Iuran JKN Kemungkinan Naik Lagi, Besarannya Masih Dikaji

josstoday.com

JOSSTODAY.COM   Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mengisyaratkan akan ada penyesuaian iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di tahun 2021. Hal ini mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) 64 tahun 2020 yang mengamanatkan kementerian/lembaga melakukan peninjauan ulang atas manfaat JKN agar berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan rawat inap kelas standar paling lambat Desember 2020. Penentuan kelas standar ini tentu mempengaruhi besaran iuran JKN, sehingga perlu dihitung ulang.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Selasa (24/11/2020), Menkes mengatakan, besaran iuran ditetapkan sesuai hitungan akturia dengan mempertimbangkan berbagai hal, seperti pemenuhan KDK, rawat inap kelas standar, kemampuan membayar dari peserta, inflasi kesehatan, dan perbaikan tata kelola JKN. Untuk menetapkan besaran iuran tersebut, saat ini masih dalam tahap awal membuat pemodelan dengan menggunakan data cost (biaya) dan data utilisasi dari BPJS Kesehatan serta mempertimbangkan proyeksi maupun asumsi berbagai kebijakan.

Dihubungi terpisah Rabu (25/11/2020), Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Paulus Agung Pambudhi mengatakan, sampai saat ini belum disepakati besaran iuran yang sesuai dengan kelas standar. Ada beberapa opsi besaran iuran yang masih terus dikaji. Opsi ini selanjutnya dikonsultasikan dengan pemangku kepentingan, seperti pemberi kerja dan pekerja. “Soal apakah naik, turun atau tetap sama seperti sekarang, itu akan ditentukan kemudian setelah hasil konsultasi itu. Diharapkan dua atau tiga minggu ke depan sudah harus ada gambaran,” kata Paulus.

Yang jelas, menurut Paulus, besaran iuran peserta sangat tergantung pada jenis manfaat atau layanan yang didapatkan peserta. Jadi, dalam penyusunan KDK ada penyesuaian manfaat yang diterima peserta JKN. Dari manfaat ini dihitung berapa biayanya, baru didistribusikan dalam nominal iuran yang harus dibayar peserta setiap bulan.

Menurut Paulus, penyusunan KDK untuk penerapan kelas standar rawat inap bagi peserta JKN tengah dipersiapkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemkes). Termasuk menyiapkan infrastruktur rumah sakit untuk menyesuaikan dengan layanan kelas standar tersebut. Layanan kelas standar dalam JKN menurut peraturan adalah satu kelas. Artinya tidak ada lagi kelas I, II, dan III seperti sekarang.

Namun untuk tahap awal, kelas standar ini diarahkan ke dua kelas, yaitu kelas PBI dan non-PBI. Non-PBI adalah peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) atau peserta mandiri, pekerja penerima upah (PPU) swasta maupun pemerintah. Dua kelas ini terapkan sambil mengevaluasi progresnya. Jika dari evaluasi ternyata model kelas PBI dan Non PBI dianggap tepat, maka akan dilanjutkan. Jika tidak tepat, maka dipastikan menjadi satu kelas saja. “Tetapi ini masih jauh sekali. Kita baru melangkah ke sana ketika sudah dilakukan ujicoba, dan monitoring evaluasi untuk kelas standar PBI dan non PBI,” kata Paulus.

Diketahui, besaran iuran khusus peserta mandiri saat ini sebesar Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 kelas II, dan Rp 42.000 kelas III. Besaran iuran ini mulai diterapkan 1 Juli 2020. Yang jadi perbincangan saat ini, jika nanti diterapkan kelas standar atau satu kelas, maka berapa nominal iuran yang harus dibayar peserta tiap bulan.

Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, penyesuaian iuran bukan selalu berarti ada kenaikkan. Dengan menerapkan kelas standar, maka sudah pasti nominal iuran yang harus dibayar peserta adalah satu. Tetapi tidak mungkin nominal iurannya di bawah Rp 42.000 atau lebih dari Rp 150.000. Yang lebih mungkin adalah dicampur, artinya di antara Rp 42.000 sampai Rp 100.000. Dalam hal ini, menurut Timboel, yang diuntungkan kemungkinan hanya kelas II dan kelas I. Sementara kelas III yang saat ini membayar iuran Rp 42.000 akan merasa berat, walaupun dari iuran tersebut peserta hanya membayar Rp 25.500 sedangkan sisanya Rp 16.500 dibayar oleh pemerintah. “Kalau besaran iuran dikocok ulang, kemungkinan kelas I dan kelas II mungkin merasa lebih rendah bayar, tetapi kelas III merasa lebih tinggi bayarnya. Karena tidak mungkin kan di bawah Rp 42.000,” kata Timboel, Rabu.

Menurut Timboel, jika memang nanti besaran iuran untuk seluruh peserta di atas Rp 42.000, maka perlu dilakukan langkah mitigasi untuk segmen kelas III. Karena banyak dari kelompok ini yang kurang mampu, tetapi belum semua dijamin sebagai PBI karena terbatasnya kuota. Oleh karena itu, cleansing data PBI harus betul-betul dioptimalkan, sehingga yang mampu dikeluarkan, dan yang tidak mampu masuk menjadi peserta. Selain itu, kuota PBI harus ditambah, karena banyak keluarga terdampak pandemi Covid-19. Orang miskin baru bertambah, sementara kuota PBI masih tetap sama. “Kami dorong supaya di APBN-P, jumlah PBI yang 96,8 juta jiwa itu ditambah,” kata Timboel.

Timboel menjelaskan, kemungkinan nominal iuran untuk kelas standar nanti tidak akan di bawah Rp 42.000. Alasannya, karena iuran paling minim dari peserta JKN adalah Rp 42.000, naik dari sebelumnya Rp 25.500. Jika diturunkan lagi maka akan berpengaruh terhadap penerimaan iuran BPJS Kesehatan. Berpotensi defisit jika iuran diturunkan. Alasan kedua mengapa antara Rp 42.000 sampai Rp 100.000 karena dihitung berdasarkan kombinasi jumlah pesertanya. Jumlah kelas III sekitar Rp 20 juta orang, kelas II kira kira 5 juta orang, dan kelas I sekitar 3 juta orang. Jumlah peserta terbanyak adalah kelas II dan kelas III, sehingga kemungkinan nominal iurannya di antara segmen ini. (is/b1)

BPJS JKN Jaminan Kesehatan Nasional Iuran JKN Naik