
Jokowinomics
Dulu, di zaman Orde Baru, kita mengenal Widjojonomics untuk menyebutkan model pembangunan ekonomi ala Soeharto yang difokuskan pada pertumbuhan ekonomi untuk menghasilkan efek luberan. Logikanya, kalau yang di atas sudah tumbuh terus-menerus tidak tertampung dan akan tumpah meluber ke bawah. Dengan model ini beberapa konglomerat diberi fasilitas untuk berkembang menjadi sangat besar supaya segera meluber ke bawah.
Model ekonomi ini digagas oleh ekonom hebat Widjojo Nitisastro yang menjadi empu arsitek ekonomi Orde Baru. Pembangunan ekonomi ditata secara rapi dengan pentahapan lima tahunan untuk mempersiapkan pondasi landasan untuk persiapan lepas landas menuju ekonomi yang maju.
Setelah orde itu ambruk, muncul Habibie dengan gagasan Habibienomics. Kalau Soeharto dianggap terlalu condong ke Amerika dengan model ekonomi liberal, Habibie ingin melakukan koreksi dengan mengubah arah ekonomi lebih ke model Eropa terutama Jerman dengan gaya "welfare state" yang kental dengan bau sosialisme. Latar belakang Habibie sebagai empu teknologi penerbangan membuatnya terobsesi membangun industri pesawat terbang sendiri.
Kalau Soeharto menata dengan model rencana pembangunan ekonomi lima tahunan sebelum bisa mencapai tinggal landas, Habibie tidak sabar dengan tahapan itu. Ia lantas, secara harfiah, ingin langsung tinggal landas, meloncat jauh melewati tahapan-tahapan lima tahunan untuk mencoba bersaing dengan negara-negara maju.Pemerintahan Habibie berlangsung seumur jagung, dan gagasan ekonominya ikut terkubur bersama karir politiknya.
Masa-masa reformasi mengubah orientasi pembangunan ekonomi Indonesia. Setelah melewati masa-masa turbulen di dua era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang berumur pendek, Indonesia mulai menata pelan-pelan arah pembangunan ekonominya.
Masa kepemimpinan ekonomi di bawa Susilo Bambang Yudhoyono membawa Indonesia ke arus ekonomi global dengan warna kapitalisme liberal yang sangat kental dan Amerika sebagai panglimanya. Soeharto yang berkuasa 32 tahun telah memahat sebuah era. Habibie yang hanya setahun pun bisa menciptakan sebuah era. SBY yang sepuluh tahun, tentu saja, layak disebut telah menciptakan eranya sendiri.
Dalam era itu Indonesia masuk dalam pusaran ekonomi global dan menjadi bagian aktif darinya. Indonesia tawaddu' mengikuti tatanan internasional yang digariskan oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional, IMF, WTO, Bank Dunia, sehingga secara pelan namun pasti bisa memperkuat basis ekonominya dan kemudian menjaga pertumbuhan ekonomi pada posisi yang lumayan stabil.
SBY dengan taat membawa Indonesia sebagai bagian dari permainan ekonomi global sehingga mendapatkan rekognisi internasional sebagai salah satu potensi yang bisa menjadi kekuatan ekonomi dunia yang penting.
Indonesia menjadi bagian dari kelompok negara G-20 yang secara reguler duduk semeja dengan negara-negara ekonomi besar seperti Amerika dan Eropa. Memang, Indonesia belum disebut dalam satu tarikan nafas bersama negara-negara calon kekuatan ekonomi baru yang sering disebut sebagai BRIC (Brasil, Rusia, India, China), tapi dengan kekuatan pasar 250 juta Indonesia digadang-gadang segera akan menyusul masuk jajaran BRIC itu.
Di masa Soeharto Indonesia diucapkan dalam satu tarikan nafas sebagai "Macan Asia", negara-negara di Asia yang pertumbuhan ekonominya konsisten sekitar 7 persen setiap tahun. Indonesia dipuja-puji sebagai negara yang siap tinggal landas dan siap menapaki era baru sebagai kekuatan ekonomi baru.
Tetapi ternyata baru belakangan ketahuan bahwa pertumbuhan itu tidak didasari oleh sebuah pondasi yang kokoh. Fundamental ekonomi Indonesia disebut rapuh sehingga ketika terjadi turbulensi ekonomi akibat nilai tukar rupiah yang terus menerus anjlok, tiba-tiba saja bangunan ekonomi Indonesia ambruk seperti rumah kartu. Efek domino kemudian terjadi sehingga keruntuhan bangunan ekonomi itu disusuli dengan keruntuhan bangunan politik dan bahkan sosial.
Indonesia telah salah resep untuk mengobati sakitnya. Resep dari IMF yang memaksa Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi total malah membuat negara sekarat.Era baru reformasi membutuhkan waktu beberapa tahun untuk membentuk kembali pondasi yang baru.
Pelan-pelan SBY mulai menata bangunan ekonomi dan berhasil membawa kembali Indonesia ke jajaran kekuatan ekonomi baru yang diperhitungkan. Inilah sebuah era yang bisa saja disebut sebagai SBY-nomics.
Rasanya belum pernah ada yang memberikan label itu kepada SBY, tapi melihat capaiannya dalam sepuluh tahun terakhir ia layak menerima label itu.Sebenarnya, tidak banyak perbedaan pendekatan ekonomi yang dilakukan SBY dengan era Soeharto.
Keduanya sama-sama menjadi anak baik yang penurut terhadap apa yang disebut sebagai "Konsensus Washington", yakni konsep pembangunan ekonomi yang berdasarkan kepada liberalisasi pasar dengan mengurangi seminim mungkin peran pemerintah. Biarkan pasar bekerja sendiri--kalau perlu tanpa regulasi apapun--untuk menunjukkan sentuhan ajaib dari "the invisible hand", tangan yang tidak kelihatan. Mereka sering disebut sebagai "neo-liberal".
Dalam menjalankan tata ekonomi dunia Konsensus Washington melahirkan tiga lembaga yang kuat dan tangguh--IMF, WTO, dan Bank Dunia--yang mengendalikan alur ekonomi dunia. Ketiganya bak dewa yang bisa menentukan siapa harus mendapatkan apa dan harus melakukan apa.
Bahkan saking saktinya mereka bisa mejncabut nyawa seseorang yang dianggap mbalelo. Ekonom Amerika pemenang Nobel, Joseph E. Stiglitz yang sangat kritis, menyebut tiga lembaga itu "The Unholy Trinity" alias Trinitas (tidak) Suci.
Tiga lembaga itu dibagi-bagi rata antara Amerika dan Eropa. Bank Dunia menjadi "milik" Amerika, IMF "jatah" Eropa dan WTO digilir.Siapa yang manut kepada trinitas itu akan menjadi anak emas. Tapi siapa yang bandel, apalagi melawan, pasti dijewer.
SBY menjadi anak emas sang trinitas. Soeharto juga pernah merasakanannya. Parameter-parameter yang dipakai adalah pertumbuhan dan GDP dan ukuran lain yang kuantitatif. Hal-hal yang berhubungan dengan kualitas hidup, misalnya kesejahteraan dan keadilan serta keseteraan, tidak menjadi parameter.
Konsumsi dan pertumbuhan menjadi dewa. Manusia dan alam dieksploitasi untuk kepentingan pertumbuhan.Ekonom Chandran Nair menyebutnya sebagai "Consumptionomics", sebuah pertumbuhan ekonomi yang melulu bersandar pada pertumbuhan ekonomi dari konsumsi.
Inilah yang oleh Nair disebut sebagai biang bencana dunia. Mereka tidak peduli terhadap kerusakan lingkungan dan pemanasan global sepanjang ekonominya tumbuh. Sumber daya alam dianggap sebagai faktor gratis yang bisa dieksploitasi semaunya dan tidak pernah dihitung sebagai bagian dari biaya.
Perusahaan-perusahaan tambang itu menjadi kaya raya karena bebas melakukan eksploitasi. Dan ketika lingkungan menjadi rusak rakyat yang harus menanggung akibatnya. Itulah inti "consumptionomics". Karena itu tak perlu heran kalau Amerika ogah mematuhi Protokol Kyoto mengenai penurunan emisi.
Dalam bukunya yang memukau "Consumptionomics" (R&W, 213), Nair menyebut ekonomi konsumsi itu anak kandungnya Konsensus Washington yang seolah-olah menjadi penguasa dunia. Padahal, kata Nair, para penerap ekonomi neo-liberal hanya ada di negara-negara berbahasa Inggris, yakni Amerika, Inggris, Australia, New Zealand. Tapi mereka punya trinitas yang tangguh dan sangat aktif mempromosikan ideologinya ke seluruh dunia.
Secara khusus Nair menyoroti Asia. Ia mempertanyakan, mengapa negara-negara Asia harus ikut-ikutan menerapkan ekonomi konsumsi. Asia harus punya model pembangunan ekonomi sendiri karena Asia beda dalam segala hal dengan Amerika dan kroni berbahasa Inggrisnya.
Asia harus lebih peduli kepada lingkungan. Asia harus melestarikan tatanan sosial yang tidak individualistis. Asia harus lebih peduli dalam pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendidikan dan kesempatan berusaha. Peran negara tidak boleh "hands-off" alias lepas tangan. Negara harus senantiasa hadir untuk membantu rakyatnya yang kalah dan tersingkir dari persaingan pasar.
* * * *
Indonesia sedang menapaki era baru, yakni era Jokowi yang menyebut dirinya sebagai presiden pilihan rakyat.
Jokowi sudah memproklamasikan "Tri Sakti" sebagai dasar pembangunan ekonomi yang mandiri; mandiri di bidang ekonomi, mandiri di bidang politik, dan berkepribadian dalam budaya.
Indah sekali jargon itu. Kalau Tri Sakti bisa diimplementasikan ke dalam kebijakan ekonomi yang betul-betul mandiri maka kita layak menyebutnya sebagai "Jokowinomics".
Kita akan melihat bagaimana Jokowinomics akan mengelola potensi laut dan ikan yang luar biasa besar di Indonesia. Akankah kita bisa menjadikan negeri kita sebagai negeri maritim dalam arti yang sesungguhnya. Akankah kita mampu mengelola potensi maritim kita dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem. Itulah tantangan terbesarnya.
Pertanyaan yang sama juga berlaku untuk pengelolaan hutan dan sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak, gas, batubara, dan sejenisnya. Akankah era baru ini ditandai dengan pengelolaan potensi alam dengan bijaksana dan memperhitungkan dengan cermat semua biaya sosial akibat eksploitasi alam. Itulah yang sedang kita tunggu.
Kita tunggu bagaimana Jokowinomics akan menghadapi perusahaan multinasional seperti Freeport, Newmont, Exxon dan lain-lain. Akankan Tri Sakti betul-sakti menghadapi raksasa-raksasa itu? Ataukah kita akan melihat sesuatu yang sama saja dengan era-era sebelumnya sejak Soeharto sampai SBY?
Semoga kita tidak sedang menunggu Godot. (*)