Organisasi Advokat dan Organisasi Pendiri
Pendahuluan
Beberapa hari lagi akan berlangsung perhelatan besar Organisasi Advokat, yaitu Musyawarah Nasional (Munas) II Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada 26 hingga 28 Maret 2015 di Makasar. Selain itu juga akan diselenggarakan Munas VIII salah satu Organisasi Pendirinya yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) pada 31 Maret hingga 1 April 2015 di Banjarmasin.
Organisasi Advokat, menurut Pasal 1 angka 4 UURI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang ini. Batas waktu pembentukan oganisasi tersebut dipatok paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang tersebut (Baca: Pasal 32 ayat (4) UU Advokat).
Oleh karena itu PERADI yang didirikan pada 21 Desember 2004 menjadi satu-satunya Organisasi Advokat yang terbentuk berdasarkan serta dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang dimaksud.
Kemudian anggaran dasarnya menyebut PERADI adalah satu-satunya wadah profesi Advokat yang berbentuk perhimpunan dan didirikan oleh Organisasi Pendiri. Adapun yang menjadi Organisasi Pendiri adalah IKADIN, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, APSI (Baca: Pasal 1 angka 12 dan Pasal 9 ayat (1) Anggaran Dasar).
Di sela-sela keributan perebutan Ketua Umum, tentu terbetik harapan bahwa Munas dua organisasi yang pelaksanaannya berhimpitan waktu itu, mampu menelorkan keputusan-keputusan yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas profesi dan organisasi Advokat. Hubungan antara Organisasi Advokat dengan Organisasi Pendiri juga perlu sekaligus ditata lebih jelas. Jangan sia-siakan siklus musyawarah akbar lima tahunan Para Advokat tersebut.
Maksud dan Tujuan PERADI
Pembentukan Organisasi Advokat tersebut mempunyai maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Mengapa peningkatan kualitas profesi menjadi fokus amanat undang-undang?
Jimly Ashidiqie (kala itu Ketua Mahkamah Konstitusi) pada sambutannya dalam Kitab Advokat Indonesia mengatakan bahwa: “Profesi advokat meliputi unsur manusia dengan kualitas dan kualifikasi tertentu yang diperlukan untuk menjalankan tugas profesinya” dan “Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesi demi tegaknya hukum dan keadilan untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan”.
Jadi memang sudah tepat bila amanat utama yang harus dilaksanakan PERADI adalah meningkatkan kualitas profesi Advokat. Adapun kegiatan yang dapat diselenggarakan PERADI (sesuai Pasal 6 Anggaran Dasar) cakupannya cukup luas, karena meliputi: advokasi, penegakan supremasi hukum dan HAM, serta kegiatan lain yang menunjang tugas profesi (litigasi maupun non litigasi) termasuk ADR (Baca: Pasal 28 ayat (1) UU Advokat).
Untuk itu, Pasal 7 anggaran dasar membekali PERADI dengan 13 (tigabelas) macam tugas dan wewenang pokok. Dengan demikian, kehadiran PERADI dengan maksud dan tujuan serta tugas dan kewenangannya tersebut, memang perlu, bermanfaat, dan semestinya mendapat dukungan semua pihak. Peningkatan kualitas profesi Advokat mempunyai dimensi yang luas dan efek manfaat yang tak terukur dalam proses pembangunan hukum.
Tantangan
Maksud dan tujuan pendirian PERADI sekilas tampak simple, tetapi (untuk mencapainya) ternyata banyak tantangan kompleks yang silih berganti harus dihadapi. Sepuluh tahun berjalan, tantangan yang terasa menyesakkan justru bersumber dari kalangan sendiri yang awalnya juga kawan seiring.
Beberapa penandatangan deklarasi menjauh, sebagian anggota eksodus, dan upaya hukum pun datang bertubi-tubi termasuk belasan gugatan melalui peradilan umum dan permohonan uji materiil melalui Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Advokat.
Ujian berat juga datang pertengahan tahun lalu, terkait pembahasan RUU Advokat (baru) yang filosofi maupun substansinya bertolak belakang dengan UU Advokat (terdahulu) yang melandasi pembentukan PERADI.
