, seolah-olah hantu pencabut nyawa yang bergentayangan di sekitar kita.

Entah dari mana asal-usulnya semua itu. Awalnya hanya sebuah cuplikan video pendek yang diunggah di laman Youtube menggambarkan seorang anak muda dengan pakaian milisia sambil menyangklong senapan di pundaknya mengajak untuk bergabung dengan ISIS yang tidak lain adalah kependekan dari "Islamic State of Iraq and Syria" atau ada juga yang menyebut "Islamic State of Iraq and Syam".

Penyebutan Syam bisa melingkupi wilayah yang lebih luas lagi di Timur Tengah yang bisa sampai ke wilayah Lebanon. Dalam bahasa Arab disebut sebagai "Daiis" atau "Daulah Islamiah fi al-Iraq wa al-Syam" Negara Islam Iraq dan Syam.

Daiis menjadi hantu baru yang menyeramkan. Organisasi ini digambarkan sebagai organisasi yang super-ekstrem. Saking ekstremnya mereka ini memilih menyempal dari Al-Qa'idah karena mereka menganggap Al-Qa'idah tidak cukup ekstrem dalam perjuangannya. Kalau benar demikian kita bisa membayangkanj betapa ekstremnya Daiis ini. Atau yang lebih tepat, betapa berhasilnya orang--siapapun dia -- memunculkan citra bahwa Daiis ini super-ekstrem.

Soal perpecahan di tubuh organisasi gerakan yang ekstrem adalah hal yang biasa. Sejak Al-Qa'idah tercerai berai dengan terbunuhnya Usamah bin Laden oleh tentara Amerika dunia seolah-olah kehilangan sesuatu. Tidak ada lagi tokoh misterius dan enigmatik yang bisa dijadikan musuh bersama seperti Bin Ladin. Maka harus diciptakanlah tokoh baru sebagai "the common enemy number one". Pilihan pun kemudian jatuh kepada Abubakar Albaghdadi, Abubakar dari Baghdad, untuk ditahbiskan sebagai musuh bersama nomor satu.

Amerika, kita semua mafhum, tidak boleh kehilangan musuhnya supaya belanja militer yang triliunan itu tetap bisa terus mengucur dari APBN mereka agar terjamin keberlangsungan "the industrial-military complex" hubungan bisnis yang saling menguntungkan antara militer dan dunia industri. Sampai sekarang bujet militer Amerika tetap terbesar di dunia.

Industrial-military complex sudah berlangsung sejak Perang Dingin ketika Uni Soviet ditempatkan sebagai iblis musuh nomor satu selama hampir setengah abad tanpa sekali pun ada perang terbuka langsung antar-keduanya. Lomba senjata, arm race, memicu belanja militer besar-besaran kendati perang tidak pernah benar-benar terjadi kecuali insiden-insiden yang seolah-olah menciptakan krisis dan ketakutan di seluruh dunia padahal sebenarnya krisis itu sama-sama dikendalikan oleh kedua belah pihak dengan sangat-sangat terukur supaya perang terbuka jangan sampai terjadi.

Ketika Uni Soviet dan sekutunya ambruk pada 1990-an maka Amerika kehilangan sparring partner. Kebingungan, Amerika pun mencari-cari musuh baru yang paling pas supaya industri senjata tidak mandek. Maka muncullah (atau dimunculkanlah) Islam sebagai musuh pengganti Uni Soviet, dan Usamah Bin Laden beserta Al-Qa’idah sebagai antagonis utama.

Tentu saja Amerika tidak bisa terus-menerus menjadikan Bin Laden sebagai tokoh teroris yang tidak bisa ditaklukkan. Setelah kebohongan besarnya terungkap karena ternyata di Iraq tidak ada senjata pemusnah masal, Amerika dipaksa untuk mencari kompensasi. Maka, melalui operasi kecil yang singkat Bin Laden pun ditangkap dan dibunuh. Bin Laden, tokoh "binaan" CIA yang dipakai dalam perang melawan rezim komunis Afghanistan pada akhir 1980-an akhirnya tidak diperlukan lagi dan harus dihabisi.

Sampai beberapa tahun belakangan ini rasanya dunia ini vakum tidak ada kabar mengenai aktivitas terorisme yang signifikan. Amerika tetap butuh musuh baru untuk menjadikan seluruh dunia membutuhkan proteksinya.

Maka diciptakanlah Sie Abubakar dari Baghdad ini dengan segala atribut kekejamannya.

Dalam peta geopolitik terorisme internasional Indonesia tetap mempunyai posisi yang penting. Sebagai negara dengan jumlah penduduk Islam lebih dari 200 juta Indonesia terlalu pentinh untuk diabaikan oleh Amerika dalam perang internasional melawan teror.

