josstoday.com

Robi Setyanegara.

Pilkades : Euforia atau Perubahan?

JOSSTODAY.COM - Oleh **) Robi Setyanegara. 

Tahun ini beberapa daerah di Indonesia sedang menyiapkan, dan beberapa di antaranya baru saja selesai, menggelar pemilihan kepada desa (pilkades). Sebutlah Kabupaten Bangkalan, Ciamis, Cilacap, Deliserdang, Sidoarjo, dan banyak lagi daerah yang memang memiliki basis wilayah administrasi pedesaan. Hajatan demokrasi di tingkat desa tersebut, selain membutuhkan banyak sumber daya tenaga, juga menguras dana yang terhitung relatif besar. Tak heran jika pemda masing-masing menganggarkan bantuan biaya pilkades sebesar 20 hingga 50 juta per desa untuk menopang segala kebutuhan pelaksanaan pilkades. Di samping itu, pemilihan yang digelar setiap enam tahun sekali tersebut juga rawan dan seringkali menimbulkan biaya sosial berupa konflik terbuka di kalangan masyarakat pendukung masing-masing calon.

  Dalam banyak penyelenggaraan ajang demokratis seperti pilkades, euforia pasti bisa dirasakan. Betapa masyarakat desa dimobilisasi untuk kepentingan kampanye, meluasnya pembicaraan seputar politik desa di kalangan masyarakat desa, serta mobilisasi masyarakat ke TPS untuk turut memberikan suaranya. Nuansa kemeriahan khas desa yang dibalut dengan suasana kekeluargaan menjadi amat terasa. Sekalipun di beberapa daerah tercatat praktik politik uang, yang menandakan bahwa masyarakat desa dimobilisasi oleh kekuatan modal para calon dan tentu saja tindakan tersebut melukai demokrasi di desa, namun bagaimana pun desa memberikan suasana yang khas dan kental dengan keakraban yang menjadi ciri identik desa. Apalagi pilkades merupakan sarana bagi mereka untuk memilih pemimpin mereka sendiri; yang secara langsung akan berpengaruh terhadap arah pembangunan di desa.

Euforia lain yang terekam pada pelaksanaan pilkades adalah banyaknya pedagang asongan yang berusaha menjajakan dagangannya di sekitar balai desa atau tempat pemungutan suara (TPS). Dari sisi ekonomi, ini tentu saja menguntungkan bagi para pedagang karena mereka dengan leluasa menawarkan dagangannya kepada masyarakat yang berkumpul di balai desa atau TPS. Itu berarti secara tidak langsung bisa disebut bahwa pelaksanaan pilkades sedikit banyak membantu perekonomian pedagang asongan. Memang suasana seperti ini tidak akan pernah ditemui di kota, karena pada umumnya desa di kota yang disebut dengan kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang ditunjuk oleh walikota setempat. Sehingga euforia khas pilkades ini patut dan menarik untuk menjadi catatan betapa pelaksanaan ajang demokrasi tingkat desa tersebut membawa pengaruh pada gemerlapnya suasana pedesaan.  Tidak hanya itu. Keguyuban di antara para panitia pilkades yang notabene berasal dari warga desa setempat menambah semerbak aroma kekeluargaan masyarakat desa. Inilah dampak euforia yang dirasakan dari pelaksanaan pilkades.

Harapan Perubahan

Di balik euforia pilkades yang amat mengharukan tersebut, tentu saja terpancar harapan-harapan baru akan pembangunan desa yang lebih baik. Ajang untuk memilih pemimpin desa menjadi penentu apakah desa akan semakin berkembang atau justru sebaliknya. Asumsinya adalah pemimpin desa yang terpilih akan memberikan corak bagaimana desa hendak dikelola karena, bagaimanapun, ia adalah nahkoda bagi pembangunan di desa. Sebagai pemilik suara, masyarakat memegang peranan penting yang sangat menentukan. Ia bisa dengan bebas memilih siapa calon yang menurutnya terbaik. Di sinilah sesungguhnya nasib desa sedang dipertaruhkan.

