
Janji Jokowi Soal BB Nabati
JOSS.TODAY - Maret lalu, Pemerintah telah mengumumkan 6 paket kebijakan ekonomi yang diharapkan bisa memperkuat nilai tukar rupiah. Salah satu paket kebijakan Jokowi tersebut adalah peningkatan kewajiban penggunaan biodiesel dari saat ini 10 persen menjadi 15 persen. Kebijakan yang rencananya diterapkan April 2015 ini akhirnya kandas, padahal kebijakan tersebut bertujuan untuk menghemat impor BBM sekaligus mendorong tumbuhnya industri BB Nabati di dalam negeri.
Kesadaran bahwa perlu segera mengembangkan Bahan Bakar Nabati sebagai pengganti BBM sudah ada sejak era SBY-JK. Mengingat impor BBM telah menguras uang negara, karena pemakaian BBM impor terus naik dari tahun ke tahun seiring menurunnya lifting minyak pertamina. Sayangnya, kesadaran tersebut masih terbatas wacana, tidak ada konsistensi dan aksi nyata.
Misalnya, pada awal pemerintahannya, SBY mengajak rakyat untuk menanan pohon jarak, dan pada tahun berikutnya 2006 mengajak pengusaha untuk mebuat pabrik bioethanol. Namun sampai akhir pemerintahannya kewajiban pemakaian biofuel yang hanya 1-2 persen itupun berlalu tanpa hasil, alias nihil. Kini Jokowi menetapkan peningkatan Biodiesel, sepertinya juga sepi realisasi.
Padahal Menurut Subroto (Menteri Pertambangan dan Energi periode 1978-1988), cadangan minyak Indonesia sekitar 3,7 milliar barrel. Produksi bahan bakar minyak dalam negeri saat ini rata-rata 800.000 barrel per hari. Tanpa adanya penemuan cadangan minyak baru, cadangan lama diperkirakan akan habis 11 tahun lagi. Meskipun cadangan minyak sudah menipis, gereget pemerintah untuk menghemat energi fosil dan menemukan energi baru dan terbarukan (EBT) belum kelihatan, kalaupun ada sifatnya angin-anginan.
BALADA BB NABATI
Stategi Pemerintah dalam Ketahanan Energi Nasional (KEN) tercermin pada target pemakaian energi baru dan terbarukan (EBT) yang sangat fantastis yaitu, 23 persen di tahun 2025 dan 31 persen di tahun 2050. Optimisme tersebut tidak berlebihan, karena faktanya Indonesia mempunyai beragam potensi energi alternatif EBT, antara lain panas bumi, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, tenaga gelombang, dan bahan bakar nabati (biofuel dan biodiesel).
Panas bumi dan gas alam diakui paling besar potensinya, tapi pemanfaatannya berjalan lambat karena alasan biaya investasi, maka energi alternatif yang paling prospektif dikembangkan adalah BBN (biofuel) dari tetes tebu (molasses) atau ketela pohon dan biodiesel dari sawit. Disamping murah juga teknologinya relatif sederhana.
Namun, rendahnya harga pasar BBN karena terseret anjloknya harga minyak dunia membuat penemuan dan pengembangan energi alternatif BBN ini menjadi sulit dan terabaikan. Padahal, di negara manapun harga energi alternatif memang lebih mahal pada awalnya, karena itu perlu insentif dari pemerintah.
Jawa Pos belum lama memberitakan bahwa PT Pertamina (persero) gagal melakukan tender bahan bakar nabati (BBN) jenis bio-diesel pada Desember 2014. Saat itu lelang sepi peminat karena harga pengadaan unsur nabati (fatty acid methyl esters/ FAME) rendah. Direktur Pemasaran Pertamina menjelaskan, pemerintah berencana menetapkan formula baru harga indeks pasar (HIP) biodiesel, supaya lebih menarik untuk dibisniskan.
Jika tanpa intervensi pemerintah, maka target Jokowi 15 persen biodiesel dipastikan akan sulit dicapai, karena bila harga CPO (crude palm oil) bagus, maka produsen CPO lebih memilih ekspor daripada dijadikan FAME untuk dicampur solar menjadi bio-diesel.
Nasib yang sama terjadi pada bio-ethanol, sebagai BBN campuran premium. Jika tidak ada subsidi pemerintah, maka industri bioethanol yang berkembang sejak 5 tahun yang lalu cenderung memilih alih produksi untuk farmasi dan industri. Sedangkan bioethanol fuel-grade untuk transportasi berangsur-angsur ditinggalkan, karena tidak menguntungkan. Terbukti, dari beberapa industri etanol besar di Indonesia, sudah banyak yang pingsan, 2 pabrik mati dan hanya 3 pabrik yang bertahan. Yang bisa bertahan itupun setelah memodifikasi pabriknya menjadi bioethanol food-grade dan pharmaucytical grade, bukan lagi BBN (fuel-grade).
Naifnya, subsidi yang telah disepakati oleh DPR komisi VII dan pemerintah (kementerian ESDM) sebesar Rp 3000 per liter untuk bio-fuel dan Rp 4000 untuk bio-diesel diabaikan oleh Banggar, tidak dibahas tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, dunia usaha terpukul dan enggan untuk memasuki dan mengembangkan bisnis BBN (biofuel) ini. Alih-alih untuk memulai bisnis, yang sudah adapun terancam mati. Keengganan ini kalau tidak segera diselamatkan maka pemerintah akan kehilangan momentum untuk memulai lagi mengembangkan BBN ini. Bisa jadi, salah satu paket kebijakan ekonomi yang diusung jokowi terancam kehilangan taji.
Gereget Pemerintah
Sudah lama ada aturan yang mewajibkan penggunaan BBN, Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi pasal 21 menetapkan, Pemerintah dan Pemerintah daerah diwajibkan memanfaatkan energi baru dan energi terbarukan. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan dilakukan oleh Badan Usaha seperti Pertamina, Shell, Total dsb. Dan Badan usaha tersebut dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya.
Juga PP No. 30 Tahun 2009 dan Keputusan Presiden No. 59/P Tahun 2011 memberikan kewenangan kepada Menteri ESDM untuk mengatur lebih lanjut tentang peyediaan, pemanfaatan dan tata niaga BBN
Dari landasasan hukum di atas, Menteri ESDM telah menetapkan PERMEN No.25 Tahun 2013 tentang Perubahan atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. Yang menetapkan bahwa untuk meningkatkan pemanfaatan BBN maka kepada badan usaha Pemegang Izin Usaha Niaga BBM, Pengguna langsung BBM, dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang masih menggunakan BBM wajib menggunakan bahan bakar lain (Biofuel dan Biodiesel) dalam negeri secara bertahap. Untuk target tahun 2015 adalah, 1-2 persen untuk bioethanol dan minimal 10 persen untuk biodiesel, yang kemudian Jokowi menaikkan targetnya menjadi 15 persen.
Jika mandatori pemanfaatan BBN sebagai campuran BBM dipenuhi, maka dibutuhkan 0,34 juta KL Bioethanol dan 5,3 juta KL biodiesel per tahun. Jumlah yang cukup untuk memberi stimulus bagi industri BBN agar menekuni bisnis masa depan ini. Tetapi sejauh ini realisasinya nyaris tidak berjalan. Impor minyak mentah dan produk BBM tampaknya lebih menarik ketimbang pemberian insentif fiskal dan kemudahan regulasi bagi investasi BB Nabati pengganti BB Minyak. Tidak salah kalau kemudian muncul isu mafia migas, sebagai penghambat eksekusi pemakaian BB Nabati.
Belum terlambat untuk menganekaragamkan energi demi membangn ketahanan energi nasional, meskipun UU tentang Energi sudah efektif berlaku sejak 8 tahun lalu. Jangan sampai terlena oleh harga minyak bumi yang sedang anjlok. Pemerintah harusnya punya politik keuangan yang mendorong pemakaian BBN tersebut, misalnya dalam bentuk insentif, subsidi ataupun kemudahan regulasi.
Jika tata niaga BBN ini diserahkan pada mekanisme pasar, tanpa campur tangan pemerintah, bukannya tidak mungkin target roadmap Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang fantastis itu akan berakhir minimalis. (*)