Rindu dan Lupa Ramadhan
Ilustrasi.
JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)
Kita sebagai umat muslim tentu selalu merindukan bulan Ramadhan. Bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Rindu yang mendalam, bahkan selalu kita rasakan ketika memasuki Bulan Sya’ban. Puncaknya, kerinduan itu kita tumpahkan ketika malam-malam pertama Ramadhan. Hampir semua mushola dan masjid penuh sesak. Itulah potret kerinduan mendalam pada Ramadhan.
Kerinduan Ramadhan ternyata tidak tunggal soal ibadah ilahiah. Kerinduan-kerinduan itu juga mengalami perkembangan dan komodifikasi. Ternyata kita juga rindu pada aktifitas-aktifitas sosial dan ekonomi Ramadhan dan ini kerinduannya relatif lebih awet. Lihat saja sepanjang bulan Ramadhan, konsumsi umat muslim malah meningkat.
Ini adalah gejala kehidupan yang konsumtif, bahkan telah menuju apa yang disebut konsumerisme. Berlebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman di luar keseharian di luar Ramadhan.
Padahal jamak kita memahami, ibadah Ramadhan adalah latihan menahan diri dari godaan dan kuasa nafsu, baik jasmaniah maupun rohaniah dalam berbagai bentuknya. Hal ini ditujukan agar kita menuju sebuah ultimate goal dari puasa yang menahan diri itu, yakni ketakwaan. Takwa adalah keberanian diri untuk menjauhi laranganNya dan melakukan perintahNya.
Tapi kerinduan kita tentang konsumerisme Ramadhan memang tidak bisa hilang begitu saja. Konsumsi makanan dan minuman cenderung meningkat. Bayangkan, hampir semua mushola, masjid, lingkungan tetangga, kantor, perusahaan, bahkan pusat-pusat perbelanjaan dan mall menyediakan takjil dan iftar untuk berbuka puasa. Tentu ini tidak salah dan harus diapresiasi karena Ramadhan menjadi bulan berbagi.
Apalagi ada ajaran yang menyatakan bahwa 'orang yang menyediakan makanan berbuka (dan sahur) mendapatkan pahala yang sama dengan mereka yang berpuasa'. Tidak heran jika banyak kalangan masyarakat dengan rezeki berlebih menyediakan makanan takjil, iftar, dan sahur.
Rasanya juga meningkatnya konsumsi tidak hanya di sektor makanan dan minuman. Lihat saja di pertengahan dan akhir Ramadhan, khususnya menjelang Idul Fitri, terjadi peningkatan kunjungan di pasar-pasar, pusat perbelanjaan, mall, dan pusat-pusat keramaian lainnya.
Konsumsi sandang meningkat sejak dari berbagai macam pakaian, baju koko, busana muslimah sampai sarung, mukena, peci dan seterusnya. Ada tradisi lebaran dengan menggunakan pakaian baru yang tertanam kuat dalam masyarakat kita. Tradisi ini, diakui atau tidak, adalah sumber konsumerisme juga. Tapi tentu ini tidak lepas dari upaya memaknai Idul Fitri yang kembali suci bersih. Nah, boleh jadi baju baru itu kan identik (masih) bersih.
Konsumerisme di Ramadhan belum berhenti di situ. Lihat juga fenomena arus mudik lebaran. Banyak orang mengorbankan uang, tenaga, waktu, bahkan fisik hanya untuk bisa mudik lebaran. Hanya untuk urusan pulang ke kampung halaman, kembali ke akar!. Tidak jarang mereka nekat dengan motor melaju ke kampung halaman yang jaraknya ratusan kilometer.
Kementrian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik tahun ini mencapai angka 19 juta orang atau meningkat 4,85% dibanding tahun lalu. Bayangkan perputaran uang di situ. Bank Indonesia mengungkapkan peredaran uang tunai pada bulan suci Ramadan 2017 diprediksi melonjak hingga 14 persen. BI mempersiapkan tambahan Rp167 triliun untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan uang tunai selama Ramadan, termasuk saat perayaan lebaran tahun ini.
Pada akhirnya di dalam Ramadhan pun berlaku hukum ekonomi. Semakin banyak permintaan pasar di saat pasokan terbatas, maka meningkatlah harga-harga.
Apalagi di tengah kondisi perekonomian negeri ini yang belum pulih benar dari tekanan harga kebutuhan pokok yang melonjak, turunnya daya beli masyarakat, dan di sisi yang lain semakin melebarnya jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Lalu, berkah Ramadhan seperti apa yang bisa kita harapkan dengan situasi seperti ini?
Bagaimanapun perilaku konsumtif dan konsumerisme identik dan dekat dengan hawa nafsu belaka. Hal ini tidak sejalan dengan ajaran pengendalian diri yang ditekankan dalam ibadah puasa dan banyak ibadah lain. Dalam Islam diajarkan tentang kesederhanaan. Berlebihan itu identik dan dekat dengan kesia-siaan. Kata kunci yang harus dikuatkan adalah pengendalian konsumsi sepanjang Ramadhan dan pascapuasa nanti, khususnya saat lebaran.
Meskipun demikian, bukan berarti mengendalikan diri tidak harus diikuti dengan menihilkan perilaku saling berbagi. Berbagi juga ajaran Islam yang tidak kalah luhurnya. Berbagi tentu sesuai dengan tuntunan Islam dengan prinsip kederhanaan dan keistiqomahan. Dengan sikap ini, Ramadhan yang kita rindukan tentu akan lebih bernilai dan bermakna. Ramadhan yang kita rindukan adalah sekaligus Ramadhan yang kita cintai dan sayangi.
Tentu, kita berharap perilaku konsumerisme jangan sampai mengalahkan kerinduan kita pada Ramadhan.
Jangan sampai pula kita merindukan sekaligus melupakan Ramadhan. Dalam lisan kita merindukan, namun dalam hati kita sebenarnya melupakan karena terjebak oleh konsumerisme selama Ramadhan.
Mari di hari-hari terakhir Ramadhan kita kuatkan lagi kerinduan kita seperti sebelum dan di awal-awal Ramadhan kemarin. Mari kita daya gunakan energi yang tersisa untuk mengisi hari-hari akhir bulan suci ini dengan kepasrahan dan ketertundukan kita di hadapan ilahi.
Rasanya dengan cara itu kita membuktikan cinta dan kerinduan kita pada Ramadhan, bukan malah melupakannya. InsyaAllah. (*)
**) Rully Anwar adalah Pemimpin Redaksi Josstoday.com dan Bumntoday.com
today review rully anwar