josstoday.com

Siap Menang, (gak) Siap Kalah

SIAP kalah siap menang: sudah menjadi mantra yang wajib dibaca, dihafalkan, atau cukup dibatin dengan bibir komat-kamit oleh semua kontestan pemilu dan konco-konconya.

Terbukti, orang tua kita selalu benar bahwa mengucapkan lebih mudah daripada mempraktikkan. Enteng di lidah, beban di hati, dan sangat berat di perbuatan.

Saat menang senang menepuk dada, "Kami adalah penguasa", lalu lupa bahwa waktu kalah ngambek sepuluh tahun lamanya. Saat menang menuntut penyerahan diri total bahkan sampai hal-hal yang kecil, "Mengapa lawan tidak memberi ucapan selamat".

Para politisi dan rombongan serta "rombengan" yang menyertai mereka sudah tahu bahwa dalam berpolitik maunya ingin menang sendirian, "the winner takes all". Tapi pelajaran bab pertama dalam ilmu politik adalah bahwa politik adalah "all about" negosiasi, kompromi, konsesi, toleransi, dan mundur selangkah untuk maju beberapa langkah.

Bagi politisi yang berlaku harusnya satu lawan terlalu banyak seribu kawan terlalu sedikit. Tidak mungkin, memang, meminta semua orang berada sebarisan semua dengan kita.

Itulah perlunya seni politik, the art of possibilty, seni mengenai kemungkinan; tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, semuanya serba mungkin. Jadi, kalau Anda percaya kepada kemutlakan dalam politik, dominasi tunggal, dan hegemoni, Anda hidup di dunia awang-awang dan membayangkan diri sebagai tiran. Atau, kalau ingin jadi penguasa mutlak jangan jadi presiden, jadilah raja.


* * * *

Sungguh kita telah menjadi saksi opera politik, dagelan politik, atau apapunlah namanya. Bisa membuat orang ketawa tapi sekaligus bisa membuat menangis. Mencaci maki bukan hal yang tabu. Seisi kebun binatang semuanya disebut. Berbagai labeling, tudingan bermunculan: neo-orba, tirani, fasis, totaliter, zalim, tidak beradab, busuk, munafik, pengkhianat, bajingan, bandit.....

Bahkan di televisi ada yang mengumpat "Bangsat". Seingat saya cuma Gombloh yang bisa mengumpat "bangsat" dengan cengengesan dan celelekan tanpa rasa berdosa. Tapi, kalau sekarang ada "so called" ilmuwan, pengamat, pundit, atau dukun politik yang mengumpatkan kata itu di televisi kita harus maklum berarti dia sudah sangat-sangat marah sampai-sampai (nyaris) kehilangan akal sehatnya.

Cinta, kata Gombloh itu seperti tai kucing rasa cokelat. Kalau cinta sudah melekat apapun menjadi terlihat indah. Tapi, ketika kemudian cinta ditolak, yang bisa dilakukan hanya mengumpat, "bangsat".

Mereka, para pendukung calon-calon presiden pada pilpres yang lalu adalah orang-orang yang sedang gandrung, jatuh cinta berat. Cinta tak perlu logika. Kata Vina Panduwinata dan Agnez Monica. Percuma memberi argumen ilmiah kepada mereka. Cinta membuat mata buta. Jadi, dimaklumi sajalah, tidak perlu mengumpat-umpat, karena tidak akan mudah orang pindah ke lain hati.

Sebaiknya kita terima kenyataan yang ada ini dengan lapang dada. "Everybody play the game"; tiap orang sedang bermain game politik. Ada kala menang ada kala kalah.
Bagi yang kepalanya dingin air yang setengah di gelas akan disebut setengah penuh. Tapi si panas kepala menyebutnya setengah kosong, lalu memaki-maki dan menyebut negara mau kiamat.

Marilah belajar menjadi si kepala dingin. Fenomena politik ini menunjukkan bahwa sekarang sudah mulai ada embrio untuk lahirnya sistem dua partai ala Amerika Serikat.

Bangun rancang awalnya sudah terlihat antara koalisi partai-partai berbasis Islam dengan partai-partai nasionalis-sekuler. Tentu pengelompokannya tidak bisa sesederhana itu. Tetapi, semua sudah tahu bahwa preferensi politik masyarakat terbelah tepat menjadi dua.

Momentum ini yang harus dijaga dan dipertahankan. Karena itu perlu ada koalisi permanen. Silakan masing-masing jalan, tidak usah saling ganggu.

Yang penting adalah harus ada kesadaran kolektif terhadap konsensus nasional bahwa Indonesia adalah "Negeri Paripurna", meminjam istilah Yudi Latief. Bahwa Pancasila dan NKRI telah menjadi konsensus yang dibangun oleh para bapak pendiri bangsa sebagai dasar kita berbangsa dan bernegara. Boleh saja Islam dijadikan sebagai warna politik asal tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Siapa bilang di Amerika agama (Kristen) tidak punya peran dalam politik. Peran agama sangat penting di Amerika dan menjadi identitas paling penting bagi para pemilih. Partai Republik sering disebut konservatif karena pro terhadap status quo, lebih dianggap elitis, mendukung orang kaya, dan pendukungnya adalah orang-orang saleh yang sangat dekat dengan gereja. Partai ini disebut GOP (Grand Old Party), agak jadul dan pendukungnya banyak yang tuwir.

Partai Demokrat berada pada sisi yang berseberangan; lebih muda, terbuka, liberal, pro hak asasi manusia seperti aborsi dan gay-lesbian, serta keberpihakan yang lebih besar kepada kulit berwarna dan minoritas.

Tiap kali pemilu presiden selalu asyik karena hanya menampilkan dua pasang calon saja pada partai final. Tapi, sebelum mencapai final harus ada rangkaian konvensi yang sangat panjang dan berbelit-belit, melelahkan serta menguras uang, waktu, dan tenaga. Seorang calon harus berkeliling kampanye ke seluruh penjuru negeri untuk memenangkan tiket konvensi.

Pada akhirnya, pada babak final, dua pasang calon pemimpin itu akan bertarung habis-habisan beradu program untuk memenangkan hati rakyat. Saling serang itu hal biasa. Saling menjatuhkan itu bukan soal, asal fatsun dan sopan santun politik tetap dipegang.

Politik, sekali lagi, adalah soal jatuh cinta. Tahi kucing bisa rasa coklat. Dan kalau gagal mendapatkan cinta, bolehlah mengumpat ala Gombloh; Bang...saat. (*)