josstoday.com

Negeri Mafioso

SEORANG anak laki-laki kecil sedang berdiri di ketinggian kira-kira tiga meter. Di bawahnya, seorang laki-laki setengah baya, mengembangkan tangannya dan memberinya perintah untuk segera melobcat turun. Si anak kecil terlihat ragu dan agak ketakutan, sementara si lelaki setengah baya, ayah anak itu, dengan sorot mata yang memancarkan paksaan mendesak anak itu untuk segera meloncat turun. Beberapa saat kemudian huppp...si anak meloncat turun. Buuummm...Sang ayah tidak menangkap tubuh kecil anaknya melainkan membiarkannya meluncur menghantam tanah. Kesakitan dan kebingungan, si anak menatap bapaknya sambil setengah menangis. Sang bapak berkata pelan, "Jangan pernah percaya kepada siapapun, termasuk ayahmu".

Kisah itu tercantum dalam buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama berjudul "Trust".

Kisah itu, menurut Fukuyama, terjadi di wilayah Sicilia, Italia bagian selatan.

Tentu saja, kita mudah mengasosiasikan wilayah miskin di Italia itu sebagai daerah asal-muasal kelompok mafia yang sangat terkenal di seluruh dunia. Betul. Memang kisah anak kecil dan ayahnya itu adalah cerita mengenai bagaimana para mafioso di Italia mendidik anak-anak mereka untuk menjadi "mafia yang baik". Dan, pelajaran pertama bagi seorang mafia yang baik adalah tidak mempercayai siapapun, meski itu ayahnya sendiri. Karena itu, kita bisa menyaksikan dalam film-film mafia yang legendaris, seperti sekuel The Godfather atau serial The Sopranos, kita menyaksikan bagaimana intrik-intrik kriminal yang begitu rumit dan pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan di antara sesama anggota keluarga.

Dalam buku "Trust" (1995) Fukuyama tidak hendak berbicara mengenai jaringan mafia internasional. Ia tengah mengupas demokrasi dan menelusuri akar kultural demokrasi di berbagai negara dengan berbagai latar belakang budaya. Fukuyama ingin menelaah bagaimana demokrasi bisa berkembang--atau mati--di sebuah kultur masyarakat tertentu.

Ia, secara sederhana, membagi tipologi masyarakat menjadi dua; high trust society (masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi) dan low trust society (masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah). Masyarakat dalam kategori pertama adalah sebuah masyarakat yang punya rentang kepercayaan yang lebih luas kepada orang sekitarnya. Semakin luas rentang kepercayaan terhadap orang lain, semakin tinggilah tingkat kepercayaan trust masyarakat.

Dalam kategori ini, orang bisa lebih memercayai orang lain di luar lingkup keluarganya, meski dia baru mengenal orang tersebut.

Masyarakat yang masuk dalam kategori high trust ini akan mempunyai modal yang sangat besar untuk bisa mengembangkan demokrasi. Yang masuk dalam kategori ini adalah Amerika Serikat, beberapa negara Eropa Barat, dan Jepang. Dalam masyarakat high trust orang akan sangat mudah bergaul dengan orang lain dan membentuk asosiasi dan organisasi informal. Organisasi seperti persatuan pemancing ikan, asosiasi penggemar kucing, perkumpulan penggemar perangko antik, dan organisasi-organisasi semacam itu adalah wadah yang sangat mudah tumbuh dalam masyarakat yang saling punya kepercayaan satu sama lain. Dalam pemahaman terbalik, sebuah masyarakat yang mempunyai sangat banyak asosiasi dan organisasi hobi adalah masyarakat high trust.

