KPK Mengaku Tak Berwenang Usut Dugaan Mahar Politik

Saut Situmorang.
JOSSTODAY.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tak berwenang mengusut dugaan mahar Sandiaga Uno untuk menjadi bakal calon Wakil Presiden (Cawapres) mendampingi Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Meski demikian, KPK bakal berkoordinasi dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait persoalan mahar politik.
"Mahar-mahar itu jelas bukan kewenangan KPK. Akan tetapi KPK melakukan koordinasi dengan KPU dan Bawaslu. Namun KPK tidak masuk pada isu jumlah nominal yang besar dan lainnya," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, saat dikonfirmasi lewat pesan singkat, Senin (13/8).
Dugaan mahar ini pertama kali dilontarkan Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief, yang menuding Sandiaga menyerahkan mahar masing-masing Rp 500 miliar kepada Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) agar diusung oleh kedua parpol tersebut dan Gerindra sebagai cawapres. Bahkan, Andi Arief menyebut Prabowo sebagai 'jenderal kardus' lantaran berubah sikap hanya karena uang.
Saut menyatakan, KPK baru dapat mengusut dugaan mahar dalam pemilihan umum bila sumber uang mahar itu terindikasi berasal dari hasil korupsi yang dilakukan penyelenggara negara. Menurut Saut, hal tersebut seperti yang terjadi dalam Pilkada Serentak 2018 lalu. KPK saat itu menangkap dan menjerat sejumlah calon kepala daerah yang kedapatan menerima suap untuk membiayai kontestasi politik mereka.
"Lain hal bila bantuan dana tersebut bersumber dari hasil korupsi sebagaimana terdapat pada kasus pilkada serentak yang belum lama ini," katanya.
Saut menegaskan, mahar kontestasi politik menjadi perhatian KPK. Bahkan, KPK melalui Kedeputian Pencegahan telah melakukan kajian di sektor politik. Dari kajian tersebut, KPK merekomendasikan sejumlah hal untuk perbaikan partai politik. Sejumlah rekomendasi itu antara lain tentang sumber dana, iuran anggota, tata kelola dan kaderisasi yang transparan di dalam partai politik.
"Hal itu lebih pada perlunya integritas partai politik dalam membangun peradaban baru politik elektoral di negara ini, dalam kaitan menurunkan potensi konflik ketika mereka terpilih," tuturnya.
Menurut Saut, korupsi sektor politik ini menjadi perhatian KPK karena mencerminkan upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, survei untuk menentukan indeks persepsi korupsi (IPK) salah satunya dikaitkan dengan pelaksanaan demokrasi atau Pemilu.
"Itu sebabnya mengapa indeks persepsi korupsi atau IPK itu dikaitkan dengan seperti apa Indonesia melaksanakan Pemilu," kata Saut. (gus/b1)
KPK