
Daya Tarik Wisata Indonesia Memudar di Mata Asing
INDONESIA dulu memiliki daya tarik yang sangat besar bagi wisatawan asing. Hal itu disebabkan oleh berbagai keunggulan yang menjadi ciri khas nusantara, mulai seni, budaya, alam, sejarah hingga sosial masyarakatnya, termasuk seni arsitektur bangunan yang unik pada tiap-tiap daerah di seluruh pelosok tanah air.
Itu dulu..., tapi sekarang sudah tidak lagi. Daya tarik itu semakin memudar. Penyebabnya karena nilai-nilai khas yang dimiliki berbagai daerah itu kini banyak yang hilang tergerus oleh modernisasi.
Masyarakat luas, secara sadar atau tidak sadar dengan berbagai kegiatannya atau bahkan Pemerintah dengan kebijakannya terkesan 'meridhoi' atau 'membiarkan' terjadinya proses percepatan degenerasi potensi wisata tersebut menuju jurang kehancuran.
Fakta...mari kita lihat bersama, dimana-mana nilai-nilai kekhasan, contoh seperti seni arsitektur bangunan yang didominasi dengan gaya (style) minimalis, telah menggusur seni arsitektur kuno yang sebelumnya menjadi ciri khas daerah-daerah di nusantara.
Proses pergusuran ini terjadi secara masif hampir di seluruh kawasan nusantara, sehingga mana bangunan joglo, limasan yang dulu jadi ciri khas rumah di Jawa, juga bangunan khas suku Madura maupun suku lain di beberapa kawasan juga hampir punah.
Demikian juga seni budaya rakyat yang dulu juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, seperti pesta seni rakyat, tari-tarian, upacara adat menjelang tanam atau panen padi, gotong royong, mendongeng hingga penggunaan pakaian adat, dan lain-lain sudah jarang ditemui lagi.
Pagelaran kesenian rakyat, seperti ludruk, ketoprak, wayang orang maupun lenong Betawi sangat jarang dijumpai lagi.
Juga pementasan kesenian wayang orang, maupun wayang kulit jadi pertunjukan yang relatif langka dan 'mahal'. Hal yang tidak jauh beda juga terjadi pada kesenian di luar Jawa.
Kegiatan berkesenian dan berkebudayaan masyarakat yang hingga kini relatif tetap terjaga dengan baik hanya ada di Bali. Itu juga karena terkait dengan upacara agama Hindhu, seperti ucapara wiwit [panen], metri, hingga ngaben.
Itulah yang menyebabkan mengapa Bali hingga kini tetap memiliki daya tarik yang kuat di kalangan wisatawana asing. Daerah-daerah lain sudah memudar.
Merebaknya bangunan aristektur modern yang meniru style dunia luar yang terjadi pada kawasan hunian maupun bisnis, hampir merata pada semua daerah di Indonesia, justru semakin mempercepat laju hilangnya nilai-nilai kekhasan nusantara tadi.
Lantas apa bedanya dengan Hongkong atau Singapura misalnya. Bahkan mereka jauh lebih hebat, sehingga kalau dihadapkan kesana kita pasti kedodoran. Jangan mimpi kita bakal menang dengan mereka.
Padahal semuanya tahu, turis datang ke sebuah negeri lantaran ingin melihat nilai-nilai yang mereka anggap khas yang dinegaranya tidak ada. Semuanya ingin mereka lihat…seni, budaya, sejarahnya, alamnya hingga sosial kemasyarakatannya.
Namun jika lambat laun nilai khas-khas yang ada di Indonesia ini sudah pada hilang…maman mungkin mereka mau datang lagi.
Makanya, jangan heran jika pemerintah sangat sulit sekali memacu pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Kenapa, karena aset-aset wisata yang memiliki potensi besar untuk menjadi daya tarik kunjungan wisatawan asing ke Indonesia, sudah semakin punah.
Itupun, baru pada aspek obyek tujuan wisata, belum menyangkut yang lain, termasuk kualitas layanan, keamanan berwisata, manajemen pemasaran atau kemasan yang jelek, kualitas infrastruktur atau akses jalan menuju obyek wisata yang buruk dan rusak, hingga kondisi obyek wisata yang kotor, rusak, atau tidak terawat.
Ini semua memprihatinkan. Diakui atau tidak, perusakan-perusakan potensi wisata itu bukan orang lain yang melakukan, tapi kita sendiri. Patut disayangkan...
Di sisi lain, emerintah sangat lemah dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan fisik di berbagai kawasan, yang sebenarnya dapat dilakukan untuk melindungi aset-aset wisata tersebut dari kehancuran.
Lihat saja, meski di beberapa kota ada perda (Peraturan Daerah) yang ditujukan untuk melindungi bangunan yang ditetapkan, sebagai cagar budaya, tapi masih saja ditemui proses penghancuran aset terjadi secara masif.
Contoh, Stasiun Semut Surabaya. Setelah hancur baru banyak yang teriak. Mau dipulihkan…? Apa bisa seperti semula…, 'nonsense' !
Yang pasti, sampai saat ini semuanya layak angkat topi untuk memberi penghargaan kepada Pemkab Bali, yang mengeluarkan perda yang mewajibkan gaya bangunan di Bali harus mengacu pada arsitektur Bali.
Seyogyanya, semua daerah harus memiliki perda perlindungan arsitektur daerah masing-masing, sehingga gaya arsitektur lokal tetap terjaga dan tidak menjadi punah. Tapi bukan hanya membuat Perda-nya, namun juga menjalankannya dengan tegas dan benar.*