Muatan RUU itu bukan amandemen terhadap undang-undang yang sudah ada, melainkan nyaris sepenuhnya konsep baru. Ada dua isu sentral yang diintrodusir yakni (1) Pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) yang diproyeksikan menjadi regulator, serta (2) Penerapan sistim multi bar, yang memungkinkan pembentukan banyak organisasi advokat sebagai operator tugas dan kewenangan yang selama ini diamanatkan kepada PERADI.
Menurut RUU, anggota DAN akan diangkat oleh Presiden atas usulan DPR, serta mendapat anggaran dari negara. Adapun penerapan sistem multi bar, disertai kemudahan syarat pembentukan organisasi advokat. Berbagai reaksipun muncul, diantaranya menganggap bahwa pembentukan DAN akan menghilangkan independensi profesi Advokat, sedangkan mengenai sistim multi bar justru akan menyulitkan upaya peningkatan kualitas profesi. Alhasil, RUU tersebut kandas.
Ada penilaian bahwa RUU itu (setidak-tidaknya saat ini) secara aksiologis tidak bermanfaat bagi para Advokat. Sekalipun demikian, tetap perlu ditelaah latar belakang munculnya RUU yang mengetengahkan pembentukan “DAN” serta penerapan sistem multi bar tersebut.
Kajian sederhana memunculkan asumsi bahwa kedua isu sentral dalam RUU tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa: PERADI hanya mempunyai tiga organ, yaitu: DPN, DK, dan KOMWAS, sehingga terjadi konsentrasi kewenangan (sebagai regulator dan sekaligus operator/eksekutor);
PERADI tidak memberi posisi tepat kepada Organisasi Pendiri, sehingga mereka belum mempunyai peran yang tepat; PERADI belum mempunyai blue print yang dapat dijadikan patokan pengelolaannya, sehingga akan selalu timbul kekhawatiran bahwa pergantian rezim akan merusak tatanan yang sudah terbangun (padahal belum tentu).
Para Advokat harus memanfaatkan ajang Munas kali ini untuk menambal kekurang-sempurnaan anggaran dasar PERADI yang selama ini berpotensi menjadi sumber gangguan. Friksi-friksi yang ada sedapat mungkin diredam. Kita harus membangun brotherhood, demikian harapan Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., MM. tak lama setelah menjabat Ketua salah satu Organisasi Pendiri.
Pembaruan
Beranjak dari ketiga asumsi terurai di atas, maka sudah tiba saatnya bagi PERADI untuk melalui Munas II dapat memutuskan langkah-langkah pembaruan, terutama dengan menyempurnakan Anggaran Dasar dan menetapkan Peraturan Rumah Tangga.
Sebagian kecil gagasan yang (menurut Penulis) dapat dilontarkan dan perlu dikaji (kemungkinan atau urgensinya) untuk dituangkan sebagai ketentuan baru dalam Anggaran Dasar atau Peraturan Rumah Tangga, di antaranya:
Pertama, Penambahan organ baru yang memegang kewenangan sebagai regulator. Namanya bisa saja Dewan Regulator atau sebutan lain yang lebih tepat (atau bahkan mengadopsi istilah DAN). Adapun pengaturannya dapat diletakkan pada bab baru (setelah Bab X), dan intinya menyatakan bahwa:
Tugas dan wewenang DPN, DK, dan KOMWAS dilaksanakan berdasarkan Peraturan PERADI; Peraturan PERADI ditetapkan oleh Dewan Regulator; Susunan Dewan Regulator sedikitnya terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota.
Ketua Umum DPP Organisasi Pendiri yang menjadi penandatangan Deklarasi Pendirian Peradi dapat diangkat sebagai anggota Dewan Regulator; Mantan Ketua Umum DPN PERADI terakhir, ditetapkan sebagai Ketua (merangkap anggota) Dewan Regulator.
Apabila ada anggota Dewan Regulator yang berhalangan, maka Organisasi Pendiri asal anggota tersebut dapat mengusulkan salah satu anggotanya sebagai pengganti; Anggota Dewan regulator tidak diperbolehkan merangkap sebagai pengurus pada Organisasi Pendiri; Pengangkatan keanggotaan Dewan Regulator ditetapkan dengan keputusan Rapat DPN.
