Bui
Dulu, di zaman perjuangan kemerdekaan, banyak sekali para pemimpin bangsa, para pejuang nasional kita yang harus masuk penjara karena perjuangannya. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan lain-lainnya rata-rata pernah merasakan pengapnya ruangan di balik jeruji penjara bertahun-tahun.
Pemenjaraan itu tidak membuat para pejuang itu lemah, malah sebaliknya, mereka semakin yakin dengan perjuangannya dan mereka semakin kuat. Terbukti setelah itu para pemimpin kita adalah orang-orang yang matang dalam perjuangan dan dewasa dalam berpolitik. Mereka dimatangkan oleh penderitaan mereka di dalam penjara, dan ketika menjadi pemimpin, mereka betul-betul berjuang untuk rakyatnya.
Obrolan orang di warung kopi membedakan kualitas pemimpin Indonesia di masa awal kemerdekaan dengan pemimpin kita di era reformasi ini. Kalau dulu para pemimpin kita masuk penjara dulu baru menjadi pemimpin, sekarang yang terjadi sebaliknya: orang menjadi pemimpin dulu lalu setelah selesai masuk penjara.
Sebuah ilustrasi diberikan oleh Elizabet Pisani yang menulis buku segar dan menggelitik "Indonesia Etc" (2014). Pisani yang menjadi wartawan di era Soeharto pada awal-awal 90-an, meliput peristiwa-peristiwa politik penting dan melakukan perjalanan ke seluruh Indonesia sampai ke pulau-pulau terpencil yang tidak ada listrik maupun jalan aspal.
Ia meninggalkan Indonesia. Beberapa tahun kemudian, di era reformasi pada awal 2000, Pisani kembali ke Indonesia sebagai konsultan kesehatan WHO (organisasi kesehatan internasional PBB). Ia mencoba menemui beberapa pejabat yang dulu dikenalnya. Tetapi, ia tercengang karena banyak di antara mereka yang sekarang masuk penjara.
Ia kembali tercengang ketika menghidupkan televisi dan melihat beberapa tokoh--yang dikenal sebagai aktivis oposisi dan sempat masuk penjara pada masa Soeharto--sekarang menjadi pejabat menteri.
Ketika akan meninggalkan posnya di Jakarta beberapa tahun menjelang reformasi, Pisani mengadakan "farewell party" mengundang teman-teman dan para pejabat sipil-militer yang menjadi nara sumbernya. Beberapa tahun paska reformasi ketika ia kembali ke Indonesia keadaan menjadi berbalik. "Para aktivis oposisi sekarang banyak yang menjadi menteri. Dan para pejabat yang dulu ada di lingkar kekuasaan sekarang berada di penjara," tulis Pisani keheranan.
Mestinya Pisani akan semakin keheranan kalau dia melanjutkan observasinya sampai sekarang. Para pejabat yang di era reformasi ini memegang jabatan penting harus masuk penjara di masa pensiunnya karena terlibat korupsi. Dulu, orang masuk penjara karena aktivitas politiknya, sekarang orang masuk penjara karena korupsi.
Bung Karno dan kawan-kawan masuk penjara dulu baru menjadi pemimpin. Sekarang, para pemimpin itu menjadi menteri, gubernur, bupati/walikota dulu baru masuk penjara karena tersangkut korupsi.
Itulah bedanya, dan itulah beda kualitas pemimpin kita dulu dan sekarang. Pola ini sudah menjadi fenomena. Tapi, beberapa waktu belakangan ini malah muncul fenomena baru; orang baru mau menjabat sudah dimasukkan ke penjara. Orang baru pensiun sehari sudah langsung dimasukkan ke penjara, dan orang yang masih menjabat pun dimasukkan ke dalam penjara.
Pokoknya, di era sekarang ini penjara laris manis. Seorang jenderal polisi baru akan diangkat menjadi kepala sudah dinyatakan sebagai tersangka dan akan diseret ke penjara sebelum sempat mencicipi jabatan kepala polisi.
Tak mau kalah. Polisi pun membalas dengan mentersangkakan orang-orang yang menersangkakan calon kepala polisi itu.
Karut marut seperti benang kusut yang sulit untuk diusut dan diurut.
Bagi para pejuang kemerdekaan yang murni berjuang untuk kepentingan bangsanya, penjara bukan hal yang harus ditakuti. Penjara tidak membuat perjuangan mereka menjadi surut. Penjara tidak menghancurkan reputasi mereka.
