
Analogi Sebuah Pemerintahan, Universitas atau Hollywood?
Setiap negara untuk kepentingan masyarakat lalu membuat pilihan terkait bentuk pemerintahan yang akan menjalankan roda pembangunan di segala sektor kehidupan masyarakat. Amerika misalnya, memilih liberal democracy, karena meyakini bahwa demokrasi dijalankan dengan basis prinsip-prinsip liberalisme.
Adapun Inggris sebagai sebuah negara telah memilih constitutional monarchy yang memadukan antara pemimpin kerajaan dan sistem parlementer. Model pemerintahan dengan Raja selaku kepala pemerintahan yang juga sekaligus kepala negara diterapkan oleh Saudi Arabia yang menetapkan pilihan pemerintahan absolute monarchy.
Sedangkan Rusia sebagai sebuah negara yang memiliki banyak negara bagian merasa bentuk federasi adalah yang ideal, dan jika bicara soal China, maka menerapkan sistem pemerintahan yang sangat unik di mana kekuasaan berada pada seseorang (paramount leader) yang memiliki tiga jabatan sekaligus; sebagai sekertaris jenderal partai komunis, sebagai panglima tertinggi militer, dan sebagai Presiden.
Indonesia sebagai sebuah negara sejak kemerdekaan telah menetapkan demokrasi Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang mewakili ke-Bhinekaan Indonesia. Sebuah ideologi yang terbukti memiliki kekuatan pemersatu yang membentuk satu kesatuan NKRI.
Tapi persoalan penting untuk sebuah negara bukanlah sebatas bentuk pilihan pemerintahan atau ideologi yang dianutnya. Tapi bagaimana model pemerintahan itu dijalankan.
Jika dibuat sebuah analogi, maka menurut saya, sebuah pemerintahan yang akuntable, yang menerapkan nilai-nilai clean government and good governance dapat diibaratkan sebuah universitas dengan Tri Dharma Perguruan Tingginya meliputi; Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian Masyarakat yang dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut.
(1) Pendidikan dan Pengajaran. Sebuah negara harus menjadikan pendidikan sebagai landasan utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Manusia yang terdidik dengan baik akan menjadi aset bangsa yang kompetitif selaras dengan perkembangan jaman, adapun pengajaran yang dimaksud adalah para pemimpin (eksekutif, yudikatif dan legislatif) yang menjalankan negara itu harus dapat menjadi role model atau teladan, teladan dalam hal jati diri (integritas) dan memiliki kapabilitas untuk memimpin.
(2) Penelitian dan Pengembangan. Sebuah negara dalam menetapkan seluruh kebijakan nasional harus melalui proses analisa yang mendalam dan mampu membuat terobosan yang signifikan dari periode pemerintahan sebelumnya.
(3) Pengabdian Masyarakat. Sebuah pemerintahan yang pro rakyat adalah yang bekerja keras semata-mata hanya untuk mensejahterakan rakyat, dengan kata lain mampu meningkatkan harkat hidup rakyat, bukan sebaliknya.
Lalu bagaimana sebuah pemerintahan jika dijalankan dengan model Hollywood?
(1) Inconsistence, Hollywood sebagai sebuah industri film membuat cerita yang selalu berganti, cerita bisa disampaikan dari awal hingga akhir atau sebaliknya, bagian akhirnya dulu sebagai pembuka lalu diceritakan isinya, tidak ada konsistensi, ngawur saja semaunya sang sutradara atau penulis ceritanya. Jika sebuah negara dijalankan dengan model seperti ini maka yang terjadi adalah keresahan masyarakat karena hidup dengan ketidakpastian, sarat drama yang mungkin saja menyesakkan dada.
(2) Unpredictable, cerita sebuah film terkadang sulit diterka ending-nya, apalagi jika cerita itu dikemas dalam frame misteri atau konspirasi. Mungkin saja ada penonton yang tidak mampu mendapatkan jawaban atau menangkap esensi cerita hingga film berakhir, saking rumitnya cerita yang disajikan.
Jika sebuah negara dijalankan dengan pendekatan unpredictable, maka alangkah bahayanya bagi masyarakat yang tidak tahu secara pasti kemana arah yang dituju. Mungkin saja yang akan terjadi adalah kekecewaan yang semoga saja bukan keputusasaan karena tidak ada lagi pengharapan kepada para pemegang amanah.
Sebuah negara akan berhasil mencapai cita-cita luhurnya jika diawaki oleh pengelola kebijakan yang di dalam kepalanya hanya ada tiga kata “dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat”, sesungguhnya kursi empuk yang didudukinya pada hakekatnya adalah pinjaman dari rakyat.
(3) One man show, sebuah film kalaupun terkadang melibatkan tim kreatif yang berisi orang-orang yang memiliki talenta seni, pada akhirnya eksekutornya adalah sang sutradara. Sutradaralah yang memainkan emosi penonton yang terkadang dibuat terkejut karena sound effect, atau tercekam karena melihat peluru berdesing di atas kepala yang diperkuat dengan surround effect atau mungkin terbahak-bahak saat musik khas yang mengiringi kekonyolan film parodi trio Warkop.
Jika sebuah negara dijalankan dengan pendekatan emosional one man show tentunya tidak akan menghasilkan produk yang optimal karena rakyat hanya menjadi obyek permainan emosi, rakyat bingung sedangkan emosi sang sutradara terpuaskan.