
Offside
Keputusan menaikkan harga BBM diambil dengan terburu-buru, bahkan tanpa perlu merasa berkonsultasi dengan parlemen. Inilah sebuah tindakan offside yang--bisa saja--berujung dengan kartu kuning, atau--tidak mustahil--kartu merah!
Mestinya sekarang ini masih masa bulan madu pemerintahan Jokowi-JK. Harusnya pemerintahan ini masih sangat mesra dengan rakyatnya, masih penuh kasih sayang dan penuh cinta kasih.
Tapi, kelihatannya masa bulan madu itu berlangsung sangat singkat, atau bahkan tidak ada sama sekali bulan madu itu. Hanya beberapa minggu saja bulan madu itu berjalan, Jokowi sudah memberi kado pahit berupa kenaikan harga BBM.
Bulan madu itu pun praktis berakhir. Demo ketidakpuasan terjadi di mana-mana. Banyak yang kecewa, banyak yang bertanya-tanya, tapi banyak juga yang hanya bisa diam pasrah tak berdaya.
Keputusan menaikkan harga BBM itu mengagetkan karena terjadi begitu cepat. Pemerintah, bahkan tidak merasa perlu untuk berkonsultasi dengan DPR. Yang penting keputusan diambil dengan cepat. Besi harus ditempa selagi masih panas. Kalau keburu dingin pasti akan sulit dibentuk.
Jokowi berpikir keputusan menaikkan BBM harus diambil ketika rakyat masih terbuai oleh indahnya bulan madu dengan pemerintahan baru. Tapi, ternyata tidak demikian adanya. Mungkin di luar dugaan Jokowi, rakyat bereaksi sangat keras. Media masaa yang kemarin membabi buta mendukung Jokowi, tiba-tiba saja balik kanan dan ganti menghajar Jokowi. Bulan madu berakhir sudah.
Jokowi melewati mekanisme konsultasi dengan DPR untuk mengegolkan rencananya. Boleh jadi rencana Jokowi telah melahirkan gol. Tapi, gol ini berbau offside sehingga dianggap tidak sah dan harus dianulir. Tapi, kelihatannya Jokowi tutup mata dan tidak peduli. Ia jalan terus tanpa peduli dengan keberadaan DPR. Ia menganggap DPR tidak punya arti atau bahkan tidak ada sama sekali. Ia lupa bahwa DPR bukan seperti DPRD kota Solo atau DPRD DKI yang tidak punya hak untuk menahan bujet atau rancangan anggaran pemerintah. Di Solo Jokowi bisa leluasa, demikian pula di DKI. Jokowi bisa menjalankan kebijakaannya dengan lancar tanpa terlalu peduli dengan parlemen.
Tapi, dalam sistem kenegaraan kita yang tidak sepenuhnya presidensial (dan juga tidak sepenuhnya parlementer), sikap Jokowi yang menafikan DPR bisa berakibat serius. Sekarang ini sebagian anggota DPR tengah menggalang dukungan untuk mengajukan hak interpelasi.
Kalau upaya ini terus bisa menggelinding tidak mustahil efek bola salju akan terjadi. Dalam terminologi sepakbola Jokowi bisa kena semprit karena melakukan pelanggaran offside.
Pelanggaran itu bisa berujung pada peringatan semata, atau, lebih buruk, bisa berakibat pada keluarnya kartu kuning. Itu peringatan terakhir dalam permainan sepakbola, dan Jokowi harus ekstra hati-hati dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Kalau ia tetap bandel dan keras kepala tidak mustahil ia akan kena kartu kuning kedua yang berarti ia otomatis terkena kartu merah!
Cendekiawan muslim almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah dengan sangat tegas mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak terlalu gampang melakukan kudeta terhadap pemimpinnya. "Sekali terjadi kudeta, akan disusul dengan kudeta-kudeta yang lain." Begitu Cak Nur mengingatkan. Ia tidak setuju wacana untuk mengimpeach Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur oleh parlemen pada awal tahun 2000.
Indonesia telah mengalami masa pergantian kekuasaan yang tidak mulus sejak kemerdekaan. Kosa kata politik kita agak risih memakai istilah kudeta. Tapi, dalam praktiknya kita beberapa kali melakukan kudeta dengan beberapa versinya.
Sukarno yang sudah mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup dikudeta dengan cara Jawa yang halus (namu kejam) oleh Soeharto. Akhirnya, Sukarno, seorang pahlawan kemerdekaan yang cemerlang, mati menderita sebagai tahanan rumah.
