josstoday.com

Pentingnya Redesain Pertanian

DALAM beberapa tahun terakhir persoalan kemampuan Indonesia menyediakan sejumlah komoditas pangan dan produk pertanian primer lain yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya lokal terlihat semakin kedodoran.

Meningkatnya jumlah penduduk dan kecenderungan makin beragamnya konsumsi masyarakat sejalan menguatnya daya beli ternyata tidak terimbangi kapabilitas menghasilkan beragam produk pertanian dalam jumlah, delivery, kualitas, dan harga memadai.

Menghadapi kenyataan obyektif tersebut, rupanya para pengambil kebijakan lebih senang menggunakan cara-cara instant dengan memberikan keleluasaan kepada sejumlah perusahaan untuk menyediakannya melalui jalur impor.

Kualitas dan harga produk pertanian primer impor yang umumnya lebih murah menjadi justifikasi beleid, ditambah pentingnya pengendalian inflasi agar tidak melampaui dua digit.
Para petani yang memang lemah dalam bargaining position hanya dapat mengeluh saat harga jual hasil panen sangat rendah dan jauh di bawah biaya produksi usahatani. Mereka dipaksa merugi setelah kalah bersaing dengan produk impor.

Dalam siituasi ketidakberdayaan inilah petani berusaha sekuat tenaga untuk bisa bertahan hingga benteng terakhir ketahanan ekonomi keluarganya jebol. Saat harga komoditas usahatani tidak bersahabat, opsi yang dapat dilakukan hanyalah konversi atau beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih profitable.

Program swasembada sejumlah komodtas pangan yang by design sudah bagus tidak terimplementasikan dengan baik akibat gagal memenuhi ekspektasi petani akan harga jual produk lebih layak. Fluktasi harga tak dapat dihindari setelah pemerintah menyerahkannya kepada mekanisme oasar.

Masalahnya, di sini berlaku hukum ekonomi bahwa harga dipastikan meroket saat jumlah barang dtawarkan di pasar jauh lebih sedikit dibanding permintaan. Sebaliknya harga terseret ke bawah bila jumlah barang ditawarkan jauh lebih banyak ketimbang permintaan pasar.
Kegagalan swasembada kedelai antara lain juga bersumber pada harga tidak menarik bagi petani sehingga proyeksi areal dan produktivitas luput dari genggaman.

Demikian pula fluktuasi harga gula yang membingungkan petani tebu dan kalangan pabrikan bukan hanya menyullitkan kalkulasi sisa hasil usaha dapat diperoleh, melainkan juga rendahnya kemampuan produsen melakukan reinvestasi terkait peningkatan daya saing. Begitu harga gula mencapai titik nadir dan jauh di bawah biaya produksi, petani tidak berdaya melakukan ekspansi areal.

Bahkan untuk memelihara tanaman keprasan saja sudah tidak sanggup. Tidak mengherankan bila pada akhirnya tanaman dibiarkan dalam format seadanya yang jauh dari best agricultural practices dengan konsekuensi produktivitas tidak terlalu tinggi. Sedangkan bagi pabrikan, kerugian secara korporat pastilah mengurangi kemampuan melakukan revitalisasi pabrik dan mengembangkan industri hilir yang berpotensi menurunkan unit cost.

Gambaran suram tersebut sekarang sedang melanda industri gula nasional. Kelebihan stok akibat kuatnya rembesan gula rafinasi dari seharusnya untuk bahan baku industri makanan/minuman ke pasar eceran menjadi kometitor tidak sehat terhadap gula lokal. Para petani mengeluh dan mendesak otoritas perdagangan agar impr gula kristal metah (raw sugar) untuk bahan baku indstri gula rafinasi dipangkas telah berulang kali tetapi sejauh itu pula belum terlihat greget untuk mengurangi.

Pembangunan pabrik gula baru dan perluasan areal budidaya tanaman pangan lain di luar Jawa juga terbentur tidak mudahnya pembebasan lahan. Konversi hutan terjebak moratorium meski banyak kawasan sudah gundul, jadi lahan kritis, dan tidak produktuf lagi. Jebakan ego sektoral berikut lemahnya koordinasi antarkementerian membuat pencetakan sawah baru boleh dikatakan stagnan.

