Dilema Pitaloka di Pilgub Jatim

josstoday.com

JOSSTODAY.COM - Oleh: Mochtar W Oetomo **)

Sungguh. Bagi kerajaan Padjajaran menerima lamaran dari Hayam Wuruk, adalah sebuah kehormatan tiada tara. Majapahit adalah kerajaan terbesar dan terhormat di bumi belahan salatan pada saat itu. Maka menjadi mertua dari Raja Majapahit seperti mendapat segala kemuliaan dan keberuntungan. Tanpa ragu Raja Padjajaran, Maharaja Lingga Buana menerima lamaran Hayam Wuruk untuk putri terkasihnya Dyah Pitaloka Citraresmi. Dalam benak Maharaja Lingga Buana, ini bukan hanya akan menjadi keuntungan ekonomi dan budaya (dengan bersatunya dua kuktur Jawa dan Sunda), tapi juga akan menjadi keuntungan militer dan politik. Padjajaran juga akan menjelma menjadi kerajaan yang ditakuti dan disegani diseluruh penjuru karena berbesan dengan kerajaan Majapahit yang gilang-gemilang dan diakui kekuasaannya di seluruh daratan dan lautan nusantara.

Maka tanpa banyak pertimbangan Maharaja Lingga Buana menyanggupi untuk mengantar Dyah Pitaloka ke Majapahit dengan diiring oleh Mahapatih dan pasukan segelar sepapan. Sepanjang perjalananpun Dyah Pitaloka tak pernah lepas sungging senyum bahagia membayangkan akan menjadi permaisuri Raja besar Majapahit. Raja muda yang masyhur dengan ketampanan, kebijaksanaan dan kesaktiannnya. Rombongan Padjajaran yang penuh rona kebahagiaan inipun tak keberatan ketika harus menunggu dan berkemah di lapangan Bubat, sebelum masuk istana bertemu dengan Raja Majapahit.

Tapi senyum kebahagian dan kebanggaan Dyah Pitaloka, Maharaja Lingga Buana dan seluruh rombongan berubah menjadi senyum kecut. Mahapatih Gajah Mada dan pasukan Majapahit yang menyambutnya di Bubat menyatakan bahwa kedatangan rombongan Padjajaran ke Majapahit adalah bukti tunduk dan takluknya Pasundan atas Majapahit. Kesediaan Dyah Pitaloka adalah wujud tanda takhluk itu sebagai seserahan rampasan perang. Sebuah pernyataan politis dari Mahapatih Gajah Mada yang mengguncang seluruh isi dada rombongan Padjajaran. Senyum kebanggaan dan kebahagian yang selalu tersungging sejak keberangkatan dari Tatar Sunda berubah menjadi dengan kekecewaan dan kemarahan.

Dyah Pitaloka merasa dijebak, dikadali, dipermalukan dan diinjak-injak harga dirinya. Baik sebagai seorang putri yang tengah jatuh cinta atau sebagai seorang putri Padjajaran dengan segenap simbol kultural dan politik Tatar Sunda yang diembannya. Dyah Pitaloka terdiam seribu bahasa dengan wajah mengeras dan tangan mengepal begitu mendengar ungkapan Mahapatih Gajah Mada. Seluruh rongga dadanya tiba-tiba terasa penuh sesak dengan kebingungan dan dilema.

Ya ya ya. Dilema Pitaloka. Disatu sisi jika dia menyerah mengikuti kemauan Mahapatih Gajah Mada mungkin dia akan menjadi istri Raja Hayam Wuruk seperti impiannya. Hidup dalam kemewaan dan kemuliaan sebagai permaisuri raja besar. Ayah dan seluruh pasukan Padjajaranpun akan selamat dan pulang dengan status besan Majapahit. Tapi disisi lain harga dirinya sebagai putri kerjaan Padjajaran yang besar akan terinjak-injak. Kehilangan marwah Tatar Sunda. Menjadi kerajaan takhlukkan. Jika dia menolak maka marwah Padjajaran akan terjaga, tapi resikonya ayah dan seluruh pasukannya akan terbunuh. Rombongan Padjajaran yang tidak seberapa jumlahnya dan memang datang bukan dipersiapkan untuk berperang tentu akan dengan sangat mudah dibantai oleh Mahapatih Gajah Mada dan pasukan Majapahit yang terkenal kemampuannya dalam menggilas musuh. Dilema Pitaloka. Dilema antara marwah kerajaaan atau kematian.

Sebagaimana dilema Poros Tengah Gerindra, PAN dan PKS di Pilgub Jatim 2018 pada masa injury times ini. Jika pilihannya menyerah untuk tidak berkoalisi dan mengusung paslon Bacagub-Bacawagub sendiri mungkin akan menjadi lebih enak bagi ketiga partai tersebut. Tidak perlu repot-repot menyiapkan dan memobilisasi pasukan perang yang tentu akan butuh energi dan biaya yang tidak kecil. Bergabung dengan salah satu kekuatan besar antara Poros Gus Ipul (GI)-Anas atau Poros Khofifah Indar Parawansa (KIP)-Emil akan menjadikan segala sesuatunya menjadi lebih sederhana. Ada kemungkinan untuk ikut serta menikmati kemuliaan. Tapi jika opsi itu yang dipilih, maka ketiga partai tersebut bisa jadi akan kehilangan marwah partainya. Kalah sebelum perang, didakwa tidak bertanggung jawab terhadap konstituen karena tidak menyediakan stok kepemimpinan dan bisa jadi akan ditinggalkan pada saat Pileg dan Pilpres 2019.

