Bermitra dengan Transportasi Online

josstoday.com

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas tersenyum usai menandatangani MoU dengan perusahaan pengembang platform digital Gojek Indonesia, di Banyuwangi, pekan ini. (Foto: Istimewa)

JOSSTODAY.COM - Oleh Rully Anwar **)

Kebijakan Pemerintah Jawa Barat yang melarang transportasi berbasis aplikasi online, baik roda dua maupun empat, memunculkan polemik di publik. Kebijakan ini pun sebenarnya juga dari hasil perundingan dengan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT) Jawa Barat.

Larangan ini memicu kontroversi, bahkan sebagian publik merasa khawatir larangan ini akan mengganggu “kenyamanan” mereka selama ini yang sudah akrab dan sering menggunakan layanan transportasi online ini.

Apalagi sejumlah wilayah dari Jawa Barat, misalnya, lebih dekat dengan wilayah Jakarta yang sejauh ini tidak melarang keberadaan ojek atau taksi berbasis aplikasi ini. Bisa dibayangkan bagaimana pengguna transportasi online di Bekasi, Bogor, yang notabene wilayah Jawa Barat, tapi sehari-hari aktifitas mereka lebih banyak bersentuhan dengan Jakarta.

Sementara di wilayah lain begitu terbukanya dengan kehadiran transportasi online ini. Sebut saja salah satunya adalah Banyuwangi. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas  malah menyambut terbuka dan bahkan mengajak layanan transportasi online ini berkolaborasi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengajak founder jasa transportasi ini untuk memberikan layanan dan nilai tambah kepada masyarakat.

Salah satu langkah dari sang bupati muda ini adalah mengajak Go-jek, salah satu layanan jasa transportasi online, untuk berkolaborasi dan memberikan manfaat kepada publik yang akhir-akhir ini memberikan perhatian pada perkembangan Banyuwangi sebagai salah satu tujuan wisata baru yang tidak kalah dengan Bromo, salah satu ikon Jawa Timur, bahkan dengan Bali yang selama ini sudah menjadi ikon wisata dunia yang terkenal dari Indonesia.

Gagasan Bupati Anas cukup menarik, melalui layanan fitur-fitur di Gojek, misalnya, Anas meminta jasa aplikasi itu juga memasukkan restoran-restoran kecil atau tempat makan sederhana yang memiliki konten lokal Banyuwangi.

Kuliner-kuliner khas Banyuwangi yang masih dikelola secara sederhana,bahkan secara rumahan bisa tertampung dalam aplikasi Gojek. Dengan layanan ini diharapkan mampu mendukung upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberikan pelayanan pada wisatawan yang dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat di wilayah ini.

Transportasi online juga dimanfaatkan untuk bidang lain, seperti antar jemput obat bagi warga yang sakit, sehingga mengurangi antrian di apotek maupun rumah sakit yang akhir-akhir ini cenderung membludak dengan maraknya masyarakat memanfaatkan jasa BPJS untuk kebutuhan kesehatannya. Intinya, kebijakan Pemerintah Banyuwangi lebih mengedepankan edukasi internet marketing yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama dalam mempromosikan pariwisata Banyuwangi ke dunia internasional.

Bahkan, tidak berhenti di situ, usaha-usaha mikro yang dilakukan oleh warga Banyuwangi direncanakan juga bisa ditampung dalam aplikasi Gojek, sehingga produk-produk kerajinan yang dijadikan cinderamata bagi wisatawan, juga bisa dilayani oleh Gojek dalam pemasaran dan jasa pengantarannya. Ini sebuah inovasi dan langkah cerdas memanfaatkan aplikasi online yang selama ini sudah tidak bisa dibendung lagi keberadaannya.

Hukum ekonomi menyatakan selama kebutuhan terhadap produk itu ada dan bahkan semakin meningkat, rasanya sulit kemudian kita menghapuskannya. Justru yang harus dilakukan adalah bagaimana mewadahi keberadaan jasa transportasi online tersebut.

Dari dua model contoh kebijakan pemerintah terhadap keberadaan jasa transportasi online di atas, kita jadi memahami tidak semua pemerintah melarang dan menolak keberadaan mereka. Tinggal bagaimana paradigma yang dibangun.

Jika hanya berbasis landasan aturan terkait trasnportasi, keberadaan aplikasi online ini memang bermasalah dari sisi kebijakan transportasi. Mereka cenderung berhadapan dengan penyedia jasa transportasi konvensional yang selama ini sudah terikat dengan aturan-aturan yang diatur oleh pemerintah daerah, dalam hal ini dinas perhubungan terkait. Sebut saja soal perijinan jasa transportasi, trayek, dan uji kir yang selama ini menjadi persyaratan bagi penyedia jasa transportasi.

Namun, jika pemerintah melihat dari paradigma yang lain, mestinya keberadaan transportasi online jangan dijadikan sebagai subtitusi, karena jika paradigma ini yang dipakai, akan selalu berhadap-hadapan dengan penyedia jasa trasnportasi konvensional yang selama ini menjadi “pemain tunggal”. Menjadikan jasa transportasi online sebagai mitra sepertinya lebih elegan dan produktif untuk sama-sama memanfaatkan kekuatan, sehingga menghasilkan layanan yang paripurna dan lengkap untuk publik.

Seperti halnya wacana yang dikembangkan di Jakarta yang menjadikan layanan jasa transportasi online, terutama roda dua sebagai pengumpan atau feeder menuju titik-titik layanan transportasi massal, seperti KRL, LRT, MRT, dan Bus Transjakarta.

Dari sini kita bisa simpulkan, kita tidak bisa melawan arus perubahan. Perubahan ini saat ini berlangsung cepat di duni digital kita, namun kadang kala respon kita terlalu lambat, sehingga gagap menangkap arus perubahan tersebut. Jika kita gagal menangkap, bukan tidak mungkin kita tergilas oleh perubahan itu. Namun, jika kita tanggap dan cerdik memanfaatkan gelombang revolusi itu, kita akan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Mau yang mana?

*) Rully Anwar adalah pemimpin redaksi Portal Berita Josstoday.com 

Transportasi Online kebijakan transportasi online