Diharapkan, organ baru ini dapat mengakomodir aspirasi tentang perlunya dibuat pemisahan antara kewenangan regulator dengan kewenangan operator/eksekutor. Selain itu, segenap Organisasi Pendiri akan memperoleh posisi dan peran lebih jelas di dalam tubuh PERADI, dibanding pengaturan terdahulu.
Sebagaimana diketahui, Pasal 9 ayat (2) Anggaran Dasar hanya menyatakan bahwa “Apabila PERADI memerlukan, PERADI dapat meminta Organisasi Pendiri untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang PERADI”.
Selanjutnya, penempatan mantan Ketua Umum DPN PERADI dalam Dewan Regulator akan memberi kesempatan kepadanya untuk turut serta menjaga kesinambungan tatanan yang sudah terbangun. Gagasan ini lebih konkrit dan fungsional daripada ide awal salah satu Bacaketum yang akan menempatkan mantan Ketua Umum DPN PERADI dalam “Dewan Senior”.
Kedua, Memperpendek masa jabatan dan menutup kemungkinan dipilih kembali. Pengalaman duduk sebagai Ketua DPC Organisasi Pendiri untuk 2 (dua) masa jabatan (setelah sebelumnya sejak awal 90-an merangkak sebagai Komisaris, Ketua Bidang, Wakil Sekretaris, dan Wakil Ketua), serta pengalaman menjadi Ketua DPC maupun DPD Organisasi Advokat untuk 1 (satu) masa jabatan.
Maka Penulis sampai pada kesimpulan bahwa periode masa jabatan sebaiknya tidak terlalu lama, dan cukup sekali saja (tidak dapat diangkat kembali/tidak diperpanjang berturut-turut ataupun tidak berturut-turut pada jabatan yang sama).
Masa jabatan yang terlalu lama dapat menimbulkan rasa bosan, menumpulkan kreatifitas, dan mengganjal laju regenerasi kepemimpinan. Kesemuanya itu berpotensi menjadi sumber konflik internal organisasi yang tak kunjung reda hingga saat ini. Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 24 ayat (1) Anggaran Dasar patut dikaji ulang. Ketentuan lain terkait, tentu harus disesuaikan, termasuk Bab XI tentang Rapat.
Ketiga, Melarang Ketua DPN, Ketua DPD maupun dan Ketua DPC PERADI merangkap jabatan lain baik pada Organisasi Advokat (PERADI) sendiri maupun pada Organisasi Pendiri. Larangan ini akan mengurangi benturan kepentingan serta syak wasangka antar Organisasi Pendiri. Apabila tidak tertampung dalam Anggaran Dasar, maka hal ini dapat diatur dalam Peraturan Rumah Tangga PERADI.
Keempat, Menetapkan dalam Peraturan Rumah Tangga, syarat pencalonan diri, syarat dipilih, atau syarat untuk dapat diangkat menduduki jabatan tertentu dalam PERADI. Misalnya, sebagai:
1. Ketua Umum DPN harus pernah menjadi pengurus DPN dan pernah pula menjabat sebagai Ketua pada janjang kepengurusan di bawahnya (DPD dan atau DPC), setidaknya dalam satu masa jabatan penuh;
2. Ketua DPD harus pernah menjadi pengurus DPC dan pernah pula menjabat sebagai Ketua pada janjang kepengurusan di bawahnya(DPC), setidaknya dalam satu masa jabatan penuh; 3. Ketua DPC harus pernah menjadi pengurus DPC, setidaknya dalam satu masa jabatan penuh;
4. Anggota DKD, setidaknya telah berpaktek dalam waktu 15 (lima belas) tahun terus-menerus; 5. Anggota DKP, pernah menjadi Anggota DKD atau Komwas, setidaknya dalam satu masa jabatan penuh;
6. Ketua DKP, pernah menjadi Ketua DKD, setidaknya dalam satu masa jabatan penuh; 7. Ketua DKD, pernah menjadi Angggota DKD, setidaknya dalam satu masa jabatan penuh.
