Pekik Merdeka dan Inovasi
Suasana rangkaian upacara 17 Agustus di gedung negara Grahadi. Nampak gubernur dan wakil gubernur Jatim mengepalkan tangan dan meneriakkan pekik merdeka. (Foto: Istimewa)
JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)
Saat film “Sang Kiai” diputar kembali di sebuah stasiun televisi nasional pekan lalu, ada adegan yang menyeruak dada penulis. Ya, seorang santri digambarkan nekat melemparkan granat ke arah Jenderal Mallaby, pimpinan sekutu yang berniat menguasai kembali Surabaya. Sambil berteriak takbir disertai pekik “merdeka”, sang jenderal pun tumbang.
Adegan ini semakin memperkaya ingatan dan imajinasi kita tentang pertempuran 10 november di Kota Pahlawan 72 tahun silam. Dentuman meriam meluluhlantakkan Tugu Pahlawan sehari sebelum pertempuran besar. Kobaran api membesar, kepulan asap membumbung dan situasi semakin riuh tak terkendali. Dentuman meriam dari tank tentara Inggris tak membuat arek-arek Suroboyo gentar. Mereka malah tersulut dan melawan dengan bambu runcing di tangan.
Pimpinan Arek-arek Suroboyo berteriak dan menyatakan arek suroboyo tak takut mati. “Merdeka atau mati!”, begitu teriakan Bung Tomo. Teriakan itu menggema mengiringi perlawanan kepada sekutu. Itulah sebuah perlawanan lahir batin dari sebuah pekikan kemerdekaan. Teriakan atau pekikan kemerdekaan membawa energi perubahan tanpa rasa takut, penuh percaya diri, dan tidak mudah patah arang atau putus asa.
Pekikan kemerdekaan saat ini juga telah menjelma tidak saja milik pejuang dan sejarah pergerakan dan kemerdekaan. Pekik kemerdekaan sudah memasuki ruang-ruang publik yang semakin meluas. Tidak hanya dalam dunia nyata, bahkan dunia maya pun pekikan kemerdekaan menjadi satu tradisi dan viral. Lihat saja dalam masa agustusan kini, status bahkan konten terkait isu kemerdekaan, tidak bisa lepas dari diksi “merdeka!”. Menarik bukan? Tentu saja menarik. Generasi milineal pun tidak canggung meneriakkan kata kata ini sebagai bagian dari wacana kekinian. Pekikan Merdeka sudah bertransformasi menjadi milik generasi masa depan.
Diksi pekik merdeka yang viral, tentu akan memengaruhi opini publik. Jika kita lihat data pengguna sosial media, atau warganet di Indonesia, menjadi harapan cerita-cerita tentang kemerdekaan akan tersampaikan dengan mudah dan cepat. Lihat saja situs jejaring sosial Facebook berkembang sangat luar biasa di negeri ini. Seperti yang dikuti sebuah berita online yang menyebutkan pengguna Facebook di tanah air mencapai 26 juta orang atau nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat (130 juta pengguna) dan Inggris (28 juta pengguna). Jadi, bukan hal aneh jika kemudian pekik “merdeka..!” dalam perayaan 72 tahun Kemerdekaan RI juga ramai di dunia maya dan warganet.
Boleh jadi dua puluh tahun lalu atau saat Indonesia merdeka ke-50 tahun kita tidak membayangkan isu-isu kemerdekaan ditangkap seperti ini. Rasa nasionalisme dan patriotisme kita, diakui atau tidak, telah mengalami komodifikasi atau penyesuaian dengan perubahan era jaman dari konvensional menjadi kosmopolitan dan milineal. Tentu, dulu kita juga tidak membayangkan suatu masa kita bisa mengungkapkan rasa kebangsaan kita cukup dengan satu-dua kali klik! di situs jejaring sosial semacan Facebook dan Twitter. Rasa patriotisme dan nasionalisme kita telah menjelma menjadi “media penampung” di mana kita bisa membuang segala unek-unek, termasuk unek-unek soal kemerdekaan. Kita bisa ngomong apapun, kebanggaan, kekecewaan, kritik, dukungan, rasa bahagia, pesimisme, optimisme dan banyak lagi. Bagaimanapun hakekat bermedia sosial itu adalah merdeka dan bebas.
Inilah wajah kita saat ini. Isu-isu kemerdekaan harus ditransformasikan pada generasi-generasi masa depan, yang nantinya menjadi pemilik dan pelaksana sekaligus pengisi kemerdekaan ini. Film “Sang Kiai” pada adegan penyerangan pada Mallaby oleh seorang santri disertai pekik merdeka dan takbir adalah salah satu potret transformasi isu-isu nasionalisme dan patriotisme pada generasi baru di negeri ini melalui sebuah karya film. Inilah yang penulis sebut sebagai upaya komodifikasi terhadap isu-isu kemerdekaan bagi generasi baru penerus estafet kepemimpinan di negeri ini. Upaya Josstoday menggelar lomba “Pekik Merdeka” melalui akun sosial media adalah upaya penguatan konten isu-isu nasionalisme dan patriotisme kepada publik, terutama generasi-generasi milineal yang familiar dengan gadget.
Upaya ini sekaligus menguatkan rasa cinta kita pada negeri juga ini meningkatkan kualitas kepercayaan diri kita pada bangsa dan negeri tercinta. Festival Pekik Merdeka yang gayung bersambut dengan dukungan penuh wakil gubenur Jawa Timur H. Saifullah Yusuf. Gus Ipul sekaligus pula menandai tantangan ke depan pasca 72 tahun kemerdekaan RI, bahwa tantangan ke depan adalah kemampuan kita berinovasi.
"Dengan kemajuan di bidang sains dan teknologi yang luar biasa, motto kita harus kita tambah, inovasi atau mati?. Merdeka! Merdeka! Merdeka!," pekik Gus Ipul spontan, ketika bersama kami merancang festival tersebut.
Teringat pula kami dengan pernyataan Bung Karno yang pernah mengatakan, “Merdeka hanyalah sebuah jembatan.” Tentu, jembatan bagi inovasi di berbagai bidang pembangunan termasuk sains dan teknologi ini, adalah momentum yang harus kita rebut. Kemerdekaan adalah bagian dari bekal yang harus kita manfaatkan guna mencapai jalan panjang yang mengantarkan negeri ini pada kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Merdeka! (*)
**) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Josstoday.com dan Bumntoday.com