
Demokrasi Pesseh
SEORANG mantan jenderal menceritakan joke kepada saya mengenai "tretan dibbik", saudara kita dari Madura.
Alkisah, sang tretan ditanya oleh Sang Jenderal: "Siapa yang memimpin negeri ini?". SBY? Jokowi-JK? Prabowo?".
Tretan menggelengkan kepala. "Lha trus siapa?". Sang tretan menjawab; "Pesseh", sambil menggesek-gesekkan ujung jempol, dengan ujung telunjuknya.
* * * *
ITULAH cara berpikir sederhana dan polos ala "tretan dibbik" kita. Cara berpikir seperti itu di-share oleh hampir seluruh masyarakat, kelas bawah dan yang bukan kelas bawah.
Negeri ini diperintah oleh "pesseh" alias uang. Betulkah demikian? Mungkin jawabannya membutuhkan perdebatan panjang berbulan-bulan di talk show televisi atau pansus DPR. Tapi kelihatannya akan banyak yang anggota masyarakat yang menyetujui pandangan itu.
Mungkin banyak yang meradang tidak setuju kalau ada yang menyebut negeri kita ini "Negeri Pesseh", atau demokrasi yang kita anut sekarang ini adalah "Demokrasi Pesseh". Tetapi, mereka yang menganggukkan kepala tanda setuju pasti akan banyak juga.
Arah negeri kita sekarang ini telah menuju ke "Negeri Pesseh" atau memang kita sudah berada pada keadaan itu sekarang.
Sebuah negara berdiri karena konsensus. Dulu pada 1945 para bapak pendiri bangsa, The Founding Fathers, berkumpul bersama merumuskan konsensus yang akan menjadi pondasi kita berbangsa dan bernegara. Ada yang ingin menjadikan agama sebagai pondasi negara.
Ada yang menghendaki liberalisme, ada komunisme, ada yang ingin sosialisme, ada yang ingin nasionalisme-sekuler, ada yang cenderung ke fasisme, dan isme-isme yang lain. Tapi, para bapak pendiri bangsa kita dikaruniai kebijaksanaan, kearifan, dan kecerdasan yang luar biasa. Mereka sama-sama yakin bahwa isme-isme itu tidak akan cocok menjadi pondasi bangsa.
Islam adalah agama yang dipeluk oleh 90% penduduk Indonesia. Karena itu wajar kalau ada yang menghendaki Islam dijadikan sebagai pondasi negara. Maka, dalam draf penyusunan dasar negara dicantumkanlah sila pertama Pancasila dengan tambahan "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Perdebatan pun berlangsung sangat sengit. Kalau toh waktu itu tidak ada kearifan dan kebijaksanaan para pendiri bangsa maka kita tidak akan bisa hidup di alam NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kearifan itulah yang menjadi semangat konsensus untuk saling menghormati dan mencintai dengan ketulusan dan keikhlasan. Maka tujuh kata itu pun dihapus. Konsensus pun dicapai bahwa negara kita bukan negara agama, tetapi menempatkan spirit agama secara terhormat pada posisi teratas sila pertama Pancasila.
Kita semua harus ingat bahwa sila pertama seperti yang sekarang kita kenal itu tidak turun dari langit, tapi melalui perdebatan panjang dan kesadaran penuh untuk saling mentoleransi dan menghormati. Yang majoritas mencintai yang minoritas, dan sebaliknya, yang minoritas menghormati yang majoritas. Para bapak pendiri bangsa kita dikaruniai pandangan yang waskita untuk bisa melihat sangat jauh kedepan bahwa agama dan nasionalisme sempit akan menjadi sumber konflik yang bisa mencabik-cabik keutuhan negara.
Pandangan yang waskita itu sudah terbukti. Indonesia masih tetap utuh, sementara negara-negara pantarannya sudah hancur berantakan. India terpecah menjadi Pakistan dan kemudian Bangladesh. Yugoslavia hancur berantakan berkeping-keping menjadi negara-suku kecil-kecil dengan penduduk ratusan ribu saja. Negara-negara Timur Tengah terus menerus bergejolak tak mampu menemukan kedamaian sampai sekarang. China, masih tetap bertahan kokoh karena konsensus nasionalnya masih tetap diugemi oleh para pemimpinnya.
Pancasila adalah konsensus yang hebat. Pancasila adalah sebuah ijtihad politik yang amat sangat brilian. Pancasila adalah hasil perenungan yang sangat dalam mengenai berbagai paham politik yang ada di seluruh dunia untuk kemudian disarikan dan dipadukan dengan nilai-nilai kearifan lokal-tradisional. Lalu lahirlah lima sila Pancasila itu.
