Suku Bunga BI Kembali Naik Jadi 4,75%
Ilustrasi
JOSSTODAY.COM - Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan, Rabu (30/5) untuk mengantisipasi risiko eksternal terutama perkiraan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Federal Reserve pada 13 Juni 2018.
"Ini merupakan kebijakan pre-emptive (antisipatif), dan ahead of the curve (selangkah lebih maju) dan frontloading untuk merespons risiko dan tekanan eksternal," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam situs resmi BI, Rabu (30/5)
Kenaikan suku bunga acuan juga merupakan salah satu cara untuk menaikan nilai tukar rupiah.
Rapat Dewan Gubernur BI juga menetapkan suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 4,00 persen, dan suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen.
Bank Indonesia meyakini kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan cukup baik dan kuat. Tekanan terhadap stabilitas sejak awal Februari lebih karena tren kenaikan suku bunga AS dan meningkatnya ketidakpastian global akibat perubahan kebijakan AS dan sejumlah risiko geopolitik. "Tekanan terhadap stabilitas khususnya nilai tukar Rupiah lebih karena perubahan kebijakan di AS yang berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia," kata dia.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengkalibrasi perkembangan baik domestik maupun global untuk memanfaatkan masih adanya ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur.
Keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek Bank Indonesia yang memprioritaskan kebijakan moneter pada stabilitas khususnya untuk nilai tukar rupiah.
Pertama, respons kebijakan suku bunga akan tetap ditempuh secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, di samping tetap konsisten dengan upaya menjaga inflasi 2018-2019 agar terkendali sesuai sasaran 3,5±1 persen.
Kedua, intervensi ganda (dual intervention) di pasar valas dan di pasar surat berharga negara (SBN) terus dioptimalkan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, penyesuaian harga di pasar keuangan secara wajar, dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang.
Ketiga, strategi operasi moneter diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antarbank.
Keempat, komunikasi yang intensif khususnya kepada pelaku pasar, perbankan, dunia usaha, dan para ekonom untuk membentuk ekspektasi yang rasional sehingga dapat memitigasi kecenderungan nilai tukar rupiah yang terlalu melemah (overshooting) dibandingkan dengan level fundamentalnya.
Semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya inflasi di AS akan mendorong peningkatan suku bunga the Fed, yang oleh sebagian pelaku pasar keuangan diperkirakan dapat lebih agresif menjadi 4 kali kenaikan dalam tahun ini.
Kenaikan suku bunga yang lebih tinggi juga disebabkan oleh defisit fiskal pemerintah AS yang diperkirakan akan mencapai sekitar 4 persen dari PDB tahun ini dan 5 persen tahun 2019.
Kedua perubahan kebijakan AS tersebut telah memicu kenaikan yield US Treasury Bond dan penguatan mata uang dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Ketidakpastian global juga meningkat sehubungan dengan ketegangan hubungan dagang antara AS dan Tiongkok, serta beberapa ketegangan geopolitik regional. Berbagai faktor global tersebut telah memicu pembalikan modal asing (capital outflow) dan memberikan tekanan pada pasar keuangan di negara maju dan EMEs, termasuk Indonesia, baik penurunan harga saham, meningkatnya yield obligasi, maupun melemahnya nilai tukar terhadap dolar AS. (gus/b1)
Bank Indonesia