josstoday.com

Fenomena Beras

JOSS.TODAY - Lonjakan harga beras hingga kisaran Rp 11.500 per kg dalam beberapa waktu belakangan, setidaknya  telah menimbulkan kegelisahan kolosal. 

Logis dan beralasan karena sampai saat ini beras masih merupakan komoditas vital dalam ekonomi pangan Indonesia.  Keberadaan beras sebagai bahan pangan utama menjadikan pergerakan harga sangatlah sensitif. 

Berbagai jurus dilakukan negara untuk bisa meredem laju kenaikan harga beras di pasaran. Operasi pasar melalui penugasan Perum Bulog menambah stok dan melakukan penjualan dengan harga murah untuk kalangan berpendapatan rendah di pasar diantara jalan yang dipilih pemangku kebijakan. 

Sejarah mencatat sejak Sultan Agung Hanyokrosumo berkuasa di Mataram, upaya menata keamanan pangan melalui pasokan beras secara proporsional terhadap kebutuhan masyarakat menjadi agenda utama dari setiap rezim berkuasa di Indonesia. 

Kepercayaan publik terhadap legitimasi penguasa sebagian juga tergantung bagaimana manajemen beras diselenggarakan. 

Begitu harga beras naik, para pedaganglah yabng menjadi kambing hitam.

Mereka dituduh melakukan menimbunan, apalagi distributor utama beras juga berada di tangan sekelompok orang. Dalam struktur pasar yang mengarah monopolistik, sangat mungkin kondisi tadi terjadi.

Orang lupa bahwa beras tidak bisa disimpan lama. 

Pedagang pun berkalkulasi apakah dengan menyimpan beras terlalu lama bakal  mendapatkan keuntungan besar. Jangan-jangan malah beras jadi rusak dan harga diperoleh justru merosot tajam  mengingat dalam hitungan hari lagi terjadi panen raya di seluruh Indonesia.

Impikasinya, sesuai hukum ekonomi bahwa harga akan turun begitu barang ditawarkan lebih banyak dibanding permintaan di pasar berlaku mutlak pula pada beras. 

Pasokan beras tampaknya fluktuatif mengingat sifat produksinya musiman (seasonal) seperti halnya produk agribisnis lain.  Korelasi dengan iklim begitu besar meskipun teknologi dapat mereduksi dampak tak diinginkan.

Kementerian Pertanian sudah mengaku bahwa musim tanam padi sempat mundur 1,5 bulan. 

Dari seharusnya September-Oktober 2014 menjadi Oktober-November 2014, praktis musim panen pun molor dan berimbas terhadap pasokan beras. 

Sayangnya setiap kali terjadi lonjakan harga beras, umumnya tidak dapat dinikmati petani produsen atau pelaku usahatani.  Petani langsung menjual gabah begitu panen tiba atau bahkan saat tanaman belum menghasilkan. 

Di luar masa panen dan paceklik, justru petani berstatus konsumen beras.  Dengan demikian, mereka berada pada posisi sangat lemah. 

Menjual gabah saat harga  di titik nadir dan membeli beras ketika harga melambung tinggi. 

Koperasi agribisnis di pedesaan yang idealnya dapat melakukan penyanggaan harga, belum dapat diandalkan. Seharusnya koperasi inilah yang menampung hasil panen petani dan sementara diberikan uang muka sesuai harga patokan yang disepakati  kemudian melakukan penanganan pascapanen dan menggilingnya menjadi beras.

Manfaat ekonomi atau profit sharing dapat diberikan kepada petani seteah gabah yang telah mengalami perlakuan pascapanen atau beras terjual.

Kalau saja tindakan tersebut dilakukan dalam semangat kekeluargaan dan gotong royong tinggi sesuai asas koperasi, kehidupan petani padi secara bertahap tentulah membaik. Tidak lagi tergantung tengkulak yang mencari gabah petani dan membelinya dengan harga lebuh rendah.

Tugas koperasi tidak hanya menampung hasil panen, tetapi juga bermitra dengan pedagang beras besar atau Perum Bulog untuk mendapatkan akdses pasar lebih baik.  Dari situlah koperasi mendapatkan profit memadai, sebagian dialokasian untuk pembedayaan anggota yang terdiri dari para petani kecil. Tanpa akses pasar memadai, dari masa ke masa, petani akan tetap miskin. 

Tidak mengherankan pula bila jumlah petani kecil semakin berkurang karena pekerjaan di sawah tidak lagi menarik. Para pemuda asal desa lebih senang ke kota-kota besar sekitar atau ke luar negeri dengan menjadi tenaga kerja Indonesia.

Harga gabah dan beras yang memberikan keuntungan wajar kepada petani produsen dan tidak memberatkan konsumen sejak dulu menjadi pekerjaan rumah negara yang tidak pernah tuntas.  Diperlukan revolusi mental dalam melihat usaha tani padi dan manajemen beras yang telah memberikan stamina kepada petani melanjutkan aktivitas berproduksi. 

Bayangkan kalau semua petani padi beralih ke komoditas lain atau melakukan konversi lahan sawahnya ke arah peruntukan non-pertanian, pastilah berbagai upaya yang tengah dilakukan negara melalui perbaikan irigasi dan pengucuran bantuan mekanisasi  mudadzir begitu saja. 

Selama kenaikan harga beras proporsional terhadap eskalasi biaya produksi pada level petani, sharusnya semua pihak dapat menerimanya dengan baik. 

Bukankah berbagai kebijakan negara diketahui telah memberikan efek domino terhadap eskalasi biaya usahatani, apalagi bila dikaitkan nilai sewa lahan yang makin tidak rasional, tentulah pendapatan dan kemakmuran petani harus menjadi agenda bila negara memegang komitmen berswasembada beras pada tahun 2017.

Lonjakan harga beras dan tendensi berkurangnya areal pertanian, hendaknya menyadarkan semua urgensi diversifikasi pangan. 

Sejumlah bahan pangan berkarbohidrat tinggi terdapat di bumi Indonesia potenial mensubstitusi sebagian kebtuhan beras. 

Sejumlah peneliian membuktikan semuanya bisa diadopsi pada tataran operasional di lahan, tinggal bagaimana kebijakan didesain agar memberikan kepastian berusaha bagi petani.

Sebagai makhluk rasional, petani pasti memilih komoditas agribisnis bernilai tambah  paling menguntungkan, apalagi dengan masa antara tanam dan panen tidak terlalu lama. 

Lonjakan harga beras hanya menjadi hikmah selama kita mampu merekonstruksi ketahanan secara utuh dengan pengaruisutamaan kepentingan petani produsen. Harga beras terlalu murah juga tidak mengedukasi konsumen untuk melakukan diversifikasi pangan. (*)