Revisi UU Perkawinan Menunggu Penunjukan Presiden
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana S Yembise (kedua kiri) didampingi Gubernur Sulbar Ali Baal Masdar (tengah) dan Wakil Bupati Mamuju Irwan SP Pababari (kiri) mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak di Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (12/4).
JOSSTODAY.COM - Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny Rosalin, mengatakan, sampai saat ini belum ada penunjukan dari Presiden Jokowi kementerian mana yang akan menjadi wakil pemerintah untuk pembahasan revisi Undang-undang (UU) Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
"Kami masih menunggu Presiden menunjuk pihak mana, apakah Kementerian PPPA atau Kementerian Agama ataukah keduanya jadi wakil pemerintah. Ini masih berproses, kita menunggu saja, karena ini juga bertepatan dengan pemilu,” kata Lenny, Senin (11/3/2019).
Menurut Lenny, siapa pun yang ditunjuk, pemerintah sudah siap.
Lenny tidak bisa memastikan revisi batas usia menikah dilakukan sebelum atau sesudah pelaksanaan pemilu. Namun, ia berharap lebih cepat direvisi lebih baik. Mengingat selama belum ada revisi pasal 7 UU Perkawinan, maka perkawinan anak akan tetap berlangsung.
Kondisi Darurat
Menurut Lenny, perkawinan anak sudah dalam tahap darurat. Prevalensi perkawinan anak menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) sangat memprihatinkan. Angkanya terus meningkat dari 23% di 2015 menjadi 25,71% di 2017 secara nasional.
Artinya 1 dari 4 anak perempuan sudah menikah sebelum usianya capai 18 tahun. Secara absolut ada 340.000 anak perempuan menikah setiap tahunnya. Perkawinan anak terjadi di seluruh provinsi, dan 23 di antaranya menunjukkan tanda merah artinya angkanya di atas rata-rata angka nasional.
"Inilah alasan kita mengapa batas usia 16 tahun menurut UU Perkawinan harus segera diubah. Karena aturan inilah yang menjadi alasan bagi orang tua maupun keluarga untuk menikahkan anaknya yang masih usia anak,” kata Lenny.
Menurut Lenny, perkawinan anak adalah pelanggaran hak asasi manusia berat terhadap anak perempuan. Perkawinan anak hanya akan menghambat hak anak mengenyam wajib belajar 12 tahun. Menyebabkan gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan, serta menurunnya ekonomi karena munculnya pekerja anak dan upah rendah.
Terpisah, Ketua Komisi VIII DRP, Ali Taher, mendorong pemerintah untuk segera mengirimkan rumusan revisi batas usia menikah dengan mempertajam aspek-aspek filosofi, sosiologi, dan yuridis.
"Memang DPR sebagai pembuat UU diperintahkan untuk mengubah, tetapi yang mengusulkan rumusan revisi adalah pemerintah melalui Kementerian Agama, Kementerian PPPA, Kementerian Hukum dan HAM serta lembaga terkait. DPR hanya menunggu kapan pemerintah siap,” kata Ali.
Menurut Ali, jika pemerintah segera mengajukan rumusan revisi tersebut, maka kemungkinan revisi Pasal 7 UU Perkawinan disahkan pada sidang terakhir DPR periode ini. Sebab, Komisi VIII sendiri memandang pentingnya menaikkan batas usia menikah dari 16 tahun menjadi di atas 18 tahun, atau bahkan di atas 20 tahun.
Perkawinan anak menimbulkan banyak persoalan, karena secara fisik, mental, dan ekonomi, belum matang untuk menjalani biduk rumah tangga. Perkawinan anak hanya akan melahirkan kemiskinan baru. (ba/b1)
RUU perkawinan anak stop perkawinan anak