
Perjalanan ke Dasar Bumi, 'Mengapa Saya (Ingin) Menjadi Walikota?'
Apakah politik menjadi karir bagi seorang jurnalis?
Itu pertanyaan yang bergelayut di kepala saya belakangan ini. Dalam jagat jurnalistik Indonesia telah muncul beberapa nama besar yang kemudian terjun ke dunia politik dan mendapatkan karir yang cemerlang.
Di masa lalu kita mengenal Adam Malik. Seorang wartawan pejuang yang akhirnya menutup karir politiknya sebagai menteri luar negeri yang andal dan seorang wakil presiden yang mumpuni. Dalam jagat kontemporer, Dahlan Iskan adalah contoh bagaimana seorang wartawan yang sederhana kemudian memburu karir politik dan menjadi menteri BUMN yang kreatif dan progresif.
Jurnalistik adalah sebuah profesi nurani. Seseorang yang memutuskan untuk menjadi jurnalis sejati akan menjadikannya sebagai bagian dari kredo dan ideologi kehidupan yang akan dibawanya sampai mati. Dahlan Iskan--saya menduga keras--akan lebih bangga kalau dikenal sebagai seorang wartawan daripada lainnya. Menjadi wartawan adalah mempertahankan sikap kritis dan objektif secara terus-menerus dalam hidupnya. Seorang wartawan boleh saja secara formal berhenti bekerja di institusi surat kabar, tetapi jiwa jurnalistiknya akan tetap hidup selama dia masih bernafas.
Bill Kovac secara agak nakal menyebutkan bahwa Journalism is Religion. Kalau boleh ada agama kedua saya akan memeluk jurnalistik sebagai agama kedua.
Saya menjalani karir yang panjang dan ilustratif di media-media terbesar di Indonesia. Saya menghabiskan 20 tahun masa produktif karir jurnalistik saya di Jawa Pos. Pengalaman panjang itu membawa saya ke sebuah petualangan ala Jules Verne A Journey to the Center of the Earth, sebuah perjalanan ke dalam perut dasar bumi.
Secara harfiah saya telah mengelilingi dunia. Sebuah perjalanan yang amat sangat berharga. Saya pernah tinggal beberapa tahun di Australia sehingga bisa mencecap nilai-nilai demokrasi dan modernitas disana. Saya mengagumi Negeri Kanguru itu dan jatuh cinta terhadapnya. Tetapi kecintaan saya terhadap Indonesia tak terkalahkan besarnya. Perjalanan ke perut bumi membuat cinta saya kepada Indonesia semakin membumi.
* * * *
Kemudian saya banting setir ingin mempunyai perusahaan media sendiri. Maka saya mengelola dan menghidupkan kembali harian Suara Indonesia yang berumur pendek.
Sungguh, ideologi dan idealisme saja tidak cukup. Harus ada sedikit pragmatisme disana. Barangkali, saya terlalu idealistis dan sering agak abai terhadap realitas kehidupan yang sering keras dan curang. Tapi, itulah yang ingin saya tegaskan kepada dunia di sekitar saya bahwa idealisme adalah harga mati bagi saya.
Perjalanan ke perut bumi membawa saya menyinggahi Harian Surya untuk menjadi pemimpin redaksi disana. Cukup singkat adventure saya itu. Hanya dua tahun. Tetapi, masa pendek itu memberi kenangan panjang sebagai bagian tak terlupakan dalam karir kehidupan. Sepanjang Jalan Kenangan, saya selalu mengenangnya dengan nostalgia dan kerinduan.
Dalam masa pendek itu saya belajar mengenai perjuangan keras yang tidak kenal lelah melawan tantangan. Saya belajar mengenai mencintai keluarga dan kesetiaan untuk terus berjuang. Sampai sekarang saya tetap mencintai Surya sebagai bagian nostalgik hidup yang tak terlupakan.
Perjalanan selanjutnya membawa saya untuk menyinggahi Surabaya Post. Sebuah perjalanan pendek berikut. Sebuah eksperimen yang sulit tetapi menantang sekaligus menarik. Hanya berumur pendek, Surabaya Post memang akhirnya harus menerima takdirnya.
Saya tidak pernah boleh berhenti. Adventure saya akan terus berjalan sampai kapanpun. Kemana setelah itu?
Perjalanan saya membawa kepada dunia olahraga yang sudah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Kecintaan saya terhadap dunia olahraga mendarah daging menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup. Saya malang melintang mengurus sepakbola di Jawa Timur. Saya memimpin PSSI Jatim dan saya bangga telah meletakkan dasar-dasar pembinaan usia dini yang sekarang menghasilkan pemain-pemain di level regional maupun nasional.
Sepakbola adalah passion saya. Sampai usia setengah abad sekarang saya masih rutin bermain sepakbola dengan teman-teman seusia dan dengan yang usianya jauh lebih mudah. Saya masih tetap bermain dengan tim sepakbola Jawa Pos "Askring" (asal keringatan) yang saya dirikan 25 tahun yang lalu dan tetap langgeng sampai sekarang. Saya punya tim sepakbola "Subuh FC" yang bermain setiap Rabu pagi dan kick off pukul 05 00 ketika matahari belum muncul. Saya menjadi Ketua Harian KONI Jawa Timur sekarang dan ikut membawa kontingen Jatim menjadi juara umum PON Remaja I di Jatim tahun ini.
Inilah kontribusi kecil yang bisa saya berikan kepada dunia olahraga kita.
Lepas dari itu semua, saya mencintai keluarga saya dengan sepenuh jiwa. Istriku Ariek D. Abror menemani dalam suka dan duka selama seperempat abad. Seorang wanita yang kokoh dan berkemauan keras serta mencintai keluarga sepenuh jiwa. Tiga anak laki-laki dalam keluarga telah tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang shalih dan tangguh.
Zidny "Sydney" Ilman si sulung sedang menyelesaikan skripsi di Fakultas Hubungan Internasional Universitas Indonesia (HI-UI). Ia sedang merintis cita-citanya untuk menjadi diplomat ulung dan menteri luar negeri. Pada masa kecilnya ia bahkan sudah bercita-cita menjadi presiden.
Si nomor dua, Jordan Fahmi, mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Unair. Seorang calon dokter yang sangat dedikatif dan total mencintai profesi. Jordan adalah anak muda yang cerdas dan super-gaul. Ia "gasol" (gaul soleh) sejati. Jordan seorang gitaris yang memainkan rock dan jazz dengan piawai. Ia seorang pemain futsal yang andal yang berangan-angan menjadi pemain bola profesional.
Si bungsu Jericho Fikri. Masih di SMAN 1 Surabaya, dan sedang mempersiapkan diri menjadi seorang scientist. Dibanding kakak-kakaknya, Jeri lebih tenang. Tetapi ia menjadi referensi kakak-kakaknya untuk urusan komputer maupun bahasa Inggris. Ia kamus berjalan bagi kakak-kakaknya.
Mereka semua aset saya. Saya bukan orang kaya, tetapi apa yang saya dapat selama ini sudah cukup bagi saya. Tidak ada setitik niatpun untuk mengumpulkan personal wealth dalam hidup saya. Saya tidak tertarik untuk menumpuk kekayaan. Saya ingin mewakafkan hidup saya untuk masyarakat Surabaya. Kalau itu harus saya dengan menjadi walikota, maka saya sudah nawaitu meneguhkan tekad untuk melakukannya, dan saya akan berjuang sekuat tenaga mendapatkan dukungan dari segenap warga Surabaya. Selebihnya, saya bertawakkal kepada Allah, karena saya yakin semuanya akan terjadi atas takdir Allah. (*)