Maka, sebagaimana ketika Al-Qa'idah muncul, kali ini pun dalam kemunculan ISIS Indonesia kembali (seolah-olah) memainkan peran yang besar, bahkan seolah-olah digambarkan sebagai wilayah sebaran penting gerakan ISIS.

Tentu saja, peralihan ke pemerintahan baru juga menjadi faktor disini. Siapa pun presiden Indonesia nanti harus diberi PR supaya tidak merasa enak-enakan mewarisi negara dalam kondisi stabil. Siapa pun presidennya harus tetap manut kepada Amerika dalam memerangi teror internasional.

Maka fobia terhadap ISIS menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia seperti wabah penyakit menular. Indonesia pun kejangkitan dengan cepat dan semua berlomba-lomba untuk menjadikan ISIS sebagai musuh baru. Demonstrasi besar-besaran menolak ISIS terjadi dimana-mana, termasuk di Eropa. ISIS mungkin membunuh ratusan orang secara sporadis. Tapi, Israel pada saat yang sama membunuhi penduduk Palestina secara TSM alias terstruktur, sistematis, dan masif. Kita punya mainan baru pada ISIS dan melupakan kekejian Israel.

Kalau dunia mau jujur pastilah akan ketahuan dengan gamblang mana yang lebih keji ISIS atau Israel.

* * * *


KEMUNCULAN ISIS di Indonesia bisa disebut sebagai produk lama dengan casing baru. Kalau ditelisik pasti orang-orangnya itu-itu saja. Sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, kemunculan kelompok Islam garis keras di Indonesia selalu berkaitan dengan "induknya" di Timur Tengah dan sekaligus berkelit berkelindan dengan dinamika politik nasional.

Martin van Bruinessen membuat analisis menarik dalam bukunya "Comtemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the Conservatif Turn" (2013). Dalam buku tersebut, dia menggambarkan benang merah antara gerakan lawan DI-TII (Darul Islam-Tentara Islam Indonesia), NII (Negara Islam Indonesia), sampai ke gerakan radikal Islam terbaru seperi JAT (Jamaah Anshorut Tauhid) yang beberapa waktu yang lalu digerebek Densus 88.

Terlihat sekali tokoh-tokohnya berputar-putar pada Abdullah Sunkar (almarhum) dan Abubakar Ba'asyir yang sekarang disebut-sebut sebagai pentolan JAT. Gerakan-gerakan lainnya tidak lebih dari sempalam kelompok-kelompok yang sebelumnya berkumpul di sekitar Ba'asyir. Lihat saja nanti kalau polisi berhasil memberangus anggota ISIS, jaringannya pasti tidak jauh-jauh dari Abubakar Ba'asyir.

Sehebat apa sih Abubakar Ba'asyir kok sampai sekarang ancamannya seolah-olah tidak pernah surut? Kalau mau menjawab pertanyaan ini jawabannya tidak jauh-jauh dari analisi terorisme internasional secara keseluruhan; Ba'asyir harus tetap ada untuk me-maintain proyek ketakutan terhadap gerakan Islam radikal. Kalau Ba'asyir lenyap maka harus diciptakan tokoh baru supaya phobia itu tetap terjaga.

Sebagaimana Amerika yang selalu membutuhkan "common enemy number one" untuk kepentingan dominasi politik internasionalnya, Indonesia pun membutuhkan musuh bersama nomor satu.

Kalau kita benar-benar serius ingin menyelesaikan persoalan akut ini kita harus menyelesaikan melalui akarnya. Persoalan terorisme internasional, persoalan Palestina, dan persoalan-persoalan pelik yang belakangan ini muncul, menjadi sulit diselesaikan karena akar persoalannya tidak dibereskan dulu.

Akar segala persoalan itu adalah ketimpangan dan ketidakadilan dalam tata dunia sekarang ini. Sungguh ganjil, dunia sudah berubah dengan begitu cepat dan dinamis, tapi tatanan dunia yang kita terapkan tidak berubah selama 70 tahun.

Lihatlah PBB. Lembaga yang sekarang kita andalkan sebagai polisi dunia itu adalah warisan Perang Dunia Kedua. Lembaga ini dibagi-bagi untuk para pemenang Perang Dunia. Mereka diberi hadiah untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan yang punya wewenang untuk memveto apapun resolusi yang dilahirkan PBB.

Kelimanya adalah Amerika, Rusia, Prancis, Inggris, Tiongkok, tidak pernah diubah sampai sekarang meskipun komposisi itu tidak lagi relevan sekarang. Dunia sudah berubah. Amerika tidak bisa lagi hanya mengandalkan dominasinya untuk mengatasi persoalan-persoalan dunia. Sudah saatnya Amerika berubah. Sudah saatnya tata dunia berubah demi masa depan yang lebih adil. Allahu a'lam.