KPK Berwenang Cegah Kerugian Negara, termasuk di BUMN

Ilustrasi gedung KPK
JOSSTODAY.COM - Langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan bantuan informasi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan termasuk upaya tipu muslihat. Bahkan, surat yang diberikan KPK dapat menjadi alat bukti yang sah dan benar.
Demikian kesimpulan yang disampaikan oleh guru besar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy OS Hiariej dan mantan hakim agung Susanti Adi Nugroho yang diajukan sebagai saksi ahli oleh BUMN panas bumi, PT Geo Dipa Energi (Persero) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (20/8).
Dalam sidang sebelumnya, pihak Bumigas yang bersengketa dengan Geo Dipa menuding adanya tipu muslihat dalam keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan mempersoalkan surat yang dikeluarkan oleh KPK. Berkaitan dengan adanya surat KPK, Eddy menyatakan bahwa itu tidak memenuhi kategori adanya tipu muslihat, karena KPK mempunyai berbagai kewenangan yang sangat luas.
“Termasuk, melakukan pengawasan, pencegahan, dan penyelidikan, serta memberikan informasi yang diperlukan yang diajukan oleh BUMN, karena kegiatan BUMN ada dalam ranah pengawasan KPK,” katanya. Bahkan, secara hukum, surat KPK harus dianggap sah dan benar (asas het vermoeden van rechmatigheid), kecuali dapat dibuktikan sebaliknya melalui proses pengadilan yang berwenang, bukan PN Jakarta Selatan, dalam perkara ini.
“Singkatnya, adanya Surat KPK tidak dapat dikategorikan terdapat tipu muslihat,” kata Eddy. Terkait dengan surat KPK, bagi Eddy, selama itu dikeluarkan oleh institusi resmi dan dalam bentuk resmi, tidak mungkin dianggap tipu muslihat. Sebaliknya, surat itu memiliki nilai kekuatan sesuai dengan isinya.
Sementara, Susanti juga menyatakan tidak dapat dikatakan terdapat tipu muslihat apabila suatu pihak mengajukan dokumen pada masa sidang pembuktian di lembaga arbitrase, termasuk surat yang dikeluarkan oleh KPK. “Jadi, adanya surat KPK tidak dapat dikategorikan adanya tipu muslihat, apalagi oleh BUMN yang berada dalam ranah pengawasan KPK,” kata mantan Hakim Agung tersebut.
Susanti menjelaskan tentang kesakralan dari klausula arbitrase dalam suatu perjanjian. Ketika para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan perselisihan di antara keduanya melalui arbitrase, maka PN tidak boleh campur tangan untuk memeriksa sengketa tersebut.
“Apalagi, kalau perkaranya sudah pernah diperiksa dan diputus oleh lembaga arbitrase. UU Arbitrase tidak hanya melarang campur tangan pengadilan, tetapi juga menghilangkan hak para pihak untuk bawa perkaranya ke pengadilan,” kata dia.
Menurut Susanti, memang UU Arbitrase memungkinkan PN untuk memeriksa perkara pembatalan putusan arbitrase, tetapi hal itu diatur secara limitatif dalam Pasal 70 UU tentang Arbitrase dan tidak bisa dijadikan cantolan untuk pemeriksaan ulang sengketa di PN.
Dia menambahkan, PN juga tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili sendiri, apalagi atas sesuatu yang tidak pernah diminta sebelumnya. Seharusnya, pihak tersebut memintanya di proses arbitrase sebagai lembaga yang berwenang, bukan di PN.
Eddy juga menekankan pentingnya pemahaman terhadap masing-masing alasan yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Salah satu alasan pembatalan berdasarkan Pasal 70 adalah adanya dugaan tipu muslihat. “Tetapi, tipu muslihat itu harus dibuktikan juga, tidak bisa serta merta karena argumentasi ada dugaan tipu muslihat, lantas suatu putusan arbitrase dibatalkan begitu saja,” katanya.
Dari interpretasi perundang-undangan dan secara gramatikal, kata tipu muslihat itu harus diartikan terdapat keadaan palsu atau rekayasa sedemikian rupa yang dilakukan secara tidak sah atau melawan hukum. Oleh karena itu, untuk membuktikan adanya tipu muslihat, harus ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang membuktikan adanya tipu muslihat tersebut. (is/b1)
KPK