josstoday.com

Separasi Gula

Seminar gula di gedung DPRD Provinsi Jatim Kamis (12/03/2015) lalu, menguatkan sinyalemen banyak pihak bahwa carut marut dan tidak kunjung beresnya persoalan gula di negeri ini untuk sebagian bersumber pada benturan kepentingan dengan solusi jauh dari komprehensif. 

Petani kecewa akibat harga diterima sangat murah, jauh lebih rendah dari patokan yang ditetapkan pemerintah sendiri, bahkan di melesat bawah biaya pokok produksi (unit cost). 

Kalau atmosfer usaha tidak diperbaiki, bukan mustahil swasembada gula yang diwacanakan pemerintah terwujud 2019 bakal kembali menemui jalan buntu.  Rekomendasi seminar tentang perlunya koordinasi dan penyamaan persepsi di antara kementerian terkait regulasi gula menjadi modal dasar menuju kebijakan terintegrasi memberdayakan pelaku usaha melalui atmosfer usaha lebih kondusif. 

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mencatat, resultante harga rendah adalah produksi  dari hasil penggilingan tebu tahun 2015 diprediksi tidak terpaut jauh  dibanding 2014 lalu.  Kisaran produksi 2,54 juta ton dibanfing tahun lalu yang mencapai 2,58 juta ton.  Areal budidaya diestimasikan tidak banyak berubah meski terjadi pergeseran. 

Terjadi kecendungan areal tebu rakyat di Jawa turun sekitar 10%,  namun pada saat bersamaan adanya  pabrik gula (PG) di beberapa daerah diyakini menambah areal.  Secara nasional, luas areal pengusahaan tebu yang digiling 2014 lalu mencapai 476,256 hetar, terdiri dari Jawa 311.514 ha dan luar Jawa 164.742 ha.  Jawa masih memberikan kontribusi produksi sebesar 1,61 juta ton  dan luar Jawa 966.352 ton. 

Rendahnya harga gula sepanjang 2014 memantik sebagian besar petani merugi sehingga mereka tidak memiliki dana cukup untuk diinvestasikan kembali ke kebun.  Karena harga masih menjadi pertimbangan utama dan bahkan penyuluh terbaik, jatuhnya harga gula dipastikan berdampak masif terhadap kinerja giling 2015.  Petani pun memutuskan tidak membongkar tanaman untuk diganti bibit dari varietas unggul.  Juga tidak melakukan perluasan areal. 

Tanaman tebu dipertahankan melalui keberadaan keprasan dengan budidaya seadanya dan jauh dari praktek terbaik. Budidaya semacam itu diprediksi potensial menurunkan produktivitas tebu  tebu dari 70,8 ton/ha (2014) menjadi 68,7 ton (2015). 

Tetapi bila agroklimat mendukung, potensi penurunan produktivitas tebu terkompensasi dengan peningkatan rendemen dari 7,64% menjadi 8.02%. 

Muncul rekomendasi agar petani dan PG perlu memanfaatkan sisa waktu hingga giling tiba untuk bisa memperbaiki lingkungan ekologis pertumbuhan tanaman sehingga menunjang tercapainya hasil panen  lebih baik, antara lain drainase dan tambahan agroinput pupuk, tetapi diragukan dapat dieksekusi di tengah keterbatasan uang dimiliki.  

Walaupun produksi cenderung stagnan, Indonesia  tidak perlu impor gula kristal putih (plantation white sugar).  Selain stok lebih dari cukup, juga pada bulan April terdapat 8 PG di Sumsel dan Lampung mulai giling. Sedangkan sebagian besar PG di Jawa mulai panen raya tebu medio Mei 2015. 

Untuk membantu petani dan PG keluar dari ketidaknyamanan pasar, pemerintah tentu harus lebih serius mengawasi separasi melalui pemisahan peruntukan yang selama ini menjadi sumber kekisruhan dan kegelisahan. 

Alokasi gula rafinasi hanya untuk industri makanan/minuman berskala besar dengan spesifikasi teknis ICUMSA maksimal 45 IU dan gula tebu untuk konsumsi langsung (direct consumption) akan sangat menolong petani dari perangkap ketidakberdayaan struktural yang tercipta oleh ketidaksempurnaan pasar. 

Masuknya gula rafinasi ke pasar lokal dengan kedok industri kecil dan kegiatan pengolahan pangan kelas rumah tanpa akses ke pabrikan memerlukan distributor dan distributor menimbulkan rembesan harus diakhiri. 

Rendahnya harga gula dunia sekarang hendaknya tidak dimanfaatkan mengimpor gula kristal mentah (raw sugar) secara berlebihan  untuk keperluan bahan baku industri gula rafinasi. 

Idealnya impor hanya sebatas kebutuhan industri skala besar sehingga efek rembesan yang mengganggu penetrasi pasar gula lokal dapat dihilangkan.

Sambil separasi pasar dilakukan secara konsisten dan taat asas, pembenahan internal PG pun perlu dilakukan dengan kesadaran penuh.  Gambaran bahwa hanya gula dengan unit cost rendah mampu berkompetisi dengan gula impor saat liberalisasi perdagangan diterapkan hendaknya menjadi acuan. 

Harga gula dunia terendah mencapai USD 380 per ton FOB (harga di negara asal, belum termasuk biaya pengapalan dan premium).  Bila diperhitungkan sejumlah biaya mendatangkannya sampai ke Indonesia sebesar 20 persen, praktis PG dengan unit cost di atas USD 456 per ton tidak akan lagi bertahan. 

Revitalisasi pabrik secara terintegrasi diarahkan tidak hanya menghasilkan gula berbentuk kristal seperti sekarang, tetapi juga dalam versi lain sejalan dinamika permintaan pasar dan produk derivat melalui pengembangan industri hilir bernilai tambah tinggi yang pada gilirannya mampu mereduksi unit cost. 

Tindakan analog dilakukan pula oleh petani melalui penerapan praktek terbaik dan budidaya terukur (best practices and precision agriculture).  Negara wajib memfasilitasi gerakan revitalisasi terkait swasembada gula! (*)