Ada Politik di Balik Beras

josstoday.com

Ilustrasi

JOSSTODAY.COM - Di tengah isu publik terkait RUU Pemilu, tiba-tiba publik disuguhi kasus penggerebekan sebuah gudang beras yang dianggap melakukan pelanggaran. Produsen beras tersebut dituduh melakukan kecurangan. Sang produsen dianggap menetapkan harga jual beras jauh melampaui yang ditetapkan pemerintah. Apalagi ditengarahi beras yang dijual adalah jenis rastra atau raskin yang disubsidi oleh pemerintah.

Penggerebekan ini sebenarnya biasa, namun menjadi luar biasa karena diikuti langsung oleh Kapolri dan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tidak itu saja, sejumlah alasan penggerebekan itu malah ditopang dengan argumentasi yang gampang dipatahkan publik. Seperti upaya produsen membeli beras dari petani dengan harga lebih tinggi, sampai merugikan negara dengan angka ratusan triliun, padahal omzet dari sang produsen hanya puluhan triliun. Tidak heran kemudian penggerebekan ini ramai di lini masa dan perbincangan publik. Ombudsman RI menilai penggerebekan pabrik beras ini melanggar prosedur. Jika ada indikasi harga beras di atas harga acuan, yang dilakukan semestinya operasi pasar. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Pangan, bukan malah dengan penggerebekan.

Menurut Ombudman ada tiga kejanggalan dalam penggerebekan pabrik beras ini. Pertama, prosedur yang tidak sesuai. Jika terkait kandungan tidak sesuai isi dalam beras, ini menjadi kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Kedua, jika soal harga jual, mestinya KPPU memeriksa soal harga tinggi tersebut. Kejanggalan ketiga adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 41 Tahun 2107 yang diresmikan pasca-penggerebekan itu. Dengan menetapkan harga seperti itu, seolah-olah pemerintah bisa mengendalikan harga. Padahal ada kemungkinan harga mahal karena pasokan beras kurang. Begitu tiga hal yang dikemukakan oleh Ombudmans.

Apa yang bisa kita lihat dari kasus ini? Ya tentu beras semakin menjadi perbincangan. Sejumlah informasi malah menyebutkan produk dari pabrik yang digerebek polisi ini justru meningkat penjualannya pascapenggerebekan. Ada semacam perlawanan dari publik tentang logika yang dibangun dari satgas yang melakukan penggerebekan tersebut. Namun, isu penting yang tidak terlupakan adalah soal subsidi. Negara wajib melindungi warganya agar subsidi yang diberikan negara di sektor pangan seperti beras ini tepat sasaran.Bagaimanapun subsidi dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyat. Untuk petani, negara membantu subsidi pupuk dan bibit untuk menekan biaya produksi. agar beban biaya tidak terlalu memberatkan.

Di era Orde Baru, negara melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) menyubsidi hasil produksi pertanian. Kehadiran Bulog untuk menyelamatkan petani ketika produksi melimpah dan harga jatuh, Bulog lah yang membeli gabah petani dengan harga dasar. Namun, di era reformasi, Bulog tidak lagi menjalankan peran tersebut. Negara menggantinya dengan memberi beras untuk masyarakat miskin (raskin). Padi jenis IR 64 disebut oleh Menteri Pertanian sebagai raskin yang kemudian menjadi alat menjerat produsen beras yang digerebek karena menggunakan jenis beras ini untuk produksinya.

Rasanya bukan hal baru jika kemudian beras menjadi instrumen politik. Dalam setiap kontestasi politik, baik pilkada maupun pemilu, seringkali kita dihadapkan pada kebutuhan pangan sebagai isu. “Harga sembako akan turun”, begitu kira-kira yang sering kita dengar. Bagaimanapun pangan menjadi posisi terpenting kebutuhan manusia. Tidak heran jika kemudian beras menjadi alat politik di setiap momentum politik. Lihat saja dalam iklan-iklan kampanye partai politik, beras menjadi bahan kampanye untuk memengaruhi pemilih. Iklan Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera yang mengklaim kadernya berhasil meningkatkan produksi beras hingga mencapai swasembada pada 2008, misalnya, menjadi contoh beras menjadi alat politik tersendiri.

Namun, semestinya lebih dari itu. Beras tidak hanya bisa menjadi wacana politik. Beras adalah simbol pangan kita. Bagaimanapun isu pangan mesti menjadi bahan perjuangan politik. Bagaimana tidak, relasi pangan dan politik berpijak pada pemahaman bahwa seluruh kehidupan manusia ini ujungnya ditopang oleh perburuan makanan. Karena itu, pangan menjadi kebutuhan permanen yang tidak pernah hilang. Kecukupan pangan menjadi sebuah keniscayaan. Untuk menjamin hal tersebut diperlukan kemauan politik dari pemerintah untuk mencukupi dan mengamankan kebutuhan pangan warganya.

Semoga kasus penggerebekan pabrik beras tersebut adalah wujud dari kemauan dan komitmen pemerintah terhadap pengamanan kecukupan pangan. Tidak menjadi alat politik tertentu yang justru jauh kepentingannya dengan kemaslahatan rakyat yang masih membutuhkan pangan. Jangan ada lagi politik di balik beras. Boleh jadi rakyat kebanyakan hanya sederhana memahaminya. Hanya ada nasi di balik beras!.

** Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Josstoday.com dan Bumntoday.com




 

Beras pangan today review