Hentikan Ego Sektoral dan Konflik Internal di KPK

josstoday.com

Ilustrasi

JOSSTODAY.COM - Konflik internal dan kuatnya ego sektoral di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dihentikan. Jika tidak, KPK akan terancam dan akhirnya bisa menghambat kinerja dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Hal itu terungkap dalam diskusi yang bertajuk "Penyidik Independen: Awal Gesekan KPK vs Polri dan Kejaksaan?" yang digelar Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka) di Jakarta Selatan, Senin (6/5/2019) sore.

Dalam diskusi juga mencuat soal konflik internal KPK yang juga dipicu adanya kontroversi pengangkatan penyidik independen oleh pimpinan KPK.

Direktur Center Budget of Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi yang menjadi salah satu pembicara di diskusi itu menilai, gejolak di KPK disebabkan adanya ego kelembagaan dan ego sektoral.

“Dari dulu itu problem kita, ego kelembagaan dan ego sektoral selalu ada. Itu yang menjadi gesekan-gesekan internal," ujar Uchok.

Dia memprediksi, jika gesekan terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin bisa mengganggu kinerja KPK.

"Seperti penangkapan di daerah, ngapain nangkapin (pelaku korupsi) di daerah, kalau pengembalian uang negara tanpa ada timbal balik untuk apa? Itu pasti rugi,” ujar Uchok.

Apalagi, kata dia, uang penanganan di KPK mencapai Rp 100 juta per kasus.

Uchok mengakui, gesekan-gesekan yang ada bukan tak bisa diredam di internal KPK. KPK, menurutnya, masih bisa menyelesaikan persoalan yang tentunya dengan melibatkan lembaga yang selama ini berpihak di dalamnya seperti Polri dan Kejaksaan.

"Seharusnya ego ini bisa diredam dengan diskusi internal, tapi kadang-kadang yang saya takutin ego ini muncul dari misi penugasan masing-masing lembaga ini," ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Nasional Umar Husain meminta masyarakat untuk mendukung pemberantasan korupsi oleh semua lembaga manapun, baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan. Namun, dalam melakukan tugasnya dalam pemberantasan korupsi semua lembaga perlu diawasi agak tidak melampaui kewenangannya.

Makanya, Umar mengusulkan agar KPK yang saat ini menjadi tumpuan pemberantasan korupsi bisa memiliki lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja mereka.

"Semua lembaga perlu ceck and balance, karena orang cenderung tidak ada batasan dalam melakukan fungsi dan tugasnya. Bukan diartikan untuk melemahkan namun agar KPK selalu berada di dalam koridor," kata Umar.

Saat ini KPK memang ada komite etik di KPK, namun itu masih bersifat ad hoc. Lembaga pengawas itu bisa diisi oleh tokoh yang dipercaya masyarakat. "Semua harus diawasi dan tidak boleh ada lembaga yang tanpa Pengawasan," ujarnya.

Pembicara lain, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar cenderung melihat gesekan itu akibat perspektif sosilogis di lembaga penegak hukum itu. Ini mengingatkan, KPK sudah berganti-ganti generasi sejak didirikan pascareformasi 20 tahun lalu.

"Perspektifnya sosiologis seolah penyidik sekarang lebih baik. Padahal, itu ego, seolah tidak ada," ujar Fickar.

Ia menambahkan, gesekan di internal KPK bukan kali pertama terjadi. Apalagi, ada dua lembaga penegak hukum lainnya yang ikut masuk di dalamnya sejak lembaga anti rasuah itu didirikan.

"Kejaksaan sebelum ada KPK selalu ribut dengan polisi, soal penanganan korupsi kemudian macet, maka munculah KPK dan MK. Sekarang pun demikian," ujarnya. (is/b1)

KPK