Bawaslu Sampaikan 7 Isu Krusial Pemilu 2024
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kiri), Anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin (kedua kiri), Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar (kedua kanan) dan Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja memberikan keterangan pers membahas Rekomendasi Bawaslu terkait Antisipasi Dampak Virus Covid -19 terhadap penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020 di kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2020. (Foto: Suara Pembaruan / Ruht Semiono)
JOSSTODAY.COM - Komisioner Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan ada sejumlah isu krusial yang perlu diperhatikan demi memastikan sukses dan lebih baiknya penyelenggaraan Pemilu serta Pilkada Serentak 2024.
Hal itu disampaikannya dalam webinar bertajuk Sukses Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 di Tengah Pandemi Covid-19, yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Selasa (28/9/2021).
Yang pertama adalah soal pembentukan badan ad hoc pengawasan, di mana ada batasan usia tertentu (25 tahun). "Ini yang menyulitkan penjaringan petugas," imbuh Bagja.
Kedua, pemutakhiran data pemilih yang terkait validitas dan keterbukaan akses data pemilih.
Ketiga, di proses pendaftaran dan verifikasi partai politik, yakni dalam penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dan masih perlunya KPU membuka ruang pemeriksaan secara manual.
"Di dalam UU tak ada aturan dan tak diwajibkan. Tapi apakah dalam pelaksanaan, boleh mewajibkannya? Masalah itu terjadi di awal tahun 2019 saat pendaftaran peserta pemilu 2019," bebernya.
Keempat, terkait pencalonan calon mantan terpidana korupsi di mana perlu penegasan regulasi dan antisipasi persepsi publik. "Apakah perlu melihat kembali untuk memastikan tujuan pemilu untuk menciptakan pemimpin antikorupsi?' ujar Bagja.
Kelima, sisi logistik, di mana pihaknya menilai perlu ada pemberian akses ke Bawaslu dalam perencanaan pengadaan dan pendistribusian logistik. Pengalaman pemilu sebelumnya, akses ini menjadi polemik dalam hal teknis.
Isu lainnya adalah desain sistem penegakan hukum pemilu dan pilkada, di mana sistem saat ini sangat rumit, berlapis, dan saling mengunci, sehingga sering menghasilkan bottleneck. Kerap penegak hukum berhenti, namun yang disalahkan hanyalah Bawaslu.
Lalu ada dominasi pendekatan sanksi pidana. Bahwa sanksi pidana yang pada dasarnya ultimum remedium justru diposisikan sebagai alat utama mengancam pihak yang melanggar, bahkan termasuk untuk penyelenggara pemilu.
"Ultimum remedium itu sebenarnya artinya upaya hukum terakhir. Akhirnya penyelenggara kan memiliki ketakutan sendiri sehingga kerap serba salah untuk bertindak," ulasnya.
Ketujuh adalah isu krusial kewenangan seperti batas waktu penanganan pelanggaran pemilu yang 7 plus 7 hari kerja. Sementara untuk pilkada hanya 3 plus 2 hari kalender. Sehingga disparitasnya jauh. Begitupun soal hukum acara dan persidangan. Dalam pemilu, ada aturan soal objek dugaan pelanggaran administrasi TSM, sementara di turan pilkada itu hanya terkait perilaku seperti politik uang.
"Jadi penting diperjelas apakah nanti disamakan antara pemilu dan pilkada," pungkasnya. (fa/b1)
Bawaslu Pemilu 2024 KPU