Gus Ipul vs Khofifah Perang Paregrek Jaman Now

josstoday.com

Pengamat Politik, Mochtar W Oetomo (kanan), saat memaparkan materi pada Diskusi Panel di Hotel Narita Surabaya, Jumat (17/11/2017). (josstoday.com/Fariz Yarbo)

JOSSTODAY.COM - Munculnya dua poros Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2018, dipandang seperti dengan Perang Paregrek di era kerajaan Majapahit.

Hal itu dilihat karena perpecahan sesama Nahdatul Ulama (NU) yang melatar belakangi kedua kandidat sama seperti kisah Bhrr Wirabumi dengan Kusumawardhani. Apalagi, beberapa kyai telah mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang dapat memicu konflik sesama NU.

"Ini seperti perang antar sesama anak kandung Hayam Wuruk tersebut, yang pada akhirnya justru membawa kemunduran bagi kekuasaan Kerajaan Majapahit," jelas Pengamat Politik asal Universitas Trunojoyo, Mochtar W Oetomo, pada Diskusi Panel di Hotel Narita Surabaya, Jumat (17/11/2017).

Pria yang kerap disapa Mochtar menjelaskan jika perang sesama NU ini dapat menguntungkan pihak luar, yang ingin menguasai Indonesia.

"Mereka (pihak luar) menunggu lemahnya NU. Satu yang pasti selama ini NU adalah penjaga utama dari sisi ideologi, NU di garda terdepan menjaga agar terjaga dari ideologi. Maka, kalo NU lemah ideologi luar akan menancap di Indonesia," jelasnya.

Senada dengan Mochtar, pengamat politik Universitas Airlangga, Suko Widodo, menjelaskan kehadiran kyai dalam praktik politik praktis ini telah membuka indikasi perang antar kyai dan sesama penganut NU.

Menurutnya, kyai seharusnya dapat kembali ke khittahnya untuk menjaga keamanan dan ketentraman di tengah masyarakat. Apabila justru terseret dalam arus politik praktis, justru para Kyai akan membawa kebingungan bagi umatnya.

"Jangan sampai ke depannya ketika para kiai mulai melupakan khittahnya sebagai Begawan di tengah masyarakat, nanti Jatim juga mengalami kemunduran," katanya.

Menurutnya, untuk bisa mengantisipasi terjadinya Perang Paregrek itu harus ada poros alternatif. Dengan harapan, nantinya dari kedua poros yang ada hanya akan ada perang gagasan, tidak sampai kepada perang fisik.

Sementara itu, pengamat politik asal Unitomo Surabaya Redi Panuju memandang bahwa pamer sumber dukungan ataupun legitimasi primordial merupakan dinamika kontestasi pilkada yang tidak sehat. Hal tersebut, menurutnya merupakan pengingkaran mutlak terhadap Bhinneka Tunggal Ika. 

Dia menjelaskan bahwa dua poros yang sudah ada terlalu menonjolkan kekuatan primordial. "Itu adalah bentuk kemunduran. Karena isu yang muncul pasti SARA dan soal agama. Seolah-olah agama adalah sumber legitimasi," jelasnya.

Hal tersebut, menurut pria yang kerap disapa Redi itu, sedang dihindari oleh jargon-jargon NKRI dan Pancasila. Sehingga, kondisi demikian dipandang menjadikan munculnya poros tengah pada pilgub Jatim menjadi perlu atau suatu keniscayaan. 

"Dalam pikiran saya untuk mencegah perang ini memang dibutuhkan jalan lain. Bukan artinya menafikkan kedua kandidat, namun ada alternatif untuk mengantisipasi perang ini. Tiga partai (Gerindra, PAN, PKS) jangan masuk ke dalam poros yang ada, harus bisa memunculkan figur baru," katanya.

Di sisi lain, Sekretaris DPD Gerindra Jatim, Anwar Sadad, mengatakan jika poros tengah terbentuk karena bentuk keresahan akan adanya perang saudara. 

"Melihat fenomena tersebut Gerindra menginisiasi adanya poros emas karena itu yang dibutuhkan Jawa Timur. Bukan fardhu ain atau apa itu. Pilkada itu sejatinya adalah perang gagasan dan perang ide," ujarnya. (ais)

 

 

Pilgub Jatim 2018 Perang Paregrek NU Poros Emas