josstoday.com

Swasembada Gula, Petani dan Hilirisasi

Menjelang musim giling 2015, menteri BUMN Rini Soemarno dalam kunjungannya ke Jember pekan lalu, mengajak petani tebu dan direksi pabrik gula untuk mewujudkan swasembada gula pada tahun 2019.

Himbauan tersebut seolah hendak mengingatkan kembali sasaran pengembangan industri gula (2015-2019) yaitu: Pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri.

Tidak ada yang aneh dengan ajakan tersebut, menjadi terasa klise karena disampaikan disaat industri gula nasional yang semakin terdesak oleh gula impor. Harga gula jatuh karena terkena imbas rembesan impor gula rafinasi, yang sengaja ‘dibocorkan’ oleh distributor.

Saat ini ada 11 pabrik gula rafinasi dengan kapasitas lebih dari 5 juta ton raw sugar/tahun yang keseluruhannya dipenuhi dari impor. Akibatnya, output yang dihasilkan jauh melampaui kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri yang  hanya 3 juta ton/tahun.

Sehingga rembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi tak bisa dihindari dan menekan harga gula konsumsi. Kini, para petani dan pabrik gula mulai mencemaskan masa depan dunia pertebuan yang semakin lama semakin meredup (sun-set industry).

Dengan harga yang tertekan, marjin pengusahaan gula tidak cukup untuk ekspansi, pendapatan yang dihasilkan hanya cukup untuk gaji karyawan dan operasional perusahaan. Di sisi lain, kepentingan petani juga tak bisa diabaikan, karena gula lokal dihasilkan pabrik-pabrik konvensional yang sebagian besar (95 persen) mengandalkan bahan baku dari tebu rakyat melalui program kemitraan (partnership).

Tangis Petani

Sebagai komoditas yang highly regulated, industri tebu memang banyak muatan politisnya. Di satu sisi biaya produksi gula terus meningkat di sisi lain harga gula tidak bisa ditarget pada angka yang menjanjikan, karena mempertimbangkan daya beli konsumen.

Setiap harga gula bergerak naik, pemerintah melakukan intervensi dengan membuka keran impor. Apalagi gula impor ini ‘lebih manis’ marjinnya ketimbang gula lokal, sehingga  banyak semut berebut berkoloni membentuk mafia.

Puncaknya, terjadi pada giling 2014 lalu ketika harga gula petani hanya laku Rp 7.800-Rp 7.950 per kg.  Harga tersebut jauh di bawah biaya pokok produksi sebesar Rp 8.791 atau harga pathokan pembelian yang ditetapkan pemerintah sendiri sebesar Rp 8.500 per kg.  Bandingkan dengan biaya produksi di Thailand yang hanya Rp 4500 per kg, sampai di Indonesia menjadi Rp 6500.

Jika skema kemitraan petani dengan pabrik gula adalah bagi hasil, maka berapapun komposisinya yang terjadi adalah bagi rugi, baik pabrik gula maupun petani. Jika petani terus merugi, pastilah mereka enggan menanam tebu lagi.

Hilirisasi yang Terintegrasi

Industri Gula di Indonesia telah eksis ratusan tahun silam, kita pernah tercatat sebagai ekportir gula terbesar kedua setelah Kuba pada dekade 1930-an.  Pada masa itu, produksi gula mencapai 3 juta ton, angka yang tak pernah lagi dicapai saat ini.

Negara-negara produsen utama gula seperti Brasil, India dan Thailand dulu berada dibawah Indonesia, tapi kini Negara-negara itu menyalip dan kita lagi-lagi harus meratapi ketertinggalan.

Program revitalisasai industri gula lokal sudah dibahas dalam pelbagai kesempatan, namun berkali-kali pula implementasinya lunglai di tengah jalan. Bahkan beberapa pabrik gula (PG) telah melakukan revitalisasi, dengan melakukan transformasi total baik off-farm maupun on-farm, namun hasilnya belum menggembirakan.

Bukannya revitalisasi tidak perlu, tapi tidak cukup hanya dengan itu. Sebab, sehebat apapun kita melakukan revitalisasi tetap tidak akan mampu bersaing dengan harga gula impor, yang sudah menerapkan strategi hilirisasi yang terintegrasi.

Sudah menjadi trend di dunia pertebuan bahwa pabrik gula tidak lagi berharap keuntungan dari pengolahan  tebu menjadi gula semata, tetapi  lebih pada pengembangan (diversifikasi) di sisi hilir nya.

Dengan mengolah produk turunan tebu berupa bagas menjadi co-generator dan tetes tebu (molasses) menjadi bioethanol, biogas dan recovery CO2. Oleh karena itu mau tidak mau industri gula nasional harus melakukan diversifikasi dengan membangun industri berbasis tebu (sugarcane based industry) yang terpadu dan terintegrasi.

Terobosan PTPN X dalam mengimplementasikan  diversifikasi patut diapresiasi, diantaranya dengan membangun pabrik bioethanol fuel-grade, merevitalisasi pabrik gula, memproduksi pellet dan membuat co-generation untuk memproduksi listrik.

Meski langkah hilirisasi sudah dimulai, bukan berarti semua urusan selesai. Masih banyak masalah, terutama karena kebijakan pemerintah yang angin-anginan, minus konsistensi dan pemihakan.

Masalah yang sama sebenarnya tidak hanya dihadapi industri gula di Indonesia. Di Negara-negara lain, kondisi serupa juga terjadi. India misalnya, pemeritah mematok harga jual gula, agar terjangkau oleh masyarakat bawah.

Untuk menghindari kerugian petani, harga tebu (cane purchasing) di India dipatok USD 40/ton, harga jual gula di tingkat pabrik USD 400/ton. Jadi ketemu"balance” nya adalah pada rendemen 10%.

Sehingga industri gula hanya akan bisa bertahan dan berkembang bila melakukan hilirisasi. Seolah-olah PG tidak boleh mengambil keuntungan dari pengolahan gula, tetapi PG hanya membantu petani memproses tebu menjadi gula dengan ongkos proses berupa produk turunan: bagas dan molasses. Keuntungan PG didapatkan dari memproses produk turunan menjadi bioethanol, co-generation, biogas dan lain-lain.

Kini, India sukses menjadi produsen gula terbesar kedua di dunia. Kiat sukses hilirisasi ala India ini mustinya menginspirasi industri gula Indonesia untuk mengikuti jejak suksesnya.

Yaitu melakukan hilirisasi secara terintegrasi, baik lokasi, kerjasama operasi maupun keuangan yang terkonsulidasi. Diakui, dengan strategi hilirisasi otomatis akan terjadi revitalisasi pengolahan gulanya.

The last but not least, adalah komitmen dan pemihakan pemerintah RI pada industri gula maupun pemanfaatan produk hilirnya (bio-fuel, co-gen dan biogas). Tanpanya, swasembada gula hanya akan menjadi wacana.

* Misbahul Huda Direktur Utama PT Energi Agro Nusantara (Enero)