Holding BUMN Perkebunan Jangan Terjebak Birokrasi
BEBERAPA hari menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah resmi membentuk holding company Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perkebunan.
Perusahaan induk yang mewadahi 14 perseroan Perkebunan Nusantara (PTPN) I s/d XIV tersebut diresmikan Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam sebuah upacara di kantor pusat PTPN XI, Surabaya, Kamis (2/10/2014).
Pada saat bersamaan, Menteri BUMN Dahlan Iskan juga meresmikian pembentukan holding BUMN Kehutanan.
Rencana pembentukan holding company BUMN Perkebunan sudah berjalan lama, bahkan sejak era pemerintahan BJ Habibie saat Menteri BUMN dijabat Tanri Abeng.
Otomatis dengan adanya holding yang menjadikan PTPN III di Medan sebagai champion, masing-masing PTPN turun peringkat menjadi anak perusahaan.
Langkah tersebut bernilai positip untuk meningkatkan nilai (value) melalui kerja-sama antar anak perusahaan yang lebih baik, khususnya dalam soal pemasaran bersama, investasi, pengembangan usaha, dan produk derivat yang secara teoritik berpeluang meningkatkan posisi tawar (bargaining position).
Aset dan akumulasi laba dari 14 perusahaan pembentuknya memungkinkan BUMN Perkebunan mengakses dana dari luar lebih besar.
Kapitalisasi yang besar penting untuk pengembangan usaha yang selama ini terkesan kurang terarah. Sejumlah anak perusahaan yang megalami kesulitan pendanaan seperti PTPN II dan PTPN XIV dapat melakukan aliansi strategis lebih baik lagi dengan lainnya.
Dengan demikian, masing-masing anak perusahaan dapat lebih berkonsentrasi pada peningkatan daya saing produk berbasis produktivitas dan efisiensi.
Apalagi di bawah holding nantinya ada PT Riset Perkebunan Nusantara sebagai kumpulan pusat penelitian yang dapat mengawal inovasi untuk menghasilkan teknologi lebih maju.
Juga ada Lembaga Pendidikan Perkebunan yang dapat dioptimalkan perannya sebagai pusat diklat dan centre of excellent. Holding mengatasi sumber daya yang terbatas, khususnya kepakaran untuk disiplin dan pengalaman tertenu yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama.
Keterlibatan Kementerian BUMN dalam pengendalian korporasi juga dapat dikurangi sejalan telah dilimpahkannya kepemilikan saham (ownership) kepada holding.
Hal-hal yang perlu mendapat keputusan Pemegang Saham bagi anak perusahaan cukup dilakukan pada tingkat holding. Tidak perlu seperti sekarang yang semuanya bermuara pada Menteri BUMN dengan birokrasi berjenjang mulai dari Deputi, Asisten Deputi, Kepala Bidang hingga staf.
Namun demikian, untuk menjalankan holding diperlukan transisi yang tidak mudah, khususnya adaptasi budaya mengingat masing-masing perusahaan yang tergabung memiliki keragaman budaya kental.
Karyawan juga pasti merasa bahwa saat tempat mereka bekerja menjadi anak perusahaan, mereka tidak lagi berstatus sebagai karyawan BUMN.
Bagi sebagian orang, status sebagai karyawan BUMN ini penting sekaligus kebanggaan. Holding harus terus-menerus melakukan sosialisasi bahwa tujuan utama perusahaan dibentuk adalah meningkatkan kesejahteraan stakeholders, termasuk karyawan, secara berkelanjutan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya dimiliki.
Kesejahteraan akan terwujud bila perusahaan dapat menjalankan peran korporasinya dengan baik, mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan strategik lebih cepat yang terformulasikan ke dalam corporate action dan program, serta menghasilkan karyawan profesional.
Rentang kendali yang terlalu luas juga bisa membuat holding kurang efektif dan bahkan terjebak birokrasi. Tetapi cara ini dapat diatasi melalui struktur organisasi yang lebih fleksibel. Karena masing-masing anak perusahaan bersifat otonom.
Holding seharusnya hanya berperan sebagai pemegang saham dan berfokus pada hal-hal strategik. BUMN Perkebunan perlu belajar banyak dari korporasi multinasional yang memiliki wilayah operasi seluruh dunia.
Memang BUMN Perkebunan tidak lagi bisa menggunakan cara-cara pengendalian seperti sekarang yang terlalu birokratis. Teknologi informasi sangat membantu pengendalian semua sistem operasi yang bersifat real time. Sudah seharusnya holding tidak terjebak urusan birokrasi terlalu jauh.
Sayangnya meski BUMN Perkebunan telah menyatu dalam holding, khusus untuk industri gula masih akan terjadi kompetisi yang cenderung destruktif. Masih ada PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang tidak melebur ke sana. PT RNI sendiri dewasa ini mengelola 7 pabrik gula (PG) di Jawa melalui 2 anak perusahaannya.
Konflik kepentingan dalam memperebutkan bahan baku giling berupa tebu antara PTPN Gula dan PT RNI di Jawa untuk sementara belum akan terselesaikan, apalagi lahan makin terbatas dan animo petani menanam tebu tergerogoti harga gula yang kurang bersaing dibanding komoditas agribisnis lain.
Untuk menciptakan iklim persaingan sehat dan kondusif, masing-masing pihak tentu harus meningkatkan daya saing dan layanan lebih prima, dan menjaga hubungan baik kepada petani pemasok tebu.*