Pencegahan Perkawinan Anak di Era 4.0

josstoday.com

Nafizah aktivis Gerakan “Roemah Jamoer” perlindungan anak Madura, Jawa Timur.

JOSSTODAY. COM -  Oleh nafizah **) 

Kasus perkawinan anak terus terjadi dan tergolong tinggi di Indonesia. Data dari United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2018 menyebutkan angka perkawinan anak Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia, dimana satu dari sembilan perempuan yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun, dan terdapat 375 anak yang menikah setiap hari (UNICEF, 2016).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dengan tegas menolak perkawinan anak karena bukan merupakan kepentingan terbaik bagi anak. Tahun 2007, 228 orang meninggal per 100.000 persalinan dari perkawinan anak, dan mengalami peningkatan tahun 2012 menjadi 359 orang. Masyarakat perlu tahu resiko kehamilan dan persalinan dibalik perkawinan anak membahayakan nyawa diantaranya, keguguran, hypertensi, anemia, pendarahan bahkan sampai kematian ibu dan bayi saat melahirkan.

Berdasar hasil penelitian PSKK UGM dan Plan Indonesia tahun 2011 di 8 kabupaten Indonesia, ternyata faktor ekonomi bukan satu-satunya penyebab perkawinan anak. Salah satu faktor lain yang dominan adalah rendahnya pengetahuan fitrah seksualitas, kesehatan reproduksi dan rendahnya pendidikan orang tua.

Karena itulah, hingga saat ini, ada beberapa program edukasi yang telah dilakukan oleh beberapa kementerian untuk mencegah anak-anak dari perkawinan anak. Pertama, Program Pembekalan Pra-Nikah dan Modul bimbingan Calon Pengantin dari Kementerian Agama RI. Kedua, Program Wajib Belajar 12 Tahun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ketiga, Program Pembelajaran Keluarga oleh Kementerian PPPA. Keempat, Program Kesehatan Reproduksi Remaja dari Kementerian Kesehatan RI.

Namun sayangnya, program tersebut masih asing dan kurang populer dikalangan anak-anak dan remaja masa kini. Jika anak-anak dan remaja saat ini adalah “customer” utama dari pemerintah terkait program perlindungan dari perkawinan anak, maka pemerintah perlu memahami karakteristik generasi anak dan remaja masa kini.
Dalam esai berjudul "The Problem of Generation," sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. Berdasarkan teori itu, para sosiolog Amerika membagi manusia menjadi sejumlah generasi: Generasi Era Depresi, Generasi Perang Dunia II, Generasi Pasca-PD II, Generasi Baby Boomer I, Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y alias Milenial, lalu Generasi Z.

Generasi yang masih masuk kategori anak dan remaja di Indonesia adalah generasi Z. Sebagian di antara mereka masih sekolah, sebagian lainnya sudah bersiap lulus kuliah. Generasi Z lahir di masa-masa kelahiran internet, yang oleh para ahli disebut sebagai Era 4.0.

Menurut survei Nielsen, sebanyak 93 persen anak-anak dan 97 persen remaja menyatakan mereka mengakses internet melalui perangkat mobile seperti ponsel pintar atau tablet. Aktifitas yang paling banyak dilakukan oleh Gen Z dengan internet ini adalah berinteraksi melalui media sosial, menjelajah internet, menonton video atau film, dan mendengarkan musik. Karena itu, pemerintah perlu menjalankan program perlindungan atas perkawinan anak yang berhubungan dengan pemanfaatkan teknologi digital oleh anak dan remaja sekarang.

Dari aspek regulasi misalnya, pemerintah bisa memberlakukan gerakan pembatasan penggunaan gadget oleh anak direntang usia tertentu dan pada jam-jam tertentu. Orangtua juga dihimbau agar bisa mengawasi konten yang dikonsumsi oleh anak-anaknya.

Dari aspek pemanfaatan teknologi, pemerintah bisa menerapkan konsep sekolah online pernikahan dan kerumahtanggaan untuk remaja yang dikelola oleh stakeholder dan profesional terkait perkawinan anak. Tujuannya mempersiapkan para laki-laki dan perempuan yang telah memasuki masa aqil baligh agar memliki kematangan pemikiran dan wawasan pernikahan yang matang, serta membentuk keluarga-keluarga yang memiliki konsep,visi misi rumah tangga yang kokoh.

Dari aspek kebijakan strategis, pemerintah bisa menciptakan sistem IT yang mengintegrasikan program dari seluruh kementerian terkait perkawinan anak, mengingat selama ini program pencegahan perkawinan anak berjalan sendiri-sendiri dari kementrian yang berbeda dan tidak terintegrasi.

Bagaimanapun juga, perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dilawan, namun harus bisa dikendalikan dan dimanfaatkan dengan baik agar generasi anak dan remaja sekarang benar-benar menjadi bonus untuk Indonesia di masa depan, bukan malah menjadi beban.

**) Nafizah adalah penulis aktivis Gerakan “Rumah Jamoer” perlindungan anak Madura, Jawa Timur.

Aktivis gerakan rumah jamoer