Namanya juga ijtihad, tidak ada yang sempurna. Tapi, yang harus diingat adalah ijtihad itu lahir dari pemikiran para pendiri bangsa yang tulus dan tidak punya kepentingan pribadi atau kelompok.
Tentu saja Pancasila banyak menuai kontroversi. Sebagai ideologi yang eklektik ia dianggap tidak orisinal. Ia bisa diinterpretasikan sesuai dengan kehendak mereka yang berkuasa. Maka, lahirlah Demokrasi Terpimpin ala Soekarno dan Demokrasi Pancasila ala Soeharto.
* * * *
GERAKAN reformasi 1998 mengoreksi penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara. Demokrasi Pancasila versi Soeharto melahirkan rezim otoriter yang justru bertentangan dengan sila-sila Pancasila itu sendiri.
Yang terjadi kemudian gerakan reformasi bukannya mengembalikan penyelenggaraan negara kepada ruh Pancasila yang sudah menjadi konsensus para bapak pendiri bangsa kita.
Anak kandung reformasi adalah demokrasi liberal yg salah kaprah. Kita menjiplak begitu saja konsep demokrasi liberal tanpa secara teliti memperhatikan dan memperbandingkan kondisi historis yang berbeda antara satu negara dengan lainnya.
Bahwa demokrasi adalah universal mungkin kita semua bisa sepakat. Tetapi, dalam penerapannya tentu saja demokrasi membutuhkan penyesuaian dengan kearifan lokal. Pancasila adala upaya untuk menyesuaikan spirit demokrasi dengan kearifan lokal yang kaya sekaligus rumit.
Kita sering (kalau tidak selalu) menoleh kepada Amerika Serikat sebagai role model demokrasi. Bahkan di Amerika pun keresahan terhadap demokrasi liberal sudah sedemikian meluas. Di Amerika yang demokrasinya sudah dua setengah abad sekarang muncul keresahan luas bahwa demokrasi telah menjadi demokrasi pemodal; siapa punya uang dia yg menang, dan akhirnya si presiden yang menang itu akan tunduk kepada para pemilik modal yang menjadi donatur politiknya.
Mantan wakil presiden Amerika, Al Gore, adalah satu di antara banyak pemimpin Amerika yang resah oleh perkembangan itu. Gore seorang politisi yang pintar dan sangat intelektual. Pemikiran-pemikirannya yang brilian ia tuangkan dalam buku "The Future" (2013). Ia sangat cencern terhadap isu-isu lingkungan. Tapi, ia juga amat sangat resah oleh arah demokrasi liberal yang mengarah kepada demokrasi korporasi. Ia melihat politik Amerika sekarang sudah dibajak dan dikuasai oleh para pemodal.
Sayang sekali, Gore yang cerdas dan pintar kalah dalam pemilu presiden melawan George W. Bush yang secara intelektual kelasnya jauh di bawah Gore.
Menurut Gore, para bapak pendiri bangsa Amerika seperti Thomas Jefferson sudah mengantisipasi kondisi seperti sekarang ini. Kearifan mereka membawa kepada pemikiran bahwa di masa mendatang demokrasi liberal akan mudah dibajak oleh mereka yang punya modal. Berbagai upaya untuk melindungi dan memagari demokrasi di Amerika sudah dilakukan, tapi toh bobol juga oleh para pemilik modal.
Indonesia telah menuju ke direksi yang sama. Demokrasi liberal dalam bentuk pemilihan langsung yang baru belasan terapkan, telah melahirkan keresahan luas karena meluasnya praktik politik uang yang sangat sulit dideteksi.
Amerika sudah ratusan tahun menerapkan demokrasi liberal dan telah matang karena pengalaman. Tapi keresahan terjadi secara meluas dan seruan untuk kembali kepada ruh demokrasi seperti yang diprokamasikan para pendiri bangsa bergaung di mana-mana.
Indonesia baru belasan tahun menerapkan demokrasi liberal. Kita mengalami penyimpangan dan penyelewengan. Keresahan akibat penyelewengan ideologi negara ini begitu luas dan mendalam. Seruan agar kita kembali kepada ruh demokrasi Pancasila pun semakin kuat.
Pada masa lalu, ketika Soekarno dianggap melenceng terlalu jauh ia harus "diingatkan" melalui revolusi. Soeharto yang kemudian menggantikan Soekarno pada akhirnya harus "diingatkan" juga melalui "revolusi reformasi". Kita diajari oleh sejarah bahwa akan selalu muncul "peringatan" ketika kita telah melenceng dari cita-cita dan ruh Pancasila. Akankah sekarang muncul lagi gerakan untuk memberi "peringatan" agar kita kembali kepada ruh dan cita-cita Pancasila? Wallahu a'lam.