Sebaliknya, penjara menjadi titik balik penting bagi perjuangan mereka. Bung Karno menulis pledoi dahsyat dari dalam penjara dan kemudian menjadi buku masterpiece "Indonesia Menggugat". Kehidupan di penjara membuat Bung Karno mampu melakukan kontemplasi dan refleksi sehingga lahirlah pemikiran-pemikirannya yang brilian mengenai ketimpangan dan ketidakadilan politik akibat penjajahan. Bung
Karno kemudian menjadi presiden yang hebat dan penggagas gerakan non-blok yang mengguncangkan tatanan dunia.
Nelso Mandela menghabiskan separuh masa perjuangannya di dalam penjara rezim apartheid Afrika Selatan.
Ia dikurung berpuluh tahun di balik jeruji penjara dan hanya bisa melihat horison ujung gunung yang datar setiap hari. Toh ia mampu melihat keindahan di setiap senja ketika Table Mountain, Gunung Meja, itu tersapu siluet merah jingga ketika matahari hendak tenggelam. Ia memperoleh kekuatan yang membuatnya tetap bertahan dengan keyakinannya bahwa apartheid tidak sesuai dengan kodrat kemanusiaan, dan karenanya harus enyah dari muka bumi. Ia memperoleh inspirasi yang konstan dari pengapnya bui. Maka, lahirlah buku masterpiece "Long Walk to Freedom" yang tetap akan dibaca jutaan orang jauh setelah kematian Mandela beberapa waktu lalu.
* * * *
Kualitas pemimpin bangsa dari zaman ke zaman, tentu saja berbeda-beda. Tiap zaman ada orangnya, tiap orang ada zamannya. Begitu kata orang bijak. Pemimpin punya zamannya masing-masing. Satu di antara lainnya tidak bisa diperbandingkan langsung maupun tidak langsung.
Itu juga berlaku di negeri kita. Tidak mungkin kita memperbandingkan satu pemimpin dengan pemimpin lainnya karena zamannya beda dan tantangannya juga berbeda.
Tapi, nalar usil kita selalu saja bermain-main. Kita masih sering memperbandingkan era pemimpin dari masa ke masa. Kita punya presiden militer pada masa Soeharto dan kemudian Susilo Bambang Yudhoyono. Sama-mama militer tapi punya perbedaan yang mencolok. Soeharto seorang diktator Jawa yang halus yang obsesif terhadap stabilitas yang diyakini menjadi dasar pembangunan kesejahteraan.
SBY obsesif terhadap stabilitas dan kesejahteraan. Tapi, ia tidak bisa menjadi diktator ala Soeharto. Ia memainkan kekuasaan a la dirinya sendiri. Ia tahu geopolitik dan geoekonomi internasional dan pintar memilih pembantu yang cakap. SBY dan Soeharto tidak dikenang dalam satu tarikan nafas, tapi banyak unsur-unsur penting yang sama pada keduanya.
Di masa lalu kita punya empat presiden sipil. Bung Karno tidak terbantahkan kualiatasnya yang sudah menjadi legenda. Habibie akan dikenang dengan kegeniusan otaknya meskipun dianggap terlalu maju dari zamannya. Masa kepemimpinan Habibie seperti kembang jagung, pendek masa dan rontok.
Abdurrahman Wahid adalah maverick, eksentrik, cemerlang, cerdik sekaligus tricky. Dalam hal pemikiran politik Gus Dur bisa mendekati Sukarno dan ia terobsesi melanjutkan proyek-proyek politik besar Sukarno. Gus Dur, sayangnya, menemui musuh-musuh politik yang menyatu menjadi satu karena gerah oleh manuver-manuvernya yang sulit dipahami.
Gus Dur pun tidak tuntas masa jabatannya. Ia keluar dari Istana dengan bercelana pendek berpamitan kepada pendukung-pendukung fanatiknya.
Megawati, anak biologis Sukarno, berusaha "nguri-nguri" warisan politik bapaknya dan berusaha keras bisa menjadi anak ideologis bapaknya sendiri. Sulit memperbandingkan level kualitas bapak-anak ini. Kita semua tahu bagaimana kualitas putri Sukarno ini. Dia pun tidak jangkep menuntaskan masa pemerintahannya.
Sekarang, kita punya presiden sipil "pilihan rakyat". Joko Widodo tidak sempat menikmati bulan madu. Ia langsung dites dengan ujian-ujian politik yang ruwet yang menuntut keterampilan politik yang ulung.
Terlalu dini menilai kemampuan politik Joko Widodo sekarang ini. Ia baru seratus hari berkuasa, dan yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa semoga ia bisa menyelesaikan masa jabatannya. *