Mudik Kembali Ke Akar
Ilustrasi.
JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)
Setiap lebaran tiba, setiap kali itu pula sebuah kerinduan menyapa. Sebuah kerinduan akan hakekat kehidupan kita sebagai seorang manusia. Apa hakekat kehidupan itu tergantung hidup itu dimaknai sebagai apa. Bagi seorang muslim, hidup adalah sebuah persinggahan. Sejauhmana kita memaknai persinggahan tersebut, pilihannya antara memaknainya dengan mendekati Allah atau justru malah menjauhinya.
Persinggahan dunia itulah sebuah realitas kesadaran yang jamak dipahami oleh kita yang kemudian memandang dunia sebagai fana, sementara, dan tidak menjanjikan apa-apa. Kita membutuhkan sebuah kepastian untuk meneguhkan jalannya kehidupan ini. Kepastian itu didapatkan dari sebuah keyakinan. Keyakinan bahwa ada kehidupan yang kekal setelah dunia. Proses kehidupan di dunia itu pun sangat sederhana, lahir, hidup, dan mati. Kelahiran adalah akar, jejak awal kita di dunia. Manusia selalu tidak akan bisa lepas dari akarnya. Disinilah kemudian tradisi mudik menemui relevansinya.
Antropolog Pater Dr Gregorius Neonbasu berpendapat, makna mudik bagi umat muslim adalah sesuatu yang luhur dan terpuji. Dalam perspektif antropologi sosial, tradisi mudik mengingatkan manusia untuk kembali ke akar kehidupanya. Antropolog ini memandang secara budaya mudik adalah gerakan kembali ke kampung halaman dan itu merupakan sesuatu yang luhur dan terpuji, karena setiap orang diingatkan untuk kembali ke akar kehidupanya yang sangat hakiki.
Dalam perspektif budaya, mudik adalah sebuah tren untuk mengingatkan orang akan dasar kehidupan setiap manusia pada keluarga, orang dekat, leluhur dan tanah kelahiran atau tanah asal. Pekerjaan yang serba menyenangkan di kota selalu tidak menjadi alasan bagi warga untuk kembali ke kampung asal dan tempat dari mana mereka memperoleh inspirasi untuk menyusun strategi hidup baru. Dalam kacamata antropologi, mudik juga berkaitan dengan tata kehidupan manusia bahwa seusai sebuah perjuangan, dalam hal ini selama puasa Bulan Ramadhan, warga berduyun-duyun pergi ke tempat asal untuk merayakan pesta kemenangan bersama keluarganya. Jadi gerakan kembali ke akar atau tempat asal merupakan sebuah tren antropologis untuk pergi berjumpa dengan sumber kehidupan yang selama ini menopang kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat luas.
Dalam konteks psikologi sosial, dalam diri kita sebagai manusia selalu ada dalam hati untuk pergi dari keramaian agar bisa berjumpa dengan akar kehidupan yakni keluarga dan leluhur. Ya, keluarga menjadi kata kunci untuk kita merajut kembali akar-akar kita yang sepanjang satu tahun terakhir terkadang mengendur, bahkan melemah. Mudik adalah upaya untuk menguatkan kembali keakaran kita sebagai sosok manusia yang kembali ke fitrah. Bagaimanapun mudik adalah bagian dari menuju fitrah tersebut.
Itulah mengapa kita tidak perlu heran jika kemudian di setiap momentum Ramadhan, perbincangan kita tidak lepas dari urusan mudik, terutama di hari-hari terakhir Ramadhan. Orang rela jauh-jauh hari berburu tiket untuk memastikan diri dia bisa kembali ke akar, sesuatu yang mereka butuhkan setelah setahun, bahkan mungkin lebih, jauh dari akarnya. Bagaimanapun kampung halaman, rumah orang tua, dan keluarga besar itu ibarat satelit yang mengorbitkan energi kehidupan bagi kita.
Tidak berhenti di situ, kita terkadang juga harus banyak berkorban hanya untuk urusan kembali ke akar ini. Pulang ke leluhur, pulang ke jati diri kita diri. Pengorbanan harta, waktu, bahkan tenaga tidak akan kita hitung-hitung selama untuk kepentingan menemukan kembali akar kita tersebut. Tidak heran jika kemudian dari tahun ke tahun angka pemudik relatif meningkat. Hal ini tidak lepas juga sebagai gambaran mulai meningkatnya kesadaran kita sebagai akan kebutuhan energi akar ini bagi kehidupan selanjutnya.
Tentu harus diakui fenomena mudik ini adalah khas dari Indonesia, negeri dengan mayoritas muslim dan terbesar di dunia. Lebaran tidak saja soal ritual keagamaan, namun juga ritual sosial budaya yang melibatkan tidak saja umat muslim, namun juga nonmuslim. Boleh jadi di sinilah hakekat Islam sebagai agama yang rahmat bagi seluruh alam.
Jadi memaknai mudik jangan sekadar persoalan ekonomi semata dengan berapa banyak uang yang beredar dan berapa banyak distribusi ekonomi relatif menyebar ke pelosok-pelosok. Namun mudik juga harus dimaknai sebagai hakekat kehidupan yang kadang terlupakan.
Manusia lahir, hidup, dan tentu akan meninggalkan dunia fana ini. Namun, dalam proses hidupnya, manusia membutuhkan ‘pulang’ untuk kembali menguatkan diamana dia dilahirkan. Karena lahir adalah proses awal dirinya mengenal dunia ini. Sebelum dirinya benar-benar pulang ke tempat asalnya yang kekal.
Selamat mudik lebaran, Selamat kembali ke akar! (*)
**) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Josstoday.com dan Bumntoday.com
today review rully anwar