Kelima, Menetapkan dalam Peraturan Rumah Tangga, kewajiban setiap anggota PERADI untuk memenuhi persyaratan perpanjangan KTPA, terutama: 1. Menyatakan tidak rangkap jabatan/profesi; 2. Menyebutkan alamat prakteknya sebagai Advokat. 3. Telah mengikuti secara aktif kegiatan (termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan: Rapat-rapat, Pendidikan Berkelanjutan, Up-grading/Refreshing Kode Etik, Bantuan Hukum Pro Bono) yang diselenggarakan oleh Organisasi Advokat (PERADI) atau kerjasama Organisasi Advokat (PERADI) dengan Organisasi Pendiri.
Keenam, Menetapkan dalam Peraturan Rumah Tangga, syarat pendirian Law Firm. Misalnya: 1. Harus didirikan berdasarkan akta notaril “Pendirian Firma” dengan menggunakan nama pendiri, dan mencatat/mendaftarkannya pada DPC setempat, dengan tembusan kepada DPN dan DPD; 2. Mencantumkan (antara lain dalam Papan Nama, Kop Surat, dan Kartu Nama): nama lengkap dan Nomor Induk Advokat (NIA) segenap pendirinya.
Itulah sebagian kecil usul pembaruan, yang mungkin (siapa tahu) dapat disiskusikan berama ide-ide lain yang muncul dalam Munas II PERADI.
Penutup
Selama sepuluh tahun perjalanan usianya, tentu ada maksud dan tujuan yang belum terealisir, tetapi juga tidak dapat dibantah bahwa beberapa hal-hal positif senyatanya sudah dicapai oleh PERADI. Sistim rekruitment Advokat yang diterapkan oleh PERADI dinilai sudah mapan, bahkan dipatuhi oleh Advokat asing.
Hal ini tidak lepas dari dukungan konstitusional yang diraih PERADI, antara lain melalui putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 Nopember 2006 menjadi amat monumental karena menyatakan “.................organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.”
Begitu pula putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 26/PUU-XI/2013 tanggal 14 Mei 2014 yang memperluas keberlakuan hak imunitas Advokat, merupakan modal yang sangat berguna untuk membangun lebih lanjut PERADI.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan Munas II adalah bagaimana menata hubungan PERADI dengan Organisasi Pendiri, dan bagaimana hubungan menata hubungan antar Organisasi Pendiri. Menurut Luhut M. Pangaribuan, PERADI merupakan organisasi yang memegang kendali kewenangan, sedangkan Organisasi Pendiri merupakan organisasi fungsi.
Penulis sendiri menempatkan Organisasi Pendiri sebagai soko guru PERADI, sehingga jangan dilemahkan, melainkan justru ditingkatkan fungsinya dalam kerangka menjaga eksisten Organisasi Advokat. Kerangka kerjasama tersebut adalah suatu keniscayaan, tinggal, pandai-pandailah kita mengelola persaingan dengan semngat membangun, bukan saling meniadakan. Organisasi Pendiri yang lebih kuat, wajib mengayomi Organisasi Pendiri lainnya.
Oleh karena itu, Munas II PERADI dituntut untuk menghasilkan keputusan-keputusan strategis yang lebih substansial. Apabila harus dilakukan penyempurnaan Anggaran Dasar, maka selesaikan itu tuntas dalam Munas. Apabila kita ingin PERADI mempunyai Peraturan Rumah Tangga, maka tetapkanlah dalam Munas.
Begitu pula apabila diperlukan blueprint masa depan PERADI, maka tetapkan di dalam keputusan Munas pula. PERADI harus mempunyai blueprint arah pengelolaan yang jernih, jelas, dan mengacu pada kepentingan generasi baru Advokat Indonesia.
Akhirnya, publik (mahasiswa hukum, calon Advokat, para Advokat muda, perguruan tinggi, dsb.) tentu mencermati jalannya Munas II PERADI, “Apakah para Advokat masih saja akan berkutat pada keributan soal tata tertib dalam rangka perebutan kursi Ketua Umum DPN belaka?”, dan “Apakah akan terjadi munas tandingan dan perpecahan?”. Semoga saja tidak!
Berkaitan dengan harapan positif kita, perlu kita renungkan pandangan (almarhum) Rekan Yan Apul Girsang, SH menjelang wafatnya beberapa waktu lalu (termuat di HukumOnline) bahwa “Munas Tandingan Peradi Cuma Buang-buang Uang.”