Berada pada pendulum yang lain adalah masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah. Italia, Tiongkok, dan beberapa negara Dalam masyarakat seperti ini rentang kepercayaan masyarakat terhadap orang lain sangatlah terbatas. Dalam kisah keluarga mafioso versi Fukuyama tadi sang ayahpun harus dicurigai. Tentu ini sangat ekstrem dan hanya terjadi di dunia mafioso. Tetapi, poin Fukuyama adalah bahwa dalam masyarakat bertipe low trust, demokrasi akan sangat sulit berkembang. Tingkat kepercayaan kepada orang lain akan sangat terbatas, dan seseorang hanya percaya kepada keluarganya secara terbatas. Salah satu ciri masyarakat yang low trust adalah maraknya organized crime (organisasi kriminal) di wilayah itu. Tidak salah kalau Fukuyama mencontohkan Italia bagian selatan, dan juga Tiongkok, sebagai model masyarakat low trust.

Tipe masyarakat low trust ini tidak akan bisa menumbuhkan demokrasi karena demokrasi mensyaratkan adanya saling keterbukaan dan saling kepercayaan. Sebaliknya, di alam masyarakat low trust akan mudah tumbuh bibit-bibit anti-demokrasi. Kolusi dan nepotisme akan mudah sekali tumbuh subur di tengah masyarakat low trust. Karena itu gampang sekali kita simpulkan bahwa korupsi akan juga tumbuh subur di wilayah masyarakat low trust.

Low trust socienty rentang kendali kepercayaannya kepada orang asing terbatas, makanya hanya perkoncoan dan nepotisme yang bisa tumbuh subur.

* * * *

SAYA tidak selalu percaya sepenuhnya kepada analisis-analisis sosial dari Fukuyama. Tapi, kali ini kita harus betul-betul waspada untuk melihat di pendulum manakah Indonesia berada.

Apakah kita masuk dalam kategori masyarakat high trust? Atau, sebaliknya, kita masuk dalam kelompok low trust? Apakah politik kita cukup terbuka untuk menerima perbedaan, ataukah sebaliknya, kita masih takut terhadap masuknya orang luar, dan lebih merasa aman dengan orang-orang dekat kita sendiri, seperti anak dan istri.

Kita mengenang zaman Soeharto dan Tien, lalu anak-anaknya. Sekarang SBY dan Ani serta anak-anaknya. Kita agak deg-degan dengan munculnya Anas Urbaningrum dan Attiyah Laila. Anas kita gadang-gadang sebagai generasi baru yang bisa memotong tradisi masyarakat low trust. Tetapi, kalau nanti dia dan istrinya terbukti sama saja dengan generasi pendahulunya, tentu kita hanya bisa bertanya-tanya kemana lagi kita menggantungkan harapan.

Di Banten, politik menjadi "family business", "all in the family". Banyak yang mencibir, pengelolaan negara ini sudah sesuai dengan prinsip UUD, yaitu kekayaan bumi dan isinya dikelola dengan azas kekeluargaan. Semua anggota keluarga bancakan APBD dan APBN dan beramai-ramai mengeruk kekayaan bumi pertiwi sesuai " azas kekeluargaan".

Coba kita perhatikan konflik politik antar-partai maupun inter-partai. Yang terlihat adalah saling bunuh dan saling bantai, persis seperti dalam film-film mafioso.

Ada partai yang dikelola ala mafia Sicilia. Tidak mudah orang masuk ke dalam inner circle, dan sekali bisa masuk ke inner circle akan selamanya berada di dalam sana. Para preman dan mafia menjadi aktor utama dalam panggung politik kita.

Benteng hukum telah runtuh dan keputusan hukum menjadi komoditi dagang. Lembaga penegak hukum tertinggi sudah kehilangan wibawa, sampai-sampai sekelompok preman pinggir jalan berani memasuki lembaga itu dan, secara harfiah, mengobrak-abrik lembaga itu.

Di negeri high trust, jumlah lawyer sangat banyak dan orang lebih suka "berperkara" karena tahu keputusan hukum akan memihak kepada kebenaran. Di negeri low trust, lawyer bermunculan dan menjadi oligarki baru yang kaya-raya karena piawai memainkan hukum dan handal dalam suap-menyuap, sogok-menyogok, kepada pemangku hukum.

Di manakah kita sekarang berada? Di negeri mafioso-kah? Entahlah! (*)