Apalagi berdasarkan hasil survei Surabaya Survey Center (SSC) periode Desember 2017 tertangkap harapan besar publik Jatim agar Poros Tengah Gerindra, PAN dan PKS berkoalisi dan mengusung paslonnya sendiri di luar 2 paslon yang sudah ada. 43,9% publik Jatim setuju jika Gerindra, PAN dan PKS membentuk Poros Baru dan mengusung Paslon sendiri di luar GI-Anas dan KIP-Emil. Hanya 17,7% yang tidak setuju dan sisanya 38,4% tidak menjawab dan tidak tahu. Bahkan 19.9% publik menyatakan jenuh dan tidak akan memilih 2 paslon yang sudah ada tersebut. Sebuah data, sebuah harapan publik yang tentu tak bisa diabaikan begitu saja oleh ketiga partai Poros Tengah. Sebab mengabaikannya bisa saja didakwa telah mengabaikan harapan publik. Belum lagi ancaman tidak legitimatenya Pilgub Jatim karena rendahnya partisipasi publik. Diluar itu, survei SSC juga menemukan fakta 27.7% publik belum memastikan akan menggunakan hak pilihnya pada Pilgub 2018 nanti. Jika ditambah dengan 29.9% publik yang belum menentukan pilihannya, maka akan ada potensi 68.8% suara yang hilang. Jika separuhnya saja, yakni 34.4% menjadi golput, maka jelas siapapun di antara dua paslon yang menang, maka kemenangannya menjadi kurang legitimate. Setidaknya hal ini juga harus menjadi pertimbangan Poros Tengah sebelun mengambil keputusan. Karena bagaimanapun kesuksesan Pilgub Jatim 2018 dan makin matangnya proses demokrasi elektoral juga menjadi tanggung jawab yang melekat di pundak Gerindra, PAN dan PKS.

Tapi disisi lain jika memilih tetap dalam satu barisan Poros Tengah dan mengusung calon sendiri, maka resikonya adalah kekalahan, adalah kematian. Menyelesaiakan proses koalisi, menemukan komposisi paslon Bacagub-Bacawagub yang bisa diterima publik dan kompetitif, dan menyiapkan pasukan perang dengan seluruh elemen pemenangan di waktu yang tinggal beberapa hari ini jelas akan sangat menguras energi, biaya dan emosi. Melawan 2 kekuatan besar yang telah dipersiapkan sejak lama, dengan tingkat popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas yang sudah mapan jelas adalah pekerjaan yang maha berat. Bahkan beberapa pengamat mengatakan utopis. Seperti utopisnya pasukan Padjajaran ketika harus melawan pasukan Majapahit di Bubat. Resiko besar nampak jelas di depan mata. Kekalahan dan kematian. Sebagaimana kekalahan dan kematian seluruh rombongan Padjajaran, termasuk Dyah Pitaloka dan Maharaja Lingga Buana sendiri.

Tapi kalau itu pilihannya, maka biarpun kalah dan mati, maka itu adalah sebuah kekalahan dan kematian yang terhormat. Demi membela marwah dan harga diri. Kekalahan dan kematian yang akan dicatat oleh sejarah. Kekalahan dan kematian yang akan membuat seluruh rakyat Tatar Sunda merasa bangga dan terhormat. Ya ya ya. Kekalahan yang akan semakin mempersolid kader partai dan membuat bangga seluruh konstituen. Kekalahan karena keberanian memasuki medan pertarungan. Bukan kekalahan karena rasa pesimis atas sebuah hasil yang belum bisa dipastikan kebenarannya.

Ya ya ya. Dilema Pitaloka. Dilema Poros Tengah. Bergabung dengan salah satu kekuatan untuk menang. Atau tetap mengusung paslon sendiri untuk menerima resiko kekalahan, dengan tetap mencari kesempatan dan peluang untuk menang.Kalaupun pada akhirnya bersepakat untuk melawan dan turun gelanggang peperangan, maka sebagaimana pasukan Padjajaran, pilihlah senopati-senopati yang pilih tanding. Pilihlah paslon yang bisa diterima publik dan memiliki potensi kompetitif untuk menang. Tidak semestinya asal pilih panglima perang atau paslon dengan asumsi siapapun pasti kalah yang justru akan menjadi bulan-bulanan dan bahan tertawaan. Karena bukankah selalu ada setitik sinar di tengah kegelapan. Jadilah seperti pasukan Padjajaran dengan panglima-panglima pilih tanding. Hingga mesti pada akhirnya kalah sekalipun akan mampu menghadirkan perang puputan, perang habis-habisan yang akan merepotkan musuh dan sekaligus melahirkan kebanggaan bagi pemilih dan konstituennya. Dicatat oleh sejarah sebagai pilihan yang heroik. Sebagaimana rakyat tatar sunda menghargai Maharaja Lingga Buana dengan julukan Maharaja Wangi, Maharaja yang Harum namanya sepanjang masa, dan para penggantinya adalah silih wangi, Siliwangi. Sebetapapun Pitaloka mengalami dilema toh akhirnya keputusan harus diambil juga. Tepat atau tidaknya pilihanlah yang akan menentukan, kelak akan menjadi wangi atau.......?!

**) Mochtar W Oetomo adalah dosen di Universitas Trunojoyo Madura, dan Direktur Surabaya Survey Center.

Pilgub Jatim 2018 Poros Tengah Majapahit Padjajaran