Soeharto berkuasa lama dan lupa akan bahaya racun kekuasaan. Ia pun akhirnya harus jatuh oleh kudeta people power mahasiswa. Soeharto meninggal dalam kesepian dan penderitaan. Dua pemimpin itu jatuh melalui pergolakan yang bising dan berdarah-darah.
Kita kemudian memasuki era baru yang dinamai reformasi. Tak berumur panjang. Presiden Gus Dur yang dielu-elukan sebagai kampiun demokrasi hanya seumur jagung duduk di kursi kepresidenan. Ia mengalami impeachment yang manyakitkan. Bercelana pendek dan dituntun oleh putrinya, Gus Dur keluar dari Istana melambaikan salam perpisahan.
Nujum politik Cak Nur menemui kebenarannya, dan sangat mungkin drama impeachment Gus Dur bukanlah yang terakhir. Para bapak bangsa pendiri Amerika sadar betul akan kutukan kudeta dan impeachment itu, dan mereka berusaha sekuat tenaga menghindarinya. Sebagai bangsa kolonial mereka membangun negara barunya dengan susah payah dan satu persatu pelan-pelan meletakkan dasar-dasar politik negara.
Daron Acemoglu dan James A.Robinson dalam bukunya yang memukau "Why Nations Fail" menelusuri sejarah panjang bangsa Amerika sejak masa pembentukan koloni pertama di abad ke-16 sampai dengan sekarang.
Keberhasilan Amerika menjadi negara besar seperti sekarang merupakan hasil dari kerja keras meletakkan dasar-dasar budaya politik demokratis yang teliti sejak hampir dua setengah abad yang lalu.
Acemoglu dan Robinson mengajukan pertanyaan yang mengusik, mengapa Amerika Selatan dan Amerika Utara akhirnya menjalani nasib yang berbalik 180 derajat? Daerah latin di selatan sampai sekarang masih miskin dan tertinggal, sementara di utara Amerika Serikat makmur dan sejahtera.
Padahal, kedua wilayah itu mempunyai pengalaman sejarah yang tidak jauh berbeda. Wilayah selatan jadi sasaran koloni Spanyol dan Portugal. Penduduk asli melawan dan ditindas dengan brutal. Mereka kemudian dieksploitasi untuk keuntungan politik dan ekonomi bangsa penjajahnya. Tidak pembangunan infrastruktur politik yang dilakukan di daerah koloni.
Wilayah utara berbeda. Bangsa Inggris yang menduduki koloni itu sama-sama harus menghadapi perlawanan bangsa pribumi. Tapi, kolonial Inggris melakukan kompromi dengan menawarkan hak-hak politik dan memperkenalkan sistem pemerintahan demokratis. Hasilnya ratusan tahun kemudian bisa terlihat serba berbeda di antara kedua belahan itu.
Amerika merdeka pada 1789 dan berkembang matang melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan. Sampai akhirnya mereka bisa meletakkan fondasi demokrasi yang kokoh dan menjaganya dengan sepenuh jiwa.
Tidak sekalipun dalam pengalaman sejarah Amerika seorang presiden dijatuhkan melalui kudeta maupun impeachment. Pembunuhan terhadap presiden Amerika terjadi beberapa kali dan itu menjadi "budaya" politik Amerika. Tetapi kudeta dan impeachment tidak pernah terjadi.
Pada saat Presiden Clinton terbongkar skandal seksnya dengan Monica Lewinsky ia sudah di ujung tanduk tidak berdaya. Ia bisa diimpeach setiap saat dan sudah pasrah akan nasibnya. Tapi, tradisi politik Amerika menyelamatkannya.
Para anggota DPR dan Senat pada detik terakhir menyadari bahwa tradisi politik tidak boleh ditabrak. Sekali mereka melakukan impeachment untuk selanjutnya tangan mereka akan selalu gatal untuk melakukannya lagi. Akhirnya, Clinton pun lolos dari impeachment.
Sejarah semacam itu terjadi di Indonesia. Presiden Gus Dur terus-menerus bermusuhan dengan DPR. Wacana impeachment kemudian menjadi bola liar yang tak terkendali. Yang terjadi kemudian impeachment terhadap Gus Dur pun dilakukan. DPR dan MPR sama-sama sepakat untuk mendongkel Gus Dur.
* * * *
Anda pasti masih ingat siapa yang mengimpeach Gus Dur ketika itu. Akbar Tanjung sebagai ketua DPR dan Amien Rais sebagai ketua MPR. Akbar Tanjung dari Golkar dan Amien dari PAN. Sekarang ini, ketua DPR Setya Novanto adalah Golkar dan Ketua MPR Zulkifli Hassan dari PAN. Deja vu? Entahlah! (*)