Sebagaimana diketahui secara jamak, bahwa Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya tinggal di desa. Itu artinya, jika disimplifikasi, pembangunan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana desa dibangun. Jika desa mengalami pembangunan yang baik dan merata, tentu saja secara akumulatif dapat disebut bahwa pembangunan di tingkat nasional pun berjalan serupa. Begitu pula sebaliknya, apabila desa menjadi terbengkalai dan tidak dibangun serta diberdayakan dengan baik, maka pertumbuhan dan pemerataan progresif dalam skala nasional pun hanya menjadi ilusi. Inilah letak posisi strategis desa. Sehingga dalam kacamata yang lebih makro, desa tidak bisa disebut hanya merepresentasi sebagian kecil penduduk di Indonesia.

Sebagai tulang punggung pembangunan nasional, desa harus menumbuhkan harapan-harapan segar bagi pembangunan desa. Apalagi di era yang semakin mengglobal seperti sekarang, desa harus bertransformasi untuk terus berinovasi agar tidak kalah bersaing dengan kompetitor skala nasional, bahkan internasional. Ini bagaikan pedang bermata dua yang di satu sisi bisa menguntungkan dan di sisi yang lain bisa saja membunuh secara dramatis dan sadis. Maka, kembali kepada pembicaraan pilkades, ajang ini harusnya menjadi penerjemahan harapan-harapan baru masyarakat desa di mana mereka harus memilih sosok pemimpin yang akan membawa desa selama setidaknya enam tahun mendatang. Dan semua orang pasti memiliki keyakinan bahwa harapan perubahan itu pasti ada dan menjadi keniscayaan yang tak terelakkan.

Pemimpin Desa Visioner

Jika kita melihat kondisi yang amat kompleks, baik dari skala nasional maupun – bahkan – global, maka kita akan menangkap sebuah gambaran yang nyata betapa persaingan dalam segala lini kian menjadi-jadi. Persaingan tidak hanya dilakukan dalam aspek ekonomi (sekalipun aspek inilah yang paling penting), tetapi juga meliputi aspek tata kelola desa (rural governance), pemerintahan desa (rural government), termasuk juga persiangan secara kultural dan aspek-aspek strategis yang lain. Sudah menjadi sangat nyata betapa desa memiliki posisi yang berbahaya apabila ia tidak mampu bertransformasi dalam sudut pandang yang visioner dan peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Mencermati gambaran tersebut, agaknya sudah tidak dapat dielakkan lagi bahwa desa membutuhkan sosok pemimpinan yang visioner; yang mampu menjadi agitator perubahan sekaligus menjadi pelayan desa yang mampu menerawang perubahan di masa depan dengan segala komplektisitasnya. Ini menjadi syarat mutlak apabila desa ingin benar-benar berubah menjadi lebih baik dan mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan-tantangan yang amat luas skalanya. Pembangunan desa dengan berpacu pada pandangan yang visioner akan mengantarkan desa pada pembangunan yang berkelanjutan sekaligus mengedepankan usnur-unsur humanis yang dapat mendongkrak martabat desa dengan ciri khasnya.

Desa membutuhkan sosok yang tidak takut perubahan dan kaya akan inovasi pembangunan yang relevan dengan kondisi desa. Kita dapat menyaksikan bahwa pemerintah pusat telah mendukung desa dengan menggelontorkan dana sebesar 500 sampai 600 juta pertahun per desa untuk menunjang pembangunan desa. Bahkan secara bertahap nominal tersebut akan mengarah ke angka 1 miliar per desa per tahun. Jika dihitung, tentu itu bukan nominal yang kecil. Dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengelola dana besar itu di satu sisi, dan di sisi yang lain dibutuhkan pula pemimpin desa yang dapat berinovasi secara unggul untuk menggunakan dana tersebut bagi pembangunan yang progresif dan inovatif.

Dari gambaran-gambaran di atas, di sinilah kita mulai menyadari letak relevansi yang konkret antara ajang pilkades dengan perubahan. Perubahan itu sendiri juga mensyaratkan dua hal, pertama adalah adanya harapan, dan kedua adalah pemimpin yang visioner. Dengan demikian, pilkades adalah ajang penentuan nasib arah pembangunan desa di tengah himpitan persaingan yang sangat luas. Dan kita semua berharap pelaksanaan pilkades yang hendak dilaksanakan di banyak desa di berbagai daerah ini akan mampu membawa perubahan progresif bagi skala desa, pada khususnya, dan skala nasional, pada umumnya. Sehingga pilkades tidak hanya menjadi ajang euforia belaka. Semoga.

**) Robi Setyanegara adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia