josstoday.com

APTRI, Antara Realitas dan Idealisme

JOSS.TODAY - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia  (APTRI) merupakan organisasi kemasyarakatan yang mewadahi petani tebu di Indonesia. Secara realitas, APTRI sudah ada dan eksis sejak reformasi bergulir di Indonesia. Perjuangan APTRI untuk mempertahankan dan mengembangkan industri gula di Indonesia pun telah dirasakan oleh semua pihak.

APTRI telah banyak memberikan kontribusi signifikan untuk menunjang ketahanan pangan nasional. Khususnya melalui kegiatan produksi gula dengan harga produk yang terjangkau konsumen, pengelolaan lahan pertanian, sumbangsih pemikiran kepada pemerintah terkait dengan undang-undang, dan menjaga impor gula rafinasi yang dapat merugikan petani tebu.

Ada banyak tokoh petani tebu yang menggerakkan organisasi APTRI. Namun, tidak semua tokoh betul-betul berjuang sesuai dengan visi dan misi atau tujuan didirikannya APTRI.

Melihat kenyataan ini, Ketua Umum APTRI HM Arum Sabil bersama para tokoh tokoh lainnya berinisiatif untuk menjadikan organisasi ideal, memiliki AD/ART dan kepengurusan yang terorganisir dengan baik, serta tidak lagi terpecah belah berkeping-keping seperti paguyuban yang tidak terorganisir.

Maka pada 26 Januari 2016 bertempat di Hotel Sriwijaya, Jakarta, Arum Sabil bersama H Abul Wahid dan tokoh-tokoh petani tebu se-Indonesia, menyelenggarakan Musyarawah Nasional (Munas) untuk menjadikan APTRI sebagai organisasi yang ideal dan bermartabat.

Melalui forum tersebut, lantas dibentuk steering committee dengan tugas menyusun dan menyempurnakan AD/ART dan organising committee yang mempersiapkan Silahturrahim Nasional (Silatnas) pada 5 Januari 2016 di Semarang. Serta menetapkan HM. Arum Sabil sebagai Ketua Umum Dewan Pembina APTRI dan H. Abdul Wahid sebagai Ketua Umum DPP APTRI.

Pengembangan organisasi dengan aturan organisasi yang jelas merupakan prasyarat mutlak untuk keberhasilan tujuan APTRI. Sumber daya manusia yang berkualitas, berdedikasi, loyal dan memiliki integritas tinggi terhadap organisasi sangat dibutuhkan.

Munas dan Silatnas APTRI sebagai wahana untuk meningkatkan potensi dan peran petani tebu yang demikian besar, namun belum tergarap dengan baik. Dengan kelembagaan petani yang ideal dan bermartabat, tentu akan memiliki daya tawar (bargaining position) ketika berhadapan dengan kekuatan eksternal.

Ada banyak  keluhan persoalan yang dihadapi para petani tebu. Diantaranya rendahnya harga gula lantaran merebaknya peredaran gula rafinasi di pasaran, rendahnya rendemem karena kurang transparannya pihak pabrik gula, proses pembayaran yang tersendat, persoalan pemenuhan pupuk, distribusi yang tidak tepat waktu, jumlah ketersediaan pupuk yang tidak sesuai dengan luas lahan tebu, serta kondisi pabrik gula yang perlu di revitalisasi.

Sebenarnya, revitalisasi pabrik gula sangat perlu dilakukan secara simultan, baik di bidang on farm (tanaman tebu) maupun off farm (pabrik gula). Semua persoalan itu dibahas dalam Munas, waktu Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, dan juga menjadi agenda pembahasan pada forum Silatnas di Hotel Patra Jasa Semarang.

Silatnas di Patra Jasa Semarang Convention Hotel sendiri dihadiri beberapa toko. Seperti anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI DR. KH. Hasyim Muzadi,  Ketua Panja Gula Komisi VI DPR RI Farid Al Farisi, Direkur Utama Holding Perkebunan Bagus Angkasa, general manajer dan Administratur Pabrik Gula se-Indonesia, Direktur Pupuk Indonesia, pimpinan bank di bawah BUMN, Kepala Dinas Perkebunan Propensi Jawa Tengeh Yuni Astuti, Prof DR. Hermawan Sulistio, DR. Agus Pakpahan, serta Ketua dan Pengurus APTRI se-Indonesia.

Arum Sabil dalam sambutan dan pengarahannya di acara Silatnas menjelaskan, Indonesia sedang menghadapi tantangan yang berat. Sesuai data yang ada, negara-negara produsen gula kelebihan produksi gula 56 juta ton dan siap untuk diekspor.

Apabila Indonesia mengeluarkan izin impor gula berdasarkan kapasitas pabrik atau berdasarkan selera para importir, tentu ini sangat membahayakan. Terlebih statemen Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang akan mendorong pemerintah agar memberi kebebasan pada semua importir hanya dengan batasan-batasan atau barier dan  tarif, tapi tidak dibatasi dengan jumlah barang impor ke Indonesia.

Arum Sabil berpendapat, izin impor seharusnya juga harus diimbangi dengan kuota kebutuhan dalam negeri. Kalau tidak, di Indonesia akan terjadi "tsunami" gula. Contohnya, 11 pabrik gula rafinasi dengan kapasitas terpasangnya sudah 5 juta ton.

Produksi gula di Indonesia sendiri sekitar 2,5 juta ton. Belum lagi dengan berdirinya pabrik-pabrik gula baru yang indikasinya hanya sebagai kedok impor gula mentah hampir 800.000 ton. Artinya, total gula di Indonesia sudah hampir 8,5 juta ton.

Sementara hasil survei APTRI, kebutuhan gula di Indonesia hanya 4,5 juta ton. Menurut perhitungan dari Menteri Perindustrian kebutuhan, kebutuhan gula sekitar 5,7 Ton. Lalu kita bandingkan dengan kondisi gula yang jumlahnya 8,5 juta ton dengan kebutuhan gula di Indonesia yang 5,7 Ton. Ada selisih sekitar 2,8 juta ton. Ini yang dimaksud dengan "tsunami" gula di Indonesia, yang diakibatkan oleh impor gula rafinasi.

Untuk itu, harus ada penegakan hukum agar impor gula disesuaikan dengan kebutuhan gula dalam negeri. Indonesia harus punya daya saing dengan cara saling bersinergi dan membangun kebersamaan. Tidak ada kekuatan itu lahir dengan perpecahan. Tapi kekuatan itu tumbuh dari kebersamaan. Petani harus bersinergi dengan perusahaan perusahaan BUMN yang ada.

Silatnas APTRI dilanjutkan dengan pengokohan kepengurusan DPP APTRI yang dipimpin oleh Ketua Umum DPP APTRI H. Abdul Wahid. Lalu dilanjutkan dengan pengarahan Dewan Pertimbangan Presiden RI DR. KH. Ahmad Hasyim Muzadi.

Hasyim Muzadi berharap agar APTRI menjadi organisasi profesional yang membela kepentingan petani, penuh dengan rasa kekeluargaan dan kebersamaan bukan kekuasaan seperti partai politik, serta menjadi agen ketahanan pangan dan energi di Indonesia.(*)