Pencetakan sawah baru di luar Jawa jauh lebih lamban dibandng konversi lahan ke peruntukan non-pertanian akibat pemekaran kota, jalan, dan perkembangan industri manufaktur di Jawa. Harapan peningatan produksi pangan akhirnya lebih banyak bertumpu pada intensifikasi. Secara teoritik tindakan tersebut tidaklah salah.

Apalagi agroteknologi memungkinkan optimalisasi pemanfaatan basis keunggulan kompetitif sumber daya lokal dapat dilakukan secara simultan oleh para petani berdedikasi terhadap profesinya.

Tetapi jebakan impor yang lagi-lagi membuat harga produk pertanian primer sangat murah membuat petani harus berfikir ulang saat memutuskan komoditas usahatani alternatif.

Dalam perspektif makro inilah barangkali kebijakan proteksi untuk melindungi petani dan pabrikan agroindustri dari perangkap dan distorsi liberalisasi perdagangan perlu dilakukan secara simultan.

Kebijakan tersebut antara lain mencakup pemberlakuan bea masuk dengan besaran fleksibel yang memungkinkan harga jual produk petani relatif mendapatkan keuntungan wajar, pembatasan impor secara ketat atau hanya sebatas selisih antara produksi versus kebutuhan, dan impor tidak dilakukan saat stok lebih dari cukup atau panen. Seirama kebijakan proteksi tersebut, suka atau tdak suka, harus ditempuh kebijakan promosi berupa program aksi peningkatan daya saing selama masa transisisi. Harapannya begitu liberalisasi perdagangan diterapkan secara menyeluruh, semua prduk agribisnis kita sudah dinyatakan siap.

Dalam berbagai kesempatan kita serng mendengar fatwa para pengambil kebijakan dan nasihat para akademisi tentang bakal datangnya gelombang liberalisai perdagangan dan investasi yang diakselerasi terbentuknya Komunitas Ekonomi ASEAN berlaku efektif 31 Desemer 2015, tetapi kita tidak tahu apa yang harus dilakukan petani untuk meghadapi dahsyatnya persaingan regional dan global tersebut bila tanpa panduan memadai.

Yang jelas untuk gula dan hortikultura, Indonesia sudah kalah dibanding Thaiand. Beras dan kopi tidak berdaya berhadapan dengan Vietnam, serta kelapa sawit dan karet tampak Malaysia sudah berada di garda lebih depan. Semuanya harus menyadarkan bangsa ini tentang pentingnya pengarusutamaan pertanian dengan mendesain kembali sejumlah kebijakan tidak compatible terhadap tantangan zaman.

Bagi Indonesia, pertanian bukan sekedar basis penyerap tenaga kerja terbesar dan penyumbang devisa melalui ekspor, melainkan juga medan juang tidak pernah mati.

Transformasi struktural menuju ekonomi Indonesia yang lebh urban industrial rupanya juga masih akan tergantung keberhasilan sektor semi-tradisional ini dalam menyelesaikan sejumlah persoalan internal, termasuk menjaga gawang ketahanan pangan bangsa dan memberikan dukungan dengan keterkaitan kuat terhadap industri atau pun sektor ekonomi lain dalam pembangunan. Kealpaan meredesain pertanian sebagai bioindustri berakibat fatal.

Tidak saja tervisualisasikan dalam bingkai retak meningkatnya impor pangan, tetapi lebih dari itu adalah hilangnya kepercayaan petani terhadap apapun yang dilakukan negara.

Sangat berbahaya kalau misalnya petani mogok massal dan tidak melakukan aktivas budidaya akibat harga tidak bersahabat dan minimnya dukungan negara.

Pemerintahan Joko Widodo-Juuf Kalla tentu hars meihat realtas yang berkembang tadi untuk ditransformasikan ke dalam kebijakan ekonom pro produsen yang memberdayakan dan menguatkan. (*)