Pembayaran Komponen Pembangkit Listrik Sebaiknya Gunakan Rupiah
Bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air.
JOSSTODAY.COM - Merosotnya nilai mata uang rupiah menjadi salah satu tantangan dalam bisnis dan industri ketenagalistrikan saat ini. Pasalnya komponen A pembangkit listrik masih menggunakan mata uang dolar AS. Sementara di beberapa negara tetangga sudah menggunakan mata uang setempat.
Komponen A merupakan fixed cost, yakni biaya yang harus tetap dikeluarkan terlepas dari pembangkit listrik tersebut dioperasikan atau tidak. Komponen ini umumnya terdiri dari biaya konstruksi seperti pekerjaan sipil, biaya pembelian turbin, generator, dan lain-lain.
Mantan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan mata uang dolar masih mendominasi di sektor ketenagalistrikan. Kondisi ini berimbas kepada keuangan PLN seiring dengan menguatnya nilai tukar dolar tersebut.
"PLN semester satu kemarin rugi Rp 6 triliun karena kurs Dollar. Padahal naiknya Dollar enggak besar-besar amat. Ini suatu hal yang ironis," kata Jarman sebagai pembicara kunci dalam diskusi yang berlangsung di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (12/7).
Jarman menuturkan penyebab kerugian yang mendera PLN itu lantaran Komponen A pembangkit listrik masih menggunakan mata uang dolar. Padahal hampir 50 persen pembangkit listrik dimiliki oleh pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP). Menurutnya Indonesia bisa meniru Filipina lantaran pembayaran komponen A sudah menggunakan peso. Dolar masih digunakan hanya untuk pembiayaan bahan bakar.
Ketua Dewan Pembina Keluarga Alumni Tenaga Listrik Fakultas Teknik UI itu menyarankan agar Indonesia tidak perlu 100 persen mengubah pola pembayaran komponen A tersebut. Sebaiknya perubahan pola itu dilakukan secara bertahap misalnya 25 persen dari komponen A yang menggunakan rupiah dan sisanya masih bisa merujuk ke dolar. "Misalnya konstruksi bendungan pada PLTA (pembangkit listrik tenaga air) bisa gunakan rupiah. Ini kan lokal," ujar Jarman. (is/b1)
PLTA Pembangkit Listrik