
Gawat Darurat Industri Gula
KONSTRUKSI sebuah sistem ekonomi yang menopang implementasi kegiatan produktif akan bermuara pada terwujudnya sebuah penguatan atas pemanfaatan sumber daya lokal.
Hal itu berujung pada satu kemaslahatan bagi pelakunya yang merefleksikan kemauan politik (political will) penyelenggaraan negara dengan berpihak nyata pada asas-asas keadilan.
Dalam dualisme ekonomi, antara lain ditandai berlanjutnya marginalisasi dan polarisasi sosial, sebuah kebijakan netral saja tidaklah efektif untuk mendongkrak kekuatan periferal tereksploitasi.
Kondisi diametral tadi sangat tepat untuk mengilustrasikan keberadaan petani tebu dan industri gula berbahan tebu dalam negeri.
Eskalasi biaya produksi, sebagian diakibatkan kebijakan pemerintah terkait pengurangan subsidi bahan bakar minyak berikut efek domino yang ditimbulkan terhadap keseluruhan struktur ekonomi. Selain itu juga tidak dapat diimbangi harga jual produk secara wajar.
Hal tersebut bisa jadi sebagai stereotipe ketidakberdayaan kita memahami alur pemikiran para pengambil kebijakan pada tingkatan suprastruktur.
Industri gula lokal dipaksa berkompetisi pada lingkungan tidak fair, sehingga seolah harus bekerja tanpa arah jelas. Swasembada sudah dicanangkan tetapi miskin insentif yang memungkinkan lompatan spektakuler pada dimensi teknis lebih luas. Kebijakan over-lapping di tengah lemahnya koordinasi antarkementerian, praktis membuat atmosfer industri menjurus anomali.
Secara konkret, petani tebu dan industri gula sekarang dihadapkan harga jual produk sangat murah. Besarannya hanya berkisar Rp8.005 per kg sampai Rp8.150 per kg. Harga tadi praktis lebih rendah dibanding harga patokan petani versi pemerintah sebesar Rp8.500.
Tidak tercapainya rendemen (kadar gula) di sejumlah kawasan akibat berbagai faktor sebesar 7,85%, membuat produsen potensial merugi dalam bilangan relatif besar.
Dengan biaya pokok produksi (unit cost) Rp8.791, kerugian tersebut sudah di pelupuk mata. Sebagai makhluk rasional, saat menghadapi kondisi ekstrim petani hanya punya opsi, logis membiarkan tanaman keprasan lanjut dengan budidaya seadanya dan tidak melakukan ekspansi areal.
Ketidakberdayaan menghadapi lingkungan eksternal dipastikan berdampak menurunnya produksi gula nasional tahun depan.
Sementara petani memiliki alternatif tak lagi berkonsentrasi pada tanaman tebu. Tidak demikian halnya dengan pihak industri gula. Ketergantungan sekitar 90% bahan baku industri dari petani membuat mereka kehilangan pamor tanpa posisi tawar (bargaining position) yang memadai.
Defisit bahan baku secara nyata berimbas terhadap efisiensi, kelancaran giling, dan pendapatan diperoleh masing-masing pabrik. Inilah yang ditengarai banyak pihak bakal mereduksi produksi berikut jumlah pabrik gula di Jawa dalam waktu tidak terlalu lama.
Dari perspektif lain, lenyapnya pabrik-pabrik gula juga menutup peluang bagi petani saat memilih komoditas usahatani yang dinilai prospektif. Mereka paham bahwa alih komoditas juga tidak menjamin diperolehnya harga saat panen memadai.
Pertanyaan besar layak diajukan di sini, apakah memang sudah ada desain untuk membuat industri gula sebagai pasien gawat darurat dalam ekonomi Indonesia? Apakah sudah ada format baru akan lebih baik bila Indonesia mengimpor gula kristal mentah (raw sugar) dengan harga cenderung makin murah, untuk kemudian diolah di dalam negeri melalui industri rafinasi dengan efisiensi lebih baik dan manajemen manufaktur modern?
Jawabannya tidak pernah jelas, namun secara empirik membenarkan fakta obyektif yang berkembang bahwa mesin-mesin tua (obsolut) sebagian pabrik warisan kolonial tidak dapat dipertahankan lagi untuk jangka waktu lama.
Konsekuensi logisnya, meskipun sebagian mesin/peralatan telah diganti dalam format revitalisasi agar efisiensi dan skala ekonomi makin layak, tetap saja sebagian pabrik kecil dari dimensi geospatial terjepit harus diamputasi.
Liberalisasi perdagangan terutama komitmen Indonesia atas terbentuknya Komunitas Ekonomi ASEAN 2015 memaksa tidak adanya cara lain kecuali amputasi bagi industri tidak berdaya saing kuat.
Atas nama kepentingan konsumen dengan jumlah jauh lebih banyak dan pengendalian inflasi agar tidak melampaui dua digit selalu menjadi justifikasi pemerintah terkait formula harga pangan murah. Petani dan agroindustri dipaksa berproduksi dalam ketidaksetaraan.
Khusus untuk gula, bukan rahasia lagi kalau sebagian besar atau hampir seluruh negara produsen dunia memberikan subsidi, insentif, dan fasilitas secara berlebihan kepada petani tebu mereja.
Harga jual gula di pasar eceran yang jauh lebih mahal dibanding ekspor’ dapat dijadikan indikasi unfair trade telah terjadi. Kalau Indonesia tidak memproteksi petani dan industri gulanya dalam batas-batas kewajaran, tunggu saja saat tepat negeri ini bakal menjadi tempat pembuangan sampah bagi produk agroindustri negara-negara tertentu yang pasar domestiknya sudah jenuh.
Negara semestinya hadir untuk bisa mengurai persoalan nyata petani tebu. Potensi rembesan gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor harus diatasi dengan memberikan efek jera kepada pelakunya. Tidak lagi sekadar mengurangi kuota impor dan menyalahkan distributor nakal seperti yang dilakukan selama ini.
Selama impor raw sugar dilakukan sesuai kebutuhan indikatif industri makanan/minuman penggunanya, rembesan yang sangat mengganggu penetrasi pasar gula lokal tidaklah terjadi simultan. Proporsionalitas impor raw sugar, baik melalui pengurangan kuota maupun waktu pelaksanaan dan kedatangannya ke pelabuhan-pelabuhan Indonesia, setidaknya bisa membantu mengatasi carut marut gula.
Bagaimana pun juga, industri gula mutlak harus dipertahankan keberadaan sekaligus ditingkatkan kontribusinya dalam konstelasi ekonomi yang makin urban-industrial.
Bahkan penguatan industri secara integral baik ke hulu maupun hilir, dalam arus transformasi korporasi yang benar diikuti pemilihan teknologi ramah lingkungan diyakini bisa meningkatkan daya saing ke arah yang lebih baik. Hingga pada akhirnya tercermin pada unit cost yang mampu bersaing dengan gula impor.
Semuanya tergantung komitmen pemerintah sendiri apakah tetap membela industri gula rafinasi berikut ketergantungan impor bahan baku ataukah membangun keunggulan kompetitif kebun-kebun tebu melalui kebijakan tepat-terarah.
Hanya melalui cara itu industri gula dapat keluar dari instalasi gawat darurat untuk selanjutnya menjalani recovery secara benar, baik secara teknis manajerial maupun alur kebijakan penopangnya.*