
Resesi Demokrasi
Demokrasi di Indonesia tumbuh atau mandek atau bahkan mundur? Itu pertanyaan yang sangat mengusik. Ada dua perbandingan menarik dalam perkembangan demokrasi di dunia yang bisa diperbandingkan dengan Indonesia, yaitu di Rusia dan Turki. Di Rusia muncul Vladimir Putin, di Turki muncul Tayyep Erdogan dan di Indonesia ada Joko Widodo. Apa beda dan persamaannya?
Di dunia politik tidak dikenal istilah resesi. Yang ada resesi ekonomi. Itu terjadi kalau pertumbuhan ekonomi nol atau minus selama lebih dari setahun.
Tapi, sekarang ini di beberapa belahan dunia sedang terjadi resesi demokrasi. Setidaknya itulah tengara yang dilemparkan oleh Thomas L. Friedman dalam tulisannya di suratkabar "The New York Times" edisi 29 Februari. Friedman menengarai demokrasi tengah dalam bahaya karena munculnya ancaman di Eropa, terutama dari Rusia dan Turki.
Di Rusia, munculnya orang kuat Vladimir Putin yang mendominasi politik dalam negeri Rusia serta kawasan Asia Tengah bekas Uni Soviet membuat Barat waswas. Putin sekarang menggempur Ukraina yang ingin bebas dari pengaruh Rusia. Di dalam negeri, Putin menerapkan politik tangan besi terhadap lawan-lawan politiknya. Bahkan, ia dikabarkan tidak ragu-ragu menghabisi lawan politiknya. Putin sekarang menjadi lawan yang ditakuti oleh Barat. Putin membuat Barat pusing tujuh keliling karena telah menjelma menjadi sosok baru yang antagonis terhadap Barat. Islam radikal dan terorisme telah membuat pening kepala Amerika dan Barat beberapa tahun terakhir ini. Sekarang muncul lagi Putin. Makin puyenglah kepala Obama.
Turki, oleh Friedman, juga dianggap sebagai biang kerok resesi demokrasi dunia, karena Perdana Menteri Tayyep Erdogan dianggap sebagai perusak demokrasi. Dalam kasus Turki, rasanya, Friedman agak tendensius. Friedman mengkritik Erdogan dan Partai Keadilan pimpinannya (yang sering dijadikan rujukan oleh PKS Indonesia karena ada kemiripan). Erdogan menganggap bahwa lobi Yahudi internasional selalu berusaha merongrong pemerintahannya dan bahkan berusaha menjatuhkannya. Friedman menyebut tuduhan Erdogan itu obsesif dan tidak ada dasarnya.
Friedman adalah penulis hebat yang produktif yang sudah diakui dunia. Ia pemenang hadiah Nobel. Itulah salah satu puncak prestasinya. Bukunya "The World is Flat" menjadi rujukan utama bagi siapapun yang ingin memahami globalisasi.
Tapi, lepas dari itu, saya melihat Friedman sebagai pemikir liberal pada umumnya yang selalu berlebihan dalam menyikapi Islam. Dalam hal Turki, tentu saja pernyataan Erdogan soal lobi Yahudi itu sulit dibuktikan. Tapi, itu tidak berarti tidak ada. Apapun, Erdogan memenangkan pemilu Turki secara demokratis, dan kemenangan Partai Keadilan Kesejahteraan Turki ini mengusik Barat yang khawatir akan bangkitnya Islam politik. Barat, dalam hal ini Eropa, menerima Turki sebagai bagian dari anggotanya dengan setengah hati.
Latar belakang sejarah yang berbeda dan kondisi sosial, ekonomi, budaya yang berbeda pula membuat Eropa ragu menerima Turki. Tapi, Turki sudah sejak zaman Kemal Attaturk pasca kejatuhan kekhalifahan Utsmaniah sudah ingin menjadi Eropa dan melepas identitas keislamannya. Selama berpuluh tahun Turki menunjukkan wajah sekulernya, tapi kemunculan Erdogan ini seperti menunjukkan wajah asli Turki yang sesungguhnya.
Kalau kemunculan seorang Putin dan Erdogan dianggap menjadi penyebab resesi demokrasi dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita sedang mengalami pertumbuhan demokrasi, atau sebaliknya kita juga sedang dilanda resesi, atau bahkan lebih parah lagi depresi demokrasi?
Kemenangan Joko Widodo dalam pemilihan presiden tahun lalu disambut hangat oleh dunia. Widodo dianggap akan memberi warna baru demokrasi di Indonesia. Dengan mandatnya yang (disebut-sebut) diperoleh langsung dari rakyat, Widodo diharapkan lebih leluasa menerapkan perubahan dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Slogannya untuk menerapkan revolusi mental menarik minat banyak orang yang sudah capek dengan kondisi kita.
Masa euforia berlangsung singkat. Widodo langsung menghadapi ujian yang rumit. Mandat yang disebut-sebut dipeoleh dari rakyat, sesungguhnya adalah mandat yang dipinjam Widodo dari para owner partai politik.
Dan para owner itu tidak mau menunggu terlalu lama untuk menagih pinjaman politiknya. Mereka pun segera menagih pada kesempatan pertama ketika kabinet disusun dan kekuasaan dibagi-bagi.
Dari sinetron politik yang tersaji di mata rakyat kita semua melihat bagaimana permainan bagi-bagi kekuasaan politik dilakukan secara telanjang di depan mata. Maka, politik selalu penuh dengan syarat. Kamu utang kamu harus bayar. Para debt collector cicilan motor masih menunggu peminjam menunggak pembayaran sebelum melakukan aksinya. Para debt collector politik ini lebih trengginas dari pada debt collector kredit motor.
Mereka langsung bereaksi nongkrong di depan rumah dengan memamerkan wajah garang dan tubuh penuh tato yang mengintimidasi. Padahal, si peminjam melum menunggak apa pun, dan bahkan cicilan pertama pun belum jatuh tempo.
Maka, karut marut yang sekarang ini kita nikmati adalah hasil dari akad utang-piutang politik antara pihak-pihak yang punya kepentingan masing-masing. Widodo diharapkan akan menjadi seorang pendekar demokrasi yang bisa menjadi pandega dalam menjalankan revolusi mental. Tapi, dalam perjalanannya dia telah terjebak dalam utang-piutang politik dengan rentenir-rentenir politik yang beroperasi laksana lintah darat yang menyedot darah tanpa berhenti sampai tubuhnya gembung menggelembung seperti kantung-kantung darah. Widodo terjebak dalam trap oligarki lawas yang selalu muncul lagi setiap kali ada kesempatan. * * * *
Apa yang terjadi di Eropa oleh Friedman disebut sebagai resesi demokrasi, lalu bagaimana dengan di Indonesia. Kalau ukurannya adalah perkembangan demokrasi, maka harus dicari parameter yang tepat. Pada akhirnya, alat ukur paling akurat ada pada rakyat. Kalau mereka happy maka kita bisa berasumsi bahwa demokrasi tumbuh sehat. Tapi, sebaliknya kalau rakyat tidak happy tapi malah lebih menderita, berarti Indonesia bukan sekadar mengalami resesi demokrasi, tapi bisa jadi lebih parah dari itu, kita sedang menuju ke depresi demokrasi.
Semoga tidak.