JK: Ketidakadilan Ekonomi dan Politik Bisa Picu Konflik Besar
Jusuf Kalla
JOSSTODAY.COM - Konflik besar yang pernah terjadi di tengah masyarakat Indonesia sebagian besar terjadi karena ketidakadilan ekonomi dan politik. Kedua hal ini membuat masyarakat merasa tertekan dan rawan menjadi pemicu konflik.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), menjelaskan, sepanjang Indonesia merdeka, sedikitnya telah terjadi 15 kali konflik besar. Dikategorikan konflik besar karena memakan korban lebih dari 1.000 orang.
"Di Indonesia selama kita merdeka ada 15 kali konflik besar, korbannya di atas 1.000 orang. Ada konflik Madiun (PKI), RMS, Permesta, Ambon, Poso, Kalimantan, Aceh, dan lain-lain. 10 dari 15 itu terjadi karena ketidakadilan politik dan ekonomi yang memberikan orang merasa tertekan," kata JK dalam Sarasehan Nasional "Merawat Perdamaian Belajar dari Resolusi Konflik dan Damai di Maluku dan Maluku Utara untuk Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur", di Jakarta, Selasa (10/7).
JK mencontohkan, dalam konflik Maluku banyak orang menyangka itu adalah konflik agama. Padahal, konflik tersebut berawal dari masalah ekonomi dan politik. Di sektor ekonomi, kehidupan masyarakat Maluku sangat tergantung dari selain perikanan adalah rempah-rempah. "Pada tahun 1992, terjadi sedikit penurunan harga cengkih. Harga pasar Rp 10.000 yang diterima oleh petani Rp 4.000 sehingga muncul kemiskinan dan itu berlangsung sekian tahun," ungkap JK yang sempat menjadi inisiator perdamaian konflik Maluku.
Di lain pihak, sebelumnya di Maluku juga ada banyak pendatang yang sebenarnya pekerja kasar. Tetapi karena rajin, sehingga terjadi lagi suatu keseimbangan baru. Jadi penurunan pendapatan harga cengkih, juga terjadi penurunan ekonomi karena pendatang. "Munculah reformasi 1998, maka pemerintahan menjadi bergeser karena timbul ketidakharmonisan. Terjadi ketidakseimbangan politik dan ekonomi. Maka tinggal pemicunya. Awal konflik berawal pada anak muda. Konflik akhirnya menjalar ke masalah agama," ucapnya.
Begitu juga di Aceh, bukan konflik agama, tapi masalah keadilan. Jika sudah menjalar ke masalah agama, maka yang akan sulit diredam adalah ketidaknetralan aparatur penegak hukum. Apalagi jika sudah disangkutpautkan dengan masalah surga dan neraka yang menjadi pembenaran saling serang.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, mengimbau kepada seluruh komponen masyarakat untuk dapat menjaga kondusivitas keamanan dan perdamaian negara.
Apalagi bangsa Indonesia akan menghadapi sejumlah event nasional, mulai dari perhelatan Sea Games, pertemuan IMF dan Word Bank, hingga pemilihan legislatif (Pileg) dan Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Seluruh perhelatan tersebut diharapkan dapat berjalan dengan baik agar tingkat kepercayaan dunia terhadap Indonesia terus meningkat. "Kita akan hadapi banyak event nasional. Tahun depan bahkan kita akan hadapi Pemilu 2019. Itu membutuhkan kondisi yang damai, yang aman. Kondisi itu membutuhkan persatuan dan kesatuan kita," kata Wiranto.
Menurut Wiranto, dalam perjalanan berdemokrasi, bangsa Indonesia sudah banyak melewati berbagai rintangan dan hambatan yang bermula dari konflik antarkelompok masyarakat. Namun semua itu dapat dijalani dan diselesaikan dengan baik. "Bagaimana kita bisa merawat perdamaian dan bagaimana kita atasi resolusi konflik seperti di Maluku. Kalau sekarang masih ada berbagai konflik, harus diselesaikan dengan baik. Tidak mungkin kita punya cita-cita tapi diupayakan dengan cara damai," ucapnya.
Dikatakan, saat ini bangsa Indonesia masih ada cukup banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Salah satunya yakni menuntaskan berbagai sengketa hasil Pilkada serentak 2018. "Kalau ada pilkada yang masih belum tuntas, kalau masih ada pihak yang kalah untuk terus lakukan upaya-upaya, itu ada mekanismenya, ada ruangnya. Ruang yang ada itu bertumpu pada hukum. Jangan membuat ruang lain yang mengacaukan. Kalau kesana berarti akan berhadapan dengan aparat keamanan," ujarnya. (fa/b1)
Ekonomi