Pecel Pincuk Pakde Karwo

josstoday.com

JOSSTODAY.COM - Mochtar W Oetomo

Pagi yang garing di tahun 1586. Pangeran Benowo bertamu ke Bumi Mataram, bermaksud curhat sekaligus mendapat dukungan dari sang kakak, Panembahan Senopati. Sembari nyruput secangkir teh dan menunggu hidangan besar datang, Pangeran Benowo Sang Adipati Jipang Putera Sultan Hadiwijaya memulai curahan hatinya. Tentang bagaimana bisa merebut kembali tahta Pajang yang telah dikuasi oleh iparnya Arya Pangiri sejak 1583. Tentang dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang siap berkorban demi terambilnya kembali tahta Pajang yang telah diserobot oleh suami Dewi Pambayun secara ilegal. Tentang berbagai kekuatan politik yang telah siap sedia dibelakangnya untuk menopang seluruh rencananya. Dan pamungkas, tentang harapan semua elemen dan kekuatan pendukungnya agar dia menghadap pada Panembahan Senopati untuk meminta saran, restu sekaligus dukungan nyata.

Ya ya ya. Selesai sudah seluruh curahan hati Pangeran Benowo. Belum sempat Panembahan Senopati menanggapi, hidangan besar datang. Waktunya sarapan bersama, menjamu tamu istimewa. "Silahkan dinikmati dulu Dinda Benowo. Di hutan Mentaok ini yang ada hanya sayuran dan daun pisang. Jadi maaf jika kami hanya bisa menjamu dengan sarapan Pecel Pincuk ini" ungkap Panembahan ramah, mempersilahkan tetamunya untuk menikmati hidangan dulu. Meski keluarga Raja, di tanah Jawa konon sangat lazim makan bersama keluarga dengan menu pecel.

"Jadi bagaimana tentang saran, restu dan dukungan Kanda atas apa yang semua telah Dinda sampaikan tadi?!" tanya Pangeran Benowo sembari melahap pecel pincuknya.

"Jawabnya ya yang sekarang di tangan Dinda. Pecel Pincuk" sambut Panembahan sambil tersenyum simpul. Pangeran Benowo tercenung sejenak sambil mengamati Pecel Pincuk di tangannya. Sebelum akhirnya mengangguk-angguk sambil berujar, "Terima kasih Kanda. Sepenuhnya Dinda setuju dan percaya pada Kanda. Sendika dawuh Kanda" sambut Pangeran Benowo sambil meletakkan Pecel Pincuknya, menghambur ke pangkuan Panembahan, sungkem dengan sikap tawadhu sedalam-dalamnya.

Nah nah nah. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Panembahan bahwa Pecel Pincuk adalah jawabnya? Dan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Pangeran Benowo sebagai paham, setuju dan percaya sepenuhnya? Apa sebenarnya yang ada di dalam fikiran Panembahan Senopati dan Pangeran Benowo sehingga pertemuan maha penting yang hasilnya ditunggu-tunggu oleh banyak kekuatan politik itu selesai hanya dengan jawaban Pecel Pincuk. Beginilah kira-kira.

Dalam sepincuk nasi pecel, kita menemukan kesederhanaan dan keragaman.  Meski pilar dasar dari pecel, yaitu sayur dan bumbu pecel, selalu ada, namun jenis sayur yang dipilih, sambal yang ditaburkan, hingga lauk dan kerupuknya, tak pernah sama. Setiap orang punya favorit pecelnya masing-masing. Dan perbedaan itu tidak jadi masalah. Justru percampuran dari berbagai elemen sayur dan bumbu itulah yang membuatnya menjadi nikmat dan sah untuk disebut sebagai pecel.

Namun apalah artinya adonan sayur dan bumbu yang telah menjadi pecel  jika tak ada wadahnya, tak ada pincuknya. Pincuk terbuat dari lembaran daun pisang, lembaran yang menyiratkan kita selalu memulai dengan lembaran baru. Daun pisang, daun yang sangat murah dan dapat diperoleh, seperti niat baik kita yang harus dengan murah dan mudah diproduksi dalam hati kita. Lembaran daun pisang itu kemudian dibentuk, ini seperti mengingatkanku bahwa niat baik kita juga harus dengan mudah dibentuk dan disesuaikan dengan situasi. Proses ketiga yaitu lembaran yang sudah dibentuk itu ditusuk dan dikunci dengan ‘biting’ atau lidi yang tajam, ini menggambarkan bahwa niat baik kita harus dimantabkan dengan usaha keras, pemikiran yang tajam, seksama, hati-hati, kepercayaan dan kerjasama.

Ya ya ya. Jika banyak teman wartawan bertanya ke Saya apa maknanya Pakde Karwo menyugugi Pecel Pincuk saat menyambut kedangan Khofifah di Partai Demokrat, Selasa 30 Januari 2018 lalu, maka sepertinya apa yang ada dalam fikiran Pakde Karwo tak beda jauh dengan apa yang ada di fikiran Panembahan Senopati. Berbagai elemen dan kekuatan pendukung Pangeran Benowo dan Khofifah sesungguhnya tak akan bermakna apa-apa jika tak berhasil diramu dalam satu menu strategi yang pas dan nikmat untuk dijalankan. Bergelimangnya klaim dukungan hanya akan menjadi retorika belaka jika tidak ada  kebersamaan, kekompakan dan kesatuan. Beragamnya kekuatan dukungan adalah sebuah keniscayaan, tapi tanpa bumbu yang pas berupa dana, visi, strategi dan momentum hanya akan menjadi sayuran hambar belaka. Dan kalaupun semua elemen dan kekuatan pendukung itu telah berhasil diramu menjadi adonan pecel yang lezat, dia tak akan bisa dinikmati jika tanpa wadah, tanpa pincuk.

Pesan Pakde ke Khofifah sesungguhnya adalah pesan Panembahan kepada Pangeran Benowo. Bahwa hanya Panembahan lah, bahwa hanya Pakde lah  faktanya yang mampu menjadi 'biting' pengikat pincuk yang mewadahi seluruh elemen dan kekuatan pendukung. Tanpa biting pengikat maka ambyarlah si pincuk dan tak bermaknalah semua elemen sayur dan bumbu, semua elemen dan kekuatan pendukung. Tanpa Panembahan Senopati dan segenap kekuatan perang Mataram, apalah arti semua dukungan yang sudah diperoleh Pangeran Benowo. Sama sekali tak sebanding dengan kekuatan Arya Pangiri dan balatentara Pajang. Sebagaimana, apalah artinya segenap elemen dan kekuatan pendukung Khofifah, jika tanpa Pakde dengan Demokrat dan segenap angkatan perangnya.

Bahkan sajian Pecel Pincuk Panembahan dan Pakde sesungguhnya adalah pesan bahwa faktanya hanya Panembahan atau Pakde lah yang mampu meramu semua elemen dan kekuatan dukungan menjadi semenu bernama Pecel, membumbuinya dengan bumbu yang pas dan sedap, serta mewadahinya dengan pincuk yang terikat kukuh oleh biting pribadi Panembahan atau Pakde, dan pada akhirnya menyajikan di hadapan para tamu untuk dilahap, di hadapan para pemilih untuk dipilih. Dan menang.

Ya ya ya. Maka dengan sigap Pangeran Benowo segera menyadari itu semua dan menghambur ke pangkuan Panembahan, dengan segenap harap atas dukungan faktual Panembahan melalui potensi pribadi dan kelembagaan Mataram. Pemahaman dan ketawadhuan yang pada akhirnya membawa keberhasilan Pangeran Benowo dalam merebut kembali tahta Pajang dari tangan Arya Pangiri.

Pertanyaannya adalah, apakah Khofifah memiliki pemahaman sebagaimana pemahaman Pangeran Benowo? Bahwa berbagai keragaman latar belakang  pendukung hendaknya bukan menjadi perbedaan yang memecah belah, sebaliknya harus diramu sebagai satu kekuatan dahsyat dan nikmat. Bagaimana kekuatan antar partai pengusung, relawan dan simpatisan saling mendukung dan melengkapi dengan bumbu dana, visi, motovasi dan strategi yang pas. Dan pengikat dari semua itu adalah biting pincuk Pakde  Karwo. Sebagaimana Pangeran Benowo sepenuhnya tawadhu, setuju dan percaya pada Panembahan Senopati, apakah demikian halnya Khofifah kepada Pakde Karwo ? Hanya Khofifah yang tahu. Jawaban pastinya adalah pada akhir perhitungan suara Pilgub Jatim 2018 kelak. Menang atau Kalah. Jreng jreng....

 

**Mochtar W Oetomo adalah dosen di Universitas Trunojoyo Madura dan Direktur Surabaya Survey Center (SSC).

 

 

 

Pilgub Jatim 2018 Mochtar W Oetomo Pakde Karwo