Perspektif Komunikasi dalam Polemik Azwar Anas
Rachmat Kriyantono, PhD.
JOSSTODAY.COM - Oleh Rachmat Kriyantono, PhD.
Pilkada Jawa Timur masih beberapa bulan lagi, tapi, bom panasnya sudah pecah jauh sebelum itu. Abdullah Azwar Anas memutuskan mundur dari posisi cawagub di pesta demokrasi ini. Cawagub - Cagub petahana, Syaifullah Yusuf (cagub), ini resmi menyerahkan mandat pencalonannya kepada dua partai pengusungnya, PDIP dan PKB, melalui siaran pers, Sabtu, 6 Januari ini.
Beberapa media memberitakan mundurnya cawagub yang juga Bupati Banyuwangi dua periode ini diduga setelah beredarnya foto seorang pria sedang berdua bersama seorang perempuan di dalam sebuah mobil. Pria di foto itu diduga mirip wajah Anas yang sedang memangku kaki seorang perempuan yang disebut-sebut istri seorang politisi. Di dekat mereka berdua tampak sebuah botol, yang oleh beberapa media diduga sebagai botol minuman keras.
Tulisan ini mencoba memahami peristiwa ini dalam perspektif komunikasi krisis untuk krisis politik (political crisis communication). Perspektif ini penulis gunakan karena salah satu kandidat dalam proses politik di pilkada Jatim ini bisa dipastikan tengah mengalami situasi krisis. Beredarnya foto yang tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya oleh Anas ini, menjadi stimuli munculnya pertanyaan-pertanyaan dari publik (public’s scrutiny), terutama dari media.
Hingga tulisan ini dibuat, peristiwa ini telah memunculkan terjadinya ketidakpastian informasi yang tinggi sehingga rasa ingin tahu publik belum terjawab. Pada akhirnya mengancam reputasi Anas, keluarganya, parpol pengusung, bahkan bisa saja menyeret reputasi Banyuwangi.
Setiap peristiwa krisis, apalagi yang terkait dengan hajat hidup banyak orang, seperti pilkada, dan bersifat negatif akan mendorong publik bertanya “what’s going on?” Apa benar? Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung-jawab? Sampai saat ini, satu-satunya informasi yang bisa digunakan, setidaknya, untuk mengisi rasa haus publik ini adalah pernyataan langsung Anas saat mengundurkan diri. Karena itu, upaya menakar strategi Anas menghadapi krisis di tulisan ini sebatas hanya dari analisis pernyataan-pernyataan tersebut. Tulisan ini pun tidak bermaksud men-judge tentang apakah pria di foto itu benar-benar Azwar Anas atau tidak.
Ambiguitas Azwar Anas
Pernyataan resmi Anas di siaran pers pengunduran dirinya, ada beberapa catatan penulis dalam kacamata political crisis communication. Anas ternyata lebih memilih strategi victimize dan strategi bolstering.
Melalui strategi victimize, Anas menganggap dirinya seorang korban kezhaliman seseorang. Sudah beberapa kali dia mengalami berbagai bentuk kezhaliman, mulai saat nyalon Bupati hingga selama menjabat Bupati Banyuwangi. Dia yakin semua itu dari orang-orang yang merasa kepentingannya terganggu oleh policy Anas yang dianggap pro rakyat. Anas merasa ada upaya pembunuhan karakter dalam proses pilkada yang dia ikuti ini. Strategi victimize ini tampak dalam pernyataanya, “berbagai cobaan, godaan kekuasaan, penyuapan, dan cara-cara tidak manusiawi… ada pihak-pihak yang menggunakan segala cara yang mengorbankan kehormatan Anas, keluarga, rakyat Banyuwangi dan Jatim, para ulama dan sesepuh”. Tampak, Anas juga berupaya menumbuhkan “rasa dizhalimi” ini pada hati rakyat dan ulama.
Strategi bolstering, juga digunakan Anas dengan menyampaikan pesan-pesan atas prestasi dan jasa dirinya selama menjabat Bupati Banyuwangi, seperti kemajuan pelayanan, penurunan kemiskinan, dan pendapatan per kapita yang meningkat pesat. Bolstering ini juga mencakup apresiasi Anas kepada partai dan rakyat Banyuwangi yang bersamanya berjuang untuk kemaslahatan bersama. Anas ternyata tidak menggunakan secara eksplisit strategi Denial. Anas tidak secara eksplisit mengatakan bahwa “itu bukan foto dirinya.” Terakhir, Anas juga tidak menggunakan strategi apologia, yakni meminta maaf kepada publik atas peristiwa yang terjadi.
Menjadi hal yang menarik ketika Anas lebih mengedepankan strategi victimize, tetapi, tidak ada upaya penolakan secara tegas. Memang, dengan memposisikan dirinya sebagai korban seakan-akan Anas menolak/membantah pria di foto itu dirinya. Tapi, menurut penulis, hal ini tidak cukup untuk bisa memuaskan rasa ingin tahu publik. Membaca siaran pers ini, publik akan makin men-judge bahwa memang benar Anas yang ada di foto itu. Judgment publik bahwa Anas bersalah makin tampak seiring pengunduran Anas. Tidak adanya pernyataan denial secara tegas bisa membuat strategi victimize yang disampaikan Anas hanya angin lalu. Strategi bolstering yang untuk mengingatkan publik atas prestasi dan jasanya selama ini pun bisa tidak berarti apa-apa.
Publik sekarang bersifat kritis, yang membutuhkan jawaban ya atau tidak, bukan sebuah ambiguitas. Ambiguitas ini makin dimunculkan ketika tidak adanya strategi apologia dalam siaran pers itu. Bagi masyarakat kita yang high context culture, tiadanya apologia makin menunjukkan betapa tinggi keyakinan Anas bahwa dia tidak bersalah. Tetapi, jika dia yakin tidak bersalah mestinya satu kata denial bukanlah hal yang memberatkan.
Ungkapan denial ini bisa dilengkapi dengan tes kebenaran atas foto yang beredar. Dengan kecanggihan teknologi, berbagai rekayasa foto bisa dibuat, tetapi, berbagai cara mengecek keaslian foto, termasuk identifikasi wajah juga makin gampang dilakukan. Sekali lagi, mengapa upaya membantah kebenaran foto itui tidak dilakukan? Mengapa ada victimize tapi kok tidak ada denial tegas? Sekali lagi, politik ambiguitas menjadi anomali demokrasi kita. (*)
**) Rachmat Kriyantono, PhD adalah Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Komunikasi, jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
azwar anas gus ipul pilkada pilkada jatim opini