Jalasveva Jayamahe, Menuju Trisakti
KITA telah terlalu lama memunggungi samudera, memunggungi laut, memunggungi teluk, memunggungi selat. Kita kembalikan kejayaan kita sebagai negara maritim. Jalesveva Jayamahe, di lautlah kita jaya.
Itulah sepenggal isi pidato pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sidang Paripurna MPR, di Jakarta, Senin (20/10/2014).
Banyak yang terkejut mendengarnya, dan sekaligus memuji pidato pertama Presiden Jokowi yang dinilai langsung ke pokok pikiran (straight forward).
Pada kesempatan itu presiden seolah telah menegaskan pentingnya kemandirian dan kedaulatan kita sebagai suatu bangsa.
Jokowi juga menekankan adanya garis kebijakan yang akan ditempuh untuk mewujudkan kemandirian bangsa.
Coba kita simak penegasan ini : "Kita kembangkan jiwa pelaut kita, pelaut pemberani yang berani mengarungi laut dan samudera. Kita kembangkan layar. Saya berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi.”
Pernyataan demi pernyataan yang cukup mendasar terus mengalir membangkitkan semangat. Intinya jelas tersirat bahwa Jokowi yakin Indonesia dapat menjadi bangsa besar kreatif yang bisa menyumbang keluhuran kepada dunia.
Tidak hanya itu, sosok sederhana ini juga meyakini bahwa Indonesia akan semakin kuat dan berwibawa, dan sekaligus memastikan setiap rakyat di pelosok merasakan pembangunan.
Lebih lengkap lagi, Jokowi juga mengutip sesanti Proklamator bangsa, Soekarno, yang menjunjung tiga sila penting Trisakti, yaitu, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya.
Yang pasti, pergantian Pemerintahan Indonesia dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo adalah sudah usai, antara lain prosesnya dipenuhi tradisi baru yang baik, dan perlu diteruskan.
Semua tokoh hadir pada pelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu, juga dihadiri oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, yang domisioner serta ketua umum partai-partai politik.
Bahkan sebelumnya, ada pernyataan positif dari Prabowo Subianto yang menyatakan siap untuk bersinergi dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kehadiran Prabowo Subianto dan kesiapannya untuk bekerja sama dengan pemerintah maupun mendukung pemerintah melalui parlemen, menunjukkan sikap kenegarawanan yang juga perlu ditauladani.
Pastinya, sejak Senin (20/10/2014) harmoni demokrasi telah terlihat mulai terbangun. Belum lagi respon positif pasar yang terus membaik.
Sebagai gambaran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) Senin dibuka menguat ke posisi 5.068,58 poin, didukung sentimen domestik yang cukup kondusif.
Tidak hanya IHSG, nilai tukar rupiah pun pada saat yang sama, ditransaksikan antarbank di Jakarta bergerak menguat sebesar 65 poin menjadi Rp12.044 dibandingkan posisi sebelumnya Rp12.109 per dolar AS.
Sebuah gambaran positif bahwa pasar sudah mulai bergairah. Isu mengenai penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, yang dinilai banyak pihak masih menjadi pekerjaan rumah rutin tiap kali ada pergantian pemerintahan, sampai adanya suatu langkah penuntasan atas kasus-kasus tersebut, masih belum berpengaruh signifikan meredam hinggar binggarnya perhelatan nasional pesta rakyat atas pergantian pemerintahan ini.
Meski sebenarnya, kekerasan dan serentetan peristiwa yang di dalamnya diduga terjadi pelanggaran HAM yang berat, seperti meletupnya peristiwa 1965, tragedi Tanjung Priok 1984, pembunuhan misterius sepanjang 1982-1985, tragedi Talang Sari 1989, penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1998, dan kerusuhan sosial Mei 1998, sampai saat ini menunggu jalan penyelesaian.
Dari sisi pengamat dan politisi di arena Senayan, mulai anggota sampai Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, banyak yang berkomentar dan mengajak semua elemen masyarakat untuk menciptakan suasana yang kondusif, demi mewujudkan impian besar bangsa Indonesia.
Rata-rata ajakannya hampir sama, yaitu wujudkan sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil, sistem ekonomi yang adil dan produktif, serta sistem sosial budaya yang beradab untuk menghadapi tantangan sekaligus peluang mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera.
Ajakan itu nampaknya tidak hanya sekedar ‘pemanis dibibir saja’, namun seolah tidak hanya sosok Jokowi saja atau Jusuf Kalla saja yang tersadar bahwa Indonesia berada dalam lingkungan strategis yang menguntungkan, yaitu bonus demografi, bergesernya pusat ekonomi dunia ke Asia, tapi hampir semua lapisan masyarakat Indonesia telah merasakan getaran itu.
Sebab jika keberhasilan Indonesia dalam bidang ekonomi itu tercapai, otomatis pasti menempatkan negara ini dalam peran strategis baik regional maupun global, yang tentunya perlu diperkuat dengan kemandirian bangsa.
Momentum untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa itu kini telah ada dipundak Jokowi. Sebagai Presiden dia terlihat telah siap memikul itu. Terbukti, mengalir ungkapan dalam pidatonya yang menekankan adanya garis kebijakan yang akan ditempuh untuk mewujudkan kemandirian bangsa.
Selamat bertugas Pak Jokowi, dengan semangat Jalasveva Jayamahe menuju Trisakti, yakin semua tercapai…*