josstoday.com

Economic Outlook 2015: Indonesia Masih Harus Prihatin

Perekonomian Indonesia hingga bulan September pada tahun 2014 lebih stabil dibanding dengan tiga triwulan pertama tahun 2013.

Walaupun Inflasi sedikit ada penaikan seiring dengan kenaikan BBM bulan lalu, namun defisit transaksi berjalan menurun, volatilitas nilai tukar sedikit meradang dan suku bunga acuan BI rate naik pada level 7,75%. Kita mulai khawatir dengan tren penurunan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan serta pelebaran distribusi pendapatan.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 masih diprediksi mengalami peningkatan tipis bertumbuh disekitar 5.2% hingga 5.5%, dengan asumsi stimulus fiskal dari hasil penghematan subsidi BBM akan efektif pada semester kedua. Sementara inflasi diperkirakan berada ditingkat yang lebih tinggi dibanding tahun ini, disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan listrik. Dalam menghadapi tekanan inflasi domestik dan kenaikan suku bunga di Amerika maka suku bunga acuan BI diperkirakan akan naik sampai 8.5%. Nilai tukar akan berada disekitar 12.200 hingga 12.700 rupiah per USD dan bahkan bisa tembus pada kisaran 13.100.

Ketika current account mulai menurun , ekspor kita melaju dengan kencang maka rupiah akan menguat terhadap dollar. Akan tetapi permasalahannya apabila ekspor kita melaju, kebutuhan import juga makin tinggi, yang disebabkan pembelian bahan-bahan baku untuk menopang perekonomian kita. Dinamika ini sangat sulit ditebak mau kemana arah dollar, tentunya para pengambil kebijakan harus lebih berhati hati menghadapi situasi yang kurang bersahabat ini.

Melihat gejolak nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir ini, saya sedikit mau mengupas tentang tugas Bank Indonesia untuk ikut meredam terjadinya gejolak nilai tukar yang terus meradang ini.

Hemat saya tidak ada satupun Bank Sentral yang bisa menahan gejolak nilai tukar dalam rezim devisa bebas. Seandainya Bank Indonesia intervensipun, cadangan devisa kita bakal terkuras habis. Dan ini harus ekstra hati hati dalam kebijakan tersebut. Kebijakan moneter kita tidak bebas. Ini bisa mengganggu ekonomi . Karena dalam ilmu ekonomi ada yang namanya "The Impossible Holy Trinity". Pertama, free Capital Flow. Dua, Fixed Exchange Rate. Tiga, Sovereign Monetary Policy, yaitu bila kita hendak menstabilkan nilai tukar, maka peran suku bunga disini harus benar-benar bisa dimainkan dan tujuannya supaya nilai tukar kita tidak terjun bebas. Dan ini warning buat Bank Indonesia, supaya jangan coba-coba intervensi.

Beberapa tantangan utama yang dihadapi pada tahun 2015 yang perlu diperhatikan dan diantisipasi antara lain adalah sebagai berikut:

Pembalikan arah kebijakan moneter menuju pengetatan likuiditas di Amerika masih terus berlangsung hingga bulan Oktober tahun 2014. Bahkan diperkirakan masih akan dilanjutkan dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan tahun depan. Tren kebijakan di Amerika yang cenderung ketat ini dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi inflasi yang muncul sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan penurunan tingkat pengangguran dibawah 6%.

Pembalikan arah kebijakan yang agresif di Amerika perlu diantisipasi dengan persiapan berbagai kebijakan secara terkoordinasi, baik kebijakan stabilisasi, maupun kebijakan transformasi struktural. Kemungkinan pengurangan likuiditas di pasar yang dapat mengakibatkan tekanan pada institusi keuangan perlu diantisipasi lebih dini. Semua perangkat, protokol penanganan potensi krisis sudah harus disiapkan dan “Erly Warning System” sangat diperlukan.

Sementara itu keadaan dan prospek perekonomian Jepang dan Eropa lebih buruk dari perkiraan semula, Abenomics yang telah diimplementasikan semenjak Desember 2012 pada awalnya memberikan harapan yang positif pada perekonomian Jepang.

Paket kebijakan yang dibawa oleh Perdana Menteri Shinzo Abe ini terdiri dari “3 Panah Kebijakan”. Pertama, stimulus fiskal. Dua, moneter yang ekspansif. Dan terakhir, reformasi struktural. Kebijakan stimulus fiskal dan moneter ekspansif telah dilaksanakan sejak awal masa jabatannya dan membawa perubahan yang cukup baik pada perekonomian Jepang.

PDB negara ini terus bertumbuh dari awal tahun 2013 hingga triwulan pertama 2014. Inflasi juga terus meningkat dan penyerapan tenaga kerja terus berkembang. Namun secara mengejutkan terjadi kontraksi pada triwulan kedua, justru sesudah panah kebijakan ketiga diimplementasikan.

Masalah penduduk usia tua yang dirasakan oleh Jepang, membuat negara ini memiliki beban jaminan sosial yang besar sehingga menaikkan pajak merupakan salah satu cara untuk merespon hal tersebut. Akan tetapi kenaikan pajak ini sangat berdampak negatif, jauh lebih besar dari perkiraan bank sentral.

Pertumbuhan yang lebih rendah dari perkiraan ini ditengarai karena penurunan daya beli masyarakat. Sehingga pada saat pajak penjualan dinaikkan, terjadi penurunan belanja rumah tangga secara signifikan. Pertumbuhan PDB triwulan kedua terkoreksi dari 3 persen di triwulan pertama menjadi -1.8 persen lebih rendah dari prediksi bank sentral yang hanya sekitar 1 persen.

Jepang sebagai negara dengan laju pertumbuhan penduduknya yang sangat rendah, kekurangan sumber daya manusia untuk membangun perekonomiannya, sehingga beberapa waktu terakhir Pemerintah Jepang mengkampanyekan wanita untuk ikut terlibat dalam pasar tenaga kerja. Meski demikian, produktivitas yang tidak meningkat belum membawa perubahan yang signifikan pada perekonomian sehingga kenaikan pajak penjualan dianggap masih belum bisa ditanggung masyarakat dengan baik dan berakibat menurunkan konsumsi dengan sangat signifikan.

 Kebijakan moneter dieropa masih longgar. Bahkan baru-baru ini akhirnya Bank Sentral Eropa sudah mengambil tindakan pelonggaran moneter yang ekstrim (QE), sebagaimana halnya Bank Sentral Amerika sudah ambil beberapa tahun lalu. Pertumbuhan negara-negara berkembang masih belum kembali ke level yang sebelumnya bahkan diperkirakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu menengah akan dibawah rata-rata pertumbuhan lima tahun sebelumnya.

Pelemahan pertumbuhan ini juga terjadi secara merata di hampir semua negara berkembang, bahkan dialami negara ekonomi besar seperti Tiongkok, karena Perekonomian Tiongkok masih berada dalam ketidak pastian, bahkan India, Brazil dan Indonesia. Selanjutnya hal ini akan sangat berpengaruh terhadap pelemahan permintaan barang dan harga komoditas.

Tantangan domestik masih relatif sama yaitu terjadi “Paradox”, dimana Indonesia mengalami defisit ganda “twin deficit”, budget dan neraca transaksi berjalan defisit ditengah perlambatan ekonomi.

Defisit neraca berjalan pada tahun 2014 masih cukup besar meskipun sudah menurun dibanding dengan posisi pada pertengahan tahun 2013.

Kebijakan moneter yang diambil dengan cukup agresif tahun 2013, yaitu dengan menaikkan suku bunga sebesar 1,75%, belum sepenuhnya berhasil untuk mengurangi defisit neraca berjalan tersebut.

Bahkan kenaikan suku bunga tersebut lebih berhasil menarik investor portofolio melalui pasar modal daripada memperbaiki neraca transaksi berjalan. Kebijakan ini memang menopang neraca pembayaran melalui kenaikan investasi portofolio, namun dibalik keberhasilan ini, patut diwaspadai potensi pembalikan arus modal.

Karena pada dasarnya investasi portofolio bisa cepat datang, namun bisa cepat pergi manakala terjadi perubahan arah kebijakan di Amerika serikat.

Namun kita tetap harus optimis untuk Perekonomian Indonesia Tahun 2015, bila kebijakan Pemerintah yang diterapkan akan berjalan sesuai dengan komitmen, maka kita tidak perlu khawatir dengan semua tantangan yang kita hadapi pasti akan mencapai suatu keberhasilan yang signifikan untuk Kesejahteraan Masyarakat secara keseluruhan. (*)