3 Model Politik Warga Muhammadiyah Jelang Pilkada  

josstoday.com

Dosen Studi Agama-Agama Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Sholihul Huda dalam Pengajian Fajar Mubarak Majelis Tabligh PDM Ngajuk, Ahad, (11/2)

 

JOSSTODAY.COM - Ideologi tajdid Muhammadiyah mengandung banyak nilai dan karakter yang dapat dijadikan prinsip berperilaku sosial, politik, berbudaya maupun beragama bagi warga Muhammadiyah. Hal itu disampaikan Dosen Studi Agama-Agama Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) Sholihul Huda dalam Pengajian Fajar Mubarak Majelis Tabligh PDM Ngajuk, Ahad, (11/2) di Halaman SMA Muhammadiyah 1 Nganjuk. 

Di hadapan 300 Jamaah, Anggota Majlis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur (Jatim) ini, menyampaikan cara menyikapi persoalan-persoalan yang sedang hangat di masyarakat. Seperti, jelang pelaksanan pilkada di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Jawa Timur dalam waktu dekat ini.

Menurtnya, ada tiga model sikap politik bagi warga Muhammadiyah menyikapi Pilkada. Pertama, sikap apatis - apolitik. Yaitu sikap politik yang menggangap Pilkada tidak penting bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah cukup mandiri, kuat dan besar dengan jaringang organisasi dan AUM yang ribuan.

“Mereka berpandangan, keberadaan muhammadiyah tanpa pemerintah sudah bisa hidup selama ini. Jadi siapapun pemimpinnya, tidak mempengaruhi posisi kemandirian AUM. Sehingga Pilkada tidak terlalu menarik dan penting,” terangnya.

Kedua, Muhammadiyah No - Warganya Yes Politik. Yaitu model sikap politik yang berpikiran Muhammadiyah secara organisasi haram berpolitik ptaktis dalam hal dukung mendukung calon dalam Pilkada. Karena Muhammadiyah adalah organisasi dakwah bukan organisasi politik partisan seperti parpol. “Tetapi bagi warganya bebas menentukan pilihan politiknya sesuai kecenderungan dan kedekatan masing-masing dengan para calon dalam pilkada, sebagai hak dari kebebasan berpendapat dan berserikat yang dijamin UU,” kata dia.

Ketiga, Muhammadiyah Politik. Yaitu model sikap politik yang berpikiran Muhammadiyah harus berani mengambil sikap politik secara tegas dalam Pilkada. Artinya Muhammadiyah harus berani menentukan pilihan kepada calon pemimpin dalam Pilkada sebagai ijtihad dan tanggung jawab moral di masyarakat. Sehingga dengan pilihan tersebut diharapkan mendapatkan pemimpin yang baik dan benar. 

“Biar Muhammadiyah tidak dipersalahkab apabila dalam proses pilkada menghasilkan pemimpin-pemimpin yang fasiq atau tuna sosial dan akhlaq. Hal ini sebagaimana tercantum dalam stempel Muhammadiyah: ‘Baldatun thoyibatun Warabbun ghafur’. Dan untuk mewujudkan cita-cita itu maka diperlukan sosok pemimpin yang baik sebagaimana dalam kaidah fiqih: ‘Tassharuf Al Imam 'Ala Ra'iyathi Manuthun bil maslahah’. Artinya, kebijakn seorang pemimpin harus berorientasi pada kemashlahatan rakyatnya. Sehingga menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk menentukan dan memberikan arahan secara jelas bagi warganya dalam mrnyikapi Pilkada,” urainya.

“Dalam semua pilihan sikap politik Muhammadiyah, pasti ada konsekwensinya. yang penting semua warga Muhammadiyah tetap menjaga ukhuwah dan perseduluran (persaudaraan) sosial dan spiritual di Muhammadiyah,” imbuhnya. (pr/